IBTimes.ID – Buya adalah manusia perantau. Merantau adalah konsep khas Nusantara. Manusia perantau adalah manusia yang hidup dalam dunia lokal sekaligus dunia kosmopolitan.
Buya Syafii Maarif mengajarkan agar seseorang tidak takut berada di tempat lain. Di luar negeri, Buya sering mengajarkan supaya warga dunia tidak takut terhadap Islam di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian kalangan Melayu agak takut dengan Islam Indonesia.
Dr. Azhar Ibrahim, akademisi National University of Singapore (NUS) menyebut bahwa Buya adalah ilmuwan yang peduli. Ia peduli terhadap negara, dunia Islam, dunia Melayu, dan terutama peduli terhadap rakyat kecil.
Di kalangan anak muda, Buya menjadi lambang Islam yang pluralis, emansipatif, dan demokratis selain Cak Nur dan Gus Dur. Lambang ini jarang ada di tokoh-tokoh muslim yang lain.
“Kadang-kadang tokoh lain ini Islamis tapi tidak demokratis. Kadang-kadang mereka pluralis tapi tidak emansipatif. Buya punya ketiganya,” ujar Azhar Ibrahim dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu (12/11/2022).
Buya, imbuhnya, juga tokoh yang kharismatik. Kharismatik dalam artian ia tidak datang dengan teori-teori yang besar, melainkan sederhana namun sangat menggigit dan mengena.
Menurut Azhar Ibrahim, Buya Syafii sering mengedepankan empat hal. Pertama, elit harus bertanggungjawab atas segala hal yang tidak beres yang terjadi dalam masyarakat dan negara. Belakangan, wacana elit sudah dilupakan orang. Namun, Buya masih terus konsisten bicara soal elit.
Kedua, kemiskinan rakyat yang harus dibela. Di sisi sisi emanspiasi Buya terlihat begitu tajam. Ketiga, pembaruan pemikiran Islam. Keempat, pemahaman ilmu sejarah yang dibaca secara rasional dan nilai yang universal.
“Berkenaan dengan elit, Buya menyebut al-mutrafun sebagai golongan kaya, pembawa onak dan bencana, di mana-mana hanya menyebarkan sampah peradaban. Nurani mereka telah lama tumpul untuk dapat menangkap jeritan rakyat. Golongan al-mutrafun pasti akan mewariskan bencana demi bencana yang akan menimpa seluruh rakyat baik yang berdosa maupun yang tidak berdosa. Ini hasil pembacaan Buya terhadap sejarah,” ujar Azhar Ibrahim.
Menurut Azhar, tidak banyak intelektual muslim yang menggunakan istilah al-mutrafun secara konsisten. Hal ini adalah sumbangan besar dalam sejarah dan kemanusiaan.
Azhar, mengutip Buya, menyebut bahwa sejarawan Indonesia tidak boleh hanya sibuk menghabiskan energi dalam menggali fakta demi fakta tanpa memerintahkan fakta itu untuk bersuara dan membongkar kenyataan-kenyataan pahit yang diderita rakyat dalam berbagai periode sejarah. Semestinya sejarawan yang benar-benar beriman adalah musuh golongan al-mutrafun sebab dalam rahim sejarah terkandung informasi yang sangat kaya tentang perangai manusia baik dan jahat.
Reporter: Yusuf