Oleh: Muh Sulaiman
Ustaz Yunahar, atau Buya Yunahar, atau lebih pendek lagi Ustaz Yun adalah panggilan beliau. Saya mengenal beliau dimulai saat saya pertama kali masuk sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta di tahun 2000. Saat itu, beliau sempat beberapa kali mengisi pengajian di Mu’allimin. Beberapa saat kemudian, saya baru tahu ternyata putri beliau Syamila yang bersekolah di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah, juga satu angkatan dengan saya.
Qaddarallahu putri Ustaz Yun ini wafat mendahului kami pada saat saya kelas 5 di tahun 2005. Pada periode ini juga, putra beliau Hasnan Nahar sekolah di Mu’allimin. Hasnan sering dijenguk oleh ibunya, dan keluarga beliau adalah keluarga yang bersahaja. Saya ingat betul sebagai istri salah satu Ketua PP Muhammadiyah, tidak ada permintaan khusus dari beliau. Saat menjenguk Hasnan, istri beliau hanya menunggu di teras masjid seperti ibu-ibu yang lain.
Pasca kelulusan dari Mu’allimin di tahun 2006, intensitas pertemuan saya dengan beliau lebih sering terjadi. Karena saya melanjutkan studi saya di FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dimana, beliau menjadi dekan disana. Selain itu, beliau sempat mengajar saya mata kuliah Ulumul Quran. Di samping itu, kadang saya mengikuti pengajian beliau di PP Muhammadiyah, atau di beberapa masjid lain. Untuk Ustaz dari Muhammadiyah, Ustaz Yunahar adalah Ustaz yang sering saya dengar pengajiannya, selain Ustaz Fathurrahman Kamal. Kondisi ini terus berjalan sampai akhir tahun 2011 saat saya meninggalkan Jogja ke Palembang.
Keteladanan Ustaz Yunahar
Pada tahun 2013, Ustaz Yunahar diundang oleh STIKes Muhammadiyah Palembang memberikan pengajian di STIKes. Saat itu, saya diminta oleh Ibu Sri Yulia menjadi MC dan penjemputan beliau. Dengan disupiri Uda Wendriadi, yang juga orang Minang. Di antara yang membuat saya terharu saat penjemputan, Ustaz Yunahar tidak melupakan saya, padahal saya lama tak bersua dengan beliau.
Di antara kebiasaannya, beliau duduk di samping supir dan tidak mau duduk di belakang. Jadi pernah saat pengantaran, orang-orang sudah siap menyambut beliau dari pintu tengah, yang muncul justru saya. Ustaz Yun justru muncul duluan dari depan. Kesan baik juga muncul dari Uda Wen. Kata beliau, saya belum pernah bertemu ketua PP Muhammadiyah yang membumi seperti beliau, karena apa? Pada saat makan, Ustaz Yun mengajaknya di meja yang sama dan mereka mengobrol bebas.
Dalam beberapa obrolan dan pengajian, ada selalu nasehat yang senantiasa saya ingat. Beliau biasa mengutip firman Allah pada Ar Ra’du ayat 17:
“Adapun buih dia akan hilang, maka jadilah orang yang selalu berbuat kemanfaatan dengan penuh keikhlasan karena dia akan abadi”
Nasehat kedua, yang saya ingat adalah: kalau sudah kepalang belajar agama, belajarlah dengan serius. Jadilah ulama yang berkualitas. Karena Muhammadiyah juga memerlukan banyak ulama untuk menggerakkan dakwahnya, dan yang mengambil jalan keulamaan di Muhammadiyah juga makin sedikit.
Dan akhirnya, semua nasehat beliau kembali terngiang sekarang. Bukankah dicabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya para ulama, dan salah satu ulama terbesar Muhammadiyah itu kini telah meninggalkan kita semua.
اللهم اغفر له وارحمه رحمة واسعة
Selamat jalan gurunda.
Terima kasih sudah memberikan ilmu pada kami.
Saya bersaksi, engkau adalah adalah orang baik.
.
Editor: Yahya FR