Perspektif

Buya Yunahar: Penjaga Wasatiyyah Islam

6 Mins read

Oleh M Husnaini

Dalam waktu yang tidak berselang lama, Muhammadiyah kehilangan dua tokohnya. Pada Kamis, 21 November 2019, Bahtiar Effendy meninggal dunia di RSIJ Cempaka Putih. Menyusul Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, Yunahar Ilyas juga menghadap Sang Pencipta pada Kamis, 2 Januari 2020 di RS Sarjito Yogyakarta, setelah sekitar satu bulan koma.

Untuk mengenang kedua tokohnya, beberapa intelektual dan aktivis Muhammadiyah kemudian menulis artikel untuk dikumpulkan menjadi sebuah buku. Tentang Bahtiar Effendy, telah terbit dengan judul Mengenang Sang Guru Politik dan diluncurkan di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 Februari 2020. Yang sekarang di tangan pembaca adalah buku berisi kumpulan tulisan untuk mengenang kepergian Yunahar Ilyas atau biasa dipanggil Buya Yunahar.

Buya Yunahar adalah guru kita semua. Kendati tidak menjadi mahasiswa beliau secara langsung di kelas, saya merasa banyak mengasup ilmu dari Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut. Buya Yunahar juga ulama yang enak dalam penyampaian, baik lisan maupun tulisan. Pilihan bahasa beliau mudah dipahami. Dalam beberapa ceramah, Buya Yunahar sering atau biasa menjelaskan suatu peristiwa, seperti riwayat hidup ulama, secara panjang tetapi runtut.

Persoalan yang rumit menjadi mudah ketika disampaikan oleh Buya Yunahar. Sebagai tokoh besar, pendapat-pendapat beliau juga tidak kontroversial. Jika ada yang menyangka Buya Yunahar itu keras dan kaku, barangkali dia belum mengenal dan apalagi mendalami pemikiran-pemikiran beliau. Sepengetahuan saya, Buya Yunahar sangat moderat dan tidak kaku dalam berpendapat.

Di tengah pertarungan pendapat sebagaimana lazim terjadi di era media sosial, Buya Yunahar justru mengembangkan, bahkan dapat dibilang, menjaga wasatiyyah Islam. Wasatiyyah, menurut M Quraish Shihab dalam buku Wasathiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Lawan dari wasatiyyah adalah tatharruf atau ghuluw, yang biasa dipersamakan dengan ekstremisme.

****

Wasatiyyah, kata penulis Tafsir Al-Mishbah itu, tidak sekadar menghidangkan dua kutub lalu memilih apa yang di tengahnya. Wasatiyyah juga bukan sikap menghindar atau lari dari situasi sulit, karena Islam sejatinya mengajarkan keperpihakan pada kebenaran secara aktif namun harus dengan penuh hikmah. Wasatiyyah yang menjadi ciri ajaran Islam, dan ini tampaknya dipegangi Buya Yunahar, ialah keseimbangan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan realitas, yang lama dan yang baru, naqal dan akal, agama dan ilmu, modernitas dan tradisi, dan seterusnya.

Silakan klik dan simak ceramah-ceramah Buya Yunahar yang berserak di YouTube. Buya Yunahar sangat menekankan dakwah yang menggembirakan. Beliau tidak setuju dengan cara penyampaian ajaran Islam yang melulu menggunakan pendekatan hukum dan main vonis. Yang sering Buya Yunahar kutip adalah riwayat Muadz bin Jabal ketika diutus Rasulullah berdakwah ke Yaman. Pesan Rasulullah, “Gembirakan, jangan kau bikin orang kabur. Mudahkan, jangan kau bikin orang susah.”

Buya Yunahar lantas menjelaskan perbedaan antara pendekatan hukum dan pendekatan dakwah. Berdakwah berbeda dengan menjadi hakim. Kalau ada orang yang belum shalat, Buya Yunahar mencontohkan, tetapi dia berpuasa Ramadhan, jangan langsung divonis salah. Sebab, hubungan dia dengan Islam akan putus sama sekali. Jika mengikuti pendekatan dakwah, sebaiknya biarkan dulu dia berpuasa. Begitu sudah berpuasa dan lihat orang berbuka puasa di masjid, dia akan ikut. Setelah berbuka puasa kemudian lihat orang shalat magrib, dia coba-coba ikut shalat. Lama-lama dia akan berpuasa dan juga mengerjakan shalat.

Baca Juga  Kajian Islam di Barat dan Timur, Apa Bedanya?

“Kalau perlu, apabila ada yang mengerjakan rukun Islam dengan membaca kalimat syahadat kemudian langsung nomor dua adalah haji, tidak apa-apa,” tegas Buya Yunahar. Yang demikian itu proses keberislaman seseorang. Mudah-mudahan tidak lama dia akan mengerjakan rukun Islam secara paripurna. Jika setiap proses segera divonis dengan salah dan sesat, para pengamal ajaran Islam pemula itu akan kabur dan enggan lagi dekat-dekat masjid atau majelis taklim.

Kalau dulu ulama-ulama datang dari Hadramaut dan Gujarat ke Indonesia untuk mengislamkan orang kafir di Indonesia, jangan sampai sekarang justru muncul ustadz-ustadz yang mengafirkan orang Islam. Sedikit-sedikit bidah, munafik, dan kafir. Mengutip Buya Hamka, Buya Yunahar berkelakar dalam ceramah yang lain, “Berislam itu sesungguhnya mudah. Yang bikin susah itu para ustadz.” Mendengar itu, hadirin tergelak.

****

Selain ceramah, Buya Yunahar juga produktif menulis. Di antara buku beliau yang laris ialah Kuliah Aqidah Islam dan Kuliah Akhlaq. Sejak terbit pertama kali pada 1990-an, kedua buku tersebut telah dicetak ulang dan menjadi salah satu buku pegangan mahasiswa di beberapa kampus Muhammadiyah untuk matakuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sampai hari ini. 

Sebagaimana umumnya tulisan-tulisan Buya Yunahar, kedua buku tersebut ringan dibaca. Dalam Kuliah Aqidah Islam, Buya Yunahar menjelaskan pengertian akidah dan mengawalinya dengan pembahasan tentang pembagian ilmu. Menurut Buya Yunahar, ilmu yang dihasilkan oleh indra dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian dinamakan ilmu nazhari. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum, terkenal, dan mendarah daging, jadi tidak perlu lagi dalil dan pembuktian. Itulah yang disebut badihiyah

Wujud atau adanya Allah SWT, menurut Buya Yunahar, adalah sesuatu yang badihiyah. Dalil naqli maupun aqli semakin mengukuhkan wujud atau adanya Allah. Karena itu, sulit bagi manusia atau siapa saja untuk mengingkarinya, sehingga akidah dapat pula bermakna keyakinan yang sudah sampai pada tingkat ilmu sehingga tersimpul dengan kuat di dalam hati, bersifat mengikat, dan mengandung perjanjian.

Baca Juga  Membentengi Orang Muda dari Paham Radikalisme

Alur pembahasan dalam buku Kuliah Aqidah Islam ini mengikuti sistematika rukun iman. Bagus bukan hanya bagi mahasiswa, namun juga bagi siapa saja yang ingin belajar tentang akidah secara mudah dan benar. Menarik, misalnya, mengikuti pembahasan Buya Yunahar tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Makna “menghafal” 99 nama Allah yang dapat mengantarkan seseorang ke surga bukan sekadar menghafal secara lisan, tetapi harus pula mengimani dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan meyakini al-alim, menurut Buya Yunahar, seseorang harus sadar bahwa betapa hebat ilmu yang dia peroleh tidak akan ada artinya dibandingkan dengan ilmu Allah. Dia juga harus meneladani Allah dengan tidak pernah lelah untuk belajar. Demikian pula menghafal nama-nama Allah yang lain, seperti as-sami’, al-bashir, ar-raqib, dan seterusnya, harus diikuti dengan keimanan bahwa diri ini sangat lemah di hadapan Allah dan dilanjutkan dengan kegigihan agar sedapat mungkin meniru dan mengamalkan nama-nama Allah tersebut dalam kehidupan nyata.

****

Hal ini penting dikemukakan, mengingat kerap ditemukan pikiran-pikiran aneh dan bertolak belakang dengan ajaran Al-Quran. Ada orang tua, misalnya, bilang bahwa anaknya semangat sekali kalau menghafalkan Al-Quran dan Hadis. Membaca kedua sumber hukum Islam itu, katanya, sebentar saja langsung hafal. Tetapi, kalau pelajaran di sekolah, sang anak tidak ada minat. Malas, katanya. Anehnya, kebiasaan anak bersangkutan justru diapresiasi oleh orang tua. Menurut orang tua yang konon juga seorang penghafal Al-Quran itu, tidak masalah anaknya demikian. Sebab, pelajaran di sekolah dapat dipelajari kemudian. Asalkan anak sudah memiliki banyak hafalan ayat dan Hadis, kata orang tua tadi, ilmu apa saja akan mudah dipelajari.

Pikiran serupa di atas sepertinya tidak jarang muncul dalam masyarakat kita. Pernah pula saya dengar ada orang yang berkata, “Daripada waktu dipakai untuk membaca buku banyak-banyak, lebih baik dibuat membaca Al-Quran, dapat pahala.”

Tentu pikiran-pikiran demikian, setidaknya menurut saya, tidak sesuai dengan spirit ajaran Al-Quran dan juga Hadis, yang memerintahkan umat ini untuk belajar. Ayat yang pertama turun saja perintah membaca, bukan anjuran shalat atau ibadah-ibadah formal lain. Kemudian, bagaimana dapat memahami Al-Quran dan Hadis secara benar tanpa mau mengkaji tafsir dan syarah. Tafsir adalah keterangan ulama tentang isi Al-Quran, sementara syarah adalah penjelasan isi Hadis. Kedua kitab tersebut jelas karya manusia dan harus dibaca.

Tidak heran apabila suatu ketika Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa Islam yang ada di otak kita sekarang ini bukan Islam Quran. Sebab, kalau Islam Quran, pasti bisa menyelesaikan masalah. Tepat pula Buya Yunahar yang mengingatkan supaya jangan memahami ajaran Islam secara parsial. Ketika menjelaskan tentang takdir, masih dalam buku Kuliah Aqidah Islam, Buya Yunahar menyatakan bahwa memahami tentang kemutlakan kehendak Allah tanpa memahami keupayaan ikhtiar manusia akan melahirkan sikap Jabariyah. Sebaliknya, memahami keupayaan ikhtiar manusia tanpa memahami kemutlakan kehendak Allah menghasilkan sikap Qadariyah. Dengan demikian, pemahaman ajaran Islam harus utuh dan tidak parsial.

Baca Juga  Hak Asasi Manusia, Piye Kabare?

Akibat pemahaman secara parsial juga, saya kira, belakangan marak sikap terlalu semangat mengamalkan suatu ajaran Islam dan seolah yang selain itu tidak penting, bahkan dianggap salah. Yang terlalu keras seolah lupa bahwa Allah juga menyuruh berdakwah dengan lembut. Yang terlalu semangat tilawah Al-Quran seperti lalai bahwa membaca buku juga penting. Yang terlalu giat menghafalkan Al-Quran lantas menganggap belajar itu kurang penting.

Buku berikutnya, yaitu Kuliah Akhlaq, tidak kalah menarik. Dalam karya setebal 263 halaman itu, Buya Yunahar berangkat dari sistematika pembahasan akhlak yang terdiri dari: Akhlak terhadap Allah SWT, Akhlak terhadap Rasulullah SAW, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam Keluarga, Akhlak Bermasyarakat, dan Akhlak Bernegara.   

Akhlak didefinisikan Buya Yunahar dengan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Perbedaan antara akhlak, moral, dan etika, menurut Buya Yunahar, terletak pada standarnya. Bagi akhlak, standarnya adalah Al-Quran dan Hadis. Standar etika yakni pertimbangan akal pikiran. Sementara standar yang dipakai moral ialah kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.

Dalam bab “Akhlak terhadap Rasulullah SAW”, Buya Yunahar mengutip surah Al-Hujurat/49: 1 yang terjemahannya antara lain: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya.” Mengutip Ali Ash-Shabuni, Buya Yunahar menjelaskan bahwa apabila sahabat diajukan pertanyaan dalam suatu majelis yang dihadiri Nabi, atau bahkan ketika ditanya Nabi sendiri, mereka tidak mau mendahului menjawab tetapi justru berkata, “Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu.”

****

Dalam konteks sekarang, tidak mendahului Rasulullah, dapat dimanifestasikan dengan tidak menetapkan suatu perkara berdasarkan pertimbangan apa pun sebelum lebih dahulu membahas dan meneliti apa kata Al-Quran dan Hadis. Pandangan Buya Yunahar tersebut terasa kontekstual di era media sosial seperti sekarang yang siapa saja dapat berfatwa apa saja. Kepakaran kerap tergantikan oleh ketenaran.

Bentuk lain dari menghormati dan memuliakan Rasulullah dapat pula disimak dalam surah Al-Hujurat/49: 2 berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepada-Nya dengan suara keras.” Apakah larangan berbicara keras di hadapan Rasulullah tersebut masih relevan? Menurut Buya Yunahar, sikap hormat terhadap Rasulullah dengan tidak berbicara keras tersebut dapat diteruskan setelah beliau wafat dengan tidak mengeraskan suara di hadapan para ulama pewaris Nabi, di dalam majelis yang sedang dibacakan atau diajarkan Al-Quran dan Hadis (dua warisan Nabi), dan di Masjid Nabawi, lebih khusus lagi di kuburan Nabi.

Demikian sekelumit ulasan tentang kiprah dakwah Buya Yunahar, yang semua mencerminkan sikap moderat atau menjaga wasatiyyah Islam. Tidak banyak perjumpaan fisik saya dengan Buya Yunahar. Seringnya komunikasi lewat telepon dan SMS, lalu belakangan WhatsApp. Namun, tidak kecil peran beliau dalam perjalanan hidup saya. Semoga segala amal baik beliau diterima Allah dan diampuni segala dosa. Kita yang ditinggalkan, mudah-mudahan mampu melanjutkan kiprah dakwah beliau.

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds