Pada umumnya cadar di Indonesia pada saat ini bukanlah hal yang asing lagi. Akan tetapi pandangan para ulama baik itu ulama Indonesia maupun ulama lain berbeda-beda pendapat tentang hukum memakai cadar dan ketentuan aurat wanita.
Usulan Menag
Sebelumnya, istilah cadar sendiri di Indonesia adalah suatu kain yang menutupi wajah wanita tidak termasuk masker ataupun penutup wajah lain. Jika kita lihat di Arab sana, cadar dahulu di sebut niqab yang kemudian datang ke Indonesia dengan sebutan yang berbeda.
Terlepas dari aspek hukum Islam dan istilah tersebut, di dunia Internasional sering kali orang yang memakai cadar untuk perempuan dan celana cingkrang bagi laki-laki sering dikaitkan dengan kelompok yang radikal dan keras seperti teroris. Padahal, kita mengetahui bahwa penilaian orang tidak dapat dibenarkan selamanya hanya dengan melihat tampilan luarnya saja.
Sebagai contoh, belum lama kemarin Menteri Agama RI Fachrul Razi mengusulkan fatwa terkait larangan cadar untuk para anggota instansi pemerintah. Ia beralasan bahwa pemerintah harus belajar dari kesalahan dan kasus penusukan yang terjadi terhadap Wiranto. Pelaku dalam kasus tersebut diketahui laki-laki yang mengenakan celana cingkrang dan wanita yang mengenakan cadar.
Menurut penulis sendiri, larangan cadar dan celana cingkrang yang diperuntukkan kepada anggota instansi pemerintah tidaklah masalah. Karena kita dapat mengetahui bahwa Indonesia adalah negara tropis dimana suhu panas dan dinginnya berada pada titik standar. Tidak seperti di Timur Tengah yang didominasi oleh padang pasir dan cuaca yang sangat panas. Dan juga mengenakan penutup muka yang bersifat semi permanen seperti cadar dapat menghambat aktifitas orang tersebut.
Tarjih Tidak Memberi Tempat Bagi Cadar
Akan tetapi, seorang Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola menentang pernyataan Facrul Razi tentang pelarangan cadar dan celana cingkrang. Ia mengatakan bahwa di dalam Islam sendiri ada aturan yang mengatur tentang cara berpakaian umatnya. Tetapi, Menteri tidak boleh seenaknya sendiri mengatur pakaian pribadi seseorang karena itu termasuk hak baginya.
Terlepas dari persoalan Menteri agama, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid, Wawan Gunawan Abdul Wahid menyatakan bahwa berbagai dokumen tarjih tidak “memberi tempat” bagi cadar.
Ia menyebutkan beberapa dalil Al-Quran dan hadis. Di antaranya adalah firman Allah dalam surat An-Nur ayat 31: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Ayat ini menurut penafsiran jumhur ulama, bahwa yang boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya. Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Adapun hadis yang diangkat oleh Wawan dalam pengajian Majelis Tarjih ke-70 di Kauman sebagai berikut:
“Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Beliau menyatakan bahwa Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat. Selain itu beliau juga mengetengahkan bahwa pendapat jumhur ulama tentang cadar. Ijma’ ulama sepakat bahwa tidak ada perintah memakai cadar. Tidak ada dalil yang terkait langsung yang memerintahkan untuk memakai niqab atau cadar.
“Ulama mazhab Maliki menambahkan bahwa hukum bercadar itu makruh, karena ketika seseorang bercadar berarti mengekspresikan sikap berlebihan, tidak tawasut, tidak moderat. Padahal karakter Islam itu adalah tawasut di antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri,” ujarnya.
Cadar adalah Tradisi
Beliau juga mengatakan bahwa wajah adalah sebagai jendela untuk berkomunikasi antara sesama manusia. Jika seorang mengenakan cadar yang bersifat semi permanen maka bisa jadi cadar itu dapat mempersulit hidupnya.
Sebagai contoh untuk mendokumentasikan foto seperti foto Ijazah dan KTP misalnya atau ketika orang yang memakai cadar tersebut pergi ke salah satu bank yang dimana di bank tidak boleh mengenakan topi, kacamata hitam, dan penutup wajah seperti cadar. Jika orang tersebut tetap bersikukuh akan masuk ke bank tanpa melepaskan penutup wajahnya maka ia bisa jadi diusir oleh petugas keamanan bank.
Dilihat pula dari aspek sosiologis bahwa cadar atau niqab lebih sebagai bagian dari tradisi menutup hidung untuk menahan debu ketika angin gurun di negara-negara Timur Tengah. Supaya tidak pasang-cabut, maka dipasang dalam bentuk permanen.
Meskipun cadar tidak dianjurkan, Wawan Gunawan Abdul Wahid memberi catatan, supaya kita harus selalu bertasamuh, toleran terhadap apapun pilihan orang menutup aurat, termasuk terhadap yang bercadar. Tindakan saling menyalah-nyalahkan justru kontraproduktif untuk kemajuan umat.
Kesimpulannya, di Indonesia pandangan tentang orang yang memakai cadar tidaklah lagi mengaitkan orang tersebut kepada golongan radikal dan sebagainya. Begitu pula bagi orang yang mengenakan cadar diperbolehkan saja karena tidak ada aturan hukum yang pasti tentang mengenakan cadar. Akan tetapi cadar tersebut dapat menghambat aktivitas orang yang mengenakannya dalam berkomunikasi.
Editor: Nabhan