Nurcholish Madjid, selanjutnya: Cak Nur, semasa hidupnya merupakan seorang di antara pemikir Muslim Indonesia yang produktif. Tulisannya banyak, rata-rata berupa artikel, yang pada gilirannya dibukukan.
Saat ini, tulisan-tulisan Cak Nur, hampir semuanya, telah dibundel ke dalam sebuah buku besar berjudul: Karya Lengkap Nurcholish Madjid, diterbitkan oleh Nurcholish-Madjid Society Jakarta tahun 2019.
Biasanya, gagasan-gagasan Cak Nur yang tersebar di pelbagai tulisannya, secara garis besar dicorak dengan tema-tema keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.
Di antara itu, sebuah gagasan menariknya ialah pandangannya tentang manusia, yang ditelaahnya secara diskursif-rasional dengan banyak merujuk pada teks-teks kewahyuan Al-Qur’an dan Hadis.
Hakikat Manusia
Bagi Cak Nur, manusia menurut nature-nya adalah makhluk fitrah yang suci lagi baik. Sehingga, pembawaannya kesucian dan kebaikan.
Ini didasarkannya pada firman dalam Al-Qur’an: “Maka luruskanlah wajahmu untuk agama dengan kecondongan kepada kebenaran. Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tiada perubahan dalam penciptaan Allah. Itulah agama yang lurus…,” (QS. 30:30).
Tapi di samping fitrah itu, manusia bagi Cak Nur juga memiliki kelemahan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “…Dan manusia itu diciptakan lemah,” (QS. 4:28).
Dia mencatatkan, kelemahan manusia, an sich bukanlah kejahatan, tetapi menjadi pintu masuk kejahatan ke dalam manusia. Karena kelemahannya, manusia menurut Cak Nur tidak selalu-setia kepada fitrahnya.
Karena kesucian dan kebaikan hal yang fithrī dan alami, maka membawa rasa aman dan tenteram dalam diri manusia. Sebaliknya, karena kejahatan bukanlah hal yang fithrī atau alami, maka membawa kegelisahan dan konflik dalam diri manusia.
Manusia akan merasa tenteram ketika berbuat baik, dan sebaliknya akan merasa gelisah ketika berbuat jahat.
Berdasarkan hal tersebut, Cak Nur menggariskan fitrah-kebaikan sebagai hakikat-primer manusia, dan kejahatan sebagai hakikat-sekundernya.
Cak Nur mengakui, kejahatan sejatinya kualitas-luar dan bukan kualitas-asli di dalam diri manusia, akan tetapi karena kejahatan masuk ke dalam manusia melalui suatu kualitas-inheren manusia, yaitu kelemahan, maka kejahatan pun bagian dari hakikat manusia yang bersifat sekunder.
Menurut Cak Nur, karena ketegangan antara hakikat primer dan sekunder itulah manusia menjadi makhluk-moral.
Artinya, pertama, manusia sejatinya dapat menentukan dan memilih sendiri tindakannya: baik maupun buruk.
Kedua, manusia menjadi patut dan harus siap mempertanggungjawabkan pilihan yang tercermin dalam tindakan-tindakannya itu.
Manusia adalah Puncak Ciptaan Tuhan
Cak Nur mendedah status dan kedudukan manusia, salah satunya melalui sebuah konsepsi yang secara eksplisit disebutnya sebagai doktrin taskhīr.
Menurutnya, secara harfiah taskhīr dapat berarti membuat-lebih-rendah atau hina; menundukkan atau mengalahkan; dan maknanya ialah penundukan alam untuk umat manusia.
Ide-pokok doktrin taskhīr ialah penegasan Cak Nur bahwa “Allah ‘menundukkan’ untuk manusia segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan bumi (jagad raya), beserta segenap benda dan gejala alam seperti ‘matahari dan rembulan’, ‘siang dan malam’, ‘lautan’, ‘angin’, ‘kapal yang berlayar di lautan’, ‘sungai-sungai’, dan ‘hewan ternak.’” Menurutnya, hal ini adalah ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan.
Secara khusus, Cak Nur mendasarkan pandangannya itu pada firman dalam Al-Qur’an: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan,”.
Menurut Cak Nur, doktrin taskhīr itu berkonsekuensi logis: pertama, manusia adalah puncak ciptaan Allah, maka seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah daripada manusia.
Kedua, alam tercipta untuk dapat dimanfaatkan manusia.
Ketiga, manusia harus menjadikan alam sebagai obyek kajiannya.
Keempat, karena lebih rendah daripada manusia, maka alam menjadi obyek yang terbuka bagi manusia.
Secara ilustratif, dia mengatakan: “…Maka sebagai makhluk tertinggi, manusia harus “melihat ke atas” hanya kepada Tuhan, kemudian kepada sesamanya harus melihat dalam garis mendatar yang rata, dan kepada alam harus melihat ke bawah, dalam arti melihatnya dengan kesadaran bahwa dalam hirarki ciptaan Tuhan, alam adalah lebih rendah daripada dirinya….”.
Manusia adalah Makhluk Berketauhidan
Sebagai implikasi-lanjut dari status dan kedudukan manusia di dalam dokrin taskhīr itu, maka ketauhidan manusia adalah keniscayaan.
Cak Nur mendalilkan bahwa ketika manusia menyadari status dan kedudukannya di dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan itu, maka manusia akan menempatkan segala ciptaan sebagaimana-adanya saja di dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan, dan pantang menempatkannya lebih tinggi, apalagi mempertuhankannya.
Menurut Cak Nur, di sanalah terjadi kesadaran tauhid manusia, yaitu bahwa segala sesuatu harus diposisikan sebagaimana-adanya saja di dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan itu, tidak lebih, sehingga yang dilebihkan di atas manusia dan menjadi serahan-diri hanyalah Tuhan.
Maka menurutnya, perbuatan manusia yang menempatkan ciptaan-ciptaan sebagai lebih tinggi daripada dirinya sendiri adalah perbuatan melawan martabat manusia yang paling merusak. Manusia seperti itu berarti tidak lagi menyadari status dan kedudukannya sebagaimana “rencana” dan “design” Tuhan.
Wal-hāsil, selama manusia menyadari status dan kedudukannya sebagaimana telah digarikan oleh Tuhan dalam ‘rencana’ dan ‘design’ Tuhan, maka pantang bagi manusia mempertuhankan kecuali Tuhan, yang telah menciptakan manusia sebagai puncak ciptaan, dan menundukkan alam semesta untuknya guna dimanfaatkan sebaik-baiknya. Wallāh a‘lam bis-shawāb.
Editor: Yahya FR