Tren pemikiran tahun 90an berbeda dengan sekarang, khususnya sikap terhadap syi’ah. Sekarang kita bisa lihat sendiri. Ada tokoh syiah meninggal, tak sedikit warganet yang mengucap alhamdulillah secara vulgar. Saya tidak tahu apakah ucapan alhamdulillah untuk mensyukuri orang meninggal –dengan intensi buruk, tentunya– itu termasuk bid’ah atau tidak.
Kampanye “syiah bukan Islam” yang bergaung sekitar 15 tahun terakhir (seingat saya setelah Ahmadinejad memimpin Iran dan ketegangan Iran-Amerika makin memuncak) bisa jadi sudah cukup berhasil. Saya ingat, Pak Busyro pernah cerita dalam sebuah ceramah tentang siapa yang memasang spanduk-spanduk itu. Tapi kita nggak akan bahas itu.
Cerita dari Buya Syafii
Tahun 90-94an, Buya Syafii Maarif menjadi dosen senior di Universitas Kebangsaan Malaysia. Buya pernah cerita, saat mengajar sejarah pemikiran Islam sampai menyinggung mengenai konflik sunni-syiah. Konflik tersebut produk sejarah usang yang tak patut lagi dipertahankan. Kalau identitas sunni-syiah hanya menjadi bahan bakar konflik, “Mulai saat ini saya bukan sunni, bukan syi’ah”, kata Buya mengenang kuliah tersebut yang diceritakannya pada kami saat ngobrol selepas maghrib sebelum pandemi.
Di era yang sama, Tahun 94, terbitlah buku Ali Shariati di Indonesia, berjudul Tugas Cendekiawan Muslim hasil terjemahan Pak Amien Rais. Selain menerjemah, Pak Amien menulis pengantar yang sebagian isinya sebagai berikut:
“Bagi penerjemah, perbedaan Syi’ah – Sunnah adalah warisan historis kuno yang telah menyebabkan lemahnya umat Islam sabagai satu keseluruhan. Yang perlu kita kerjakan bukan membongkar-bongkar konflik politik masa silam yang jelas tidak akan ada manfaatnya. Tugas kita adalah menemukan kembali ajaran-ajaran Islam yang selama ini telah tertimbun oleh pikiran-pikiran Barat maupun Timur yang agnostik, sekularistik dan bahkan kadang-kadang ateistik. Bahwa ada konsep Syi’ah yang tidak dapat kita terima, seperti misalnya konsep imamat, tidak perlu kita besar-besarkan. Kita perlu berlapang dada untuk mengambil butir-butir kebenaran dari mana saja datangnya. Semoga terjemahan kecil ini dapat menjadi amal saleh di sisi Allah s.w.t. Amien!”
Begitulah nada cendekiawan Islam di tahun 90an saat membicarakan perbedaan sunni-syiah. Tak hanya oleh para cendekiawan kelas nasional, di rumah banyak aktivis Islam terpampang foto Khomaeni, seorang tokoh yang menjadi simbol perlawanan terhadap Amerika dan Barat. Apakah mereka tidak tahu bahwa Khomeini itu syiah? Tentu tahu.
Isu Baru Sunni vs Syi’ah
Satu lagi..
Dengar dari pengungsi Sampang saat Muhammadiyah membantu warga yang terlantar itu. Puluhan tahun warga sunni dan syi’ah di sana hidup biasa saja, kawin-mawin, beranak-cucu, hidup bersama. Berarti di era 90an mereka baik-baik saja. Tiba-tiba era sekarang sebagian mereka terusir dengan tagline sunni vs syi’ah. Memang ada konflik terkait tambang, tapi kenapa pintu masuknya jadi sunni-syi’ah? Apakah karena iklimnya kondusif untuk itu?
Saya tidak tahu persis bagaimana perbedaan antara era 90an dan sekarang terjadi. Apakah memang karena kampanye massif termasuk munculnya spanduk-spanduk yang saat itu tampak aneh karena tak ada angin tak ada hujan tiba-tiva terpampang di banyak tempat? Atau karena syi’ah sekarang lebih sesat dari era 90an? Atau apa?
Wallahu a’lam..
Editor: Nabhan