Cara Pandang
Menjaga persatuan ialah tugas bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagai manusia yang memiliki sifat basyariyah, senantiasa mampu mengaktualisasikan porsi sebagai humanism dalam setiap tingkah lakunya. Termasuk hal yang begitu amat sangat penting dalam kehidupan ialah menjaga ukhuwah, perasaan, dan cara berpikir sebagai manusia yang memiliki keragaman. Paradigma sebagai manusia yang memiliki kesempurnaan—materi maupun immateri—selayaknya memandang bahwa pluralitas umat ialah sebuah keniscayaan.
Dari cara pandang mereka terhadap keragaman tersebut akan memicu adanya batasan-batasan yang kiranya tidak perlu untuk dikatakan maupun dilakukan. Proses tersebut adalah bagian dari menjaga perasaan umat dan bagian dari menghargai perbedaan.
Bukan saling mencari kebenaran, tapi bagaimana untuk saling mencari jalan kesamaan, titik temu, solusi dan saling mengakui keberadaan mereka. Mayoritas dan minoritas bagian ungkapan yang seringkali menganalisis keberadaan mereka secara kuantitas umat di kawasan-kawasan tertentu. Dampak dari hal tersebut ialah adanya marjinalisasi dan ketimpangan sosial, pendidikan, politik dan budaya.
Harusnya titik temu di antara keragaman umat ialah bukan porsi debat dan dialog formalitas belaka. Namun, proses pemahaman keseharian kehidupan keberagamaan mereka. Seseorang yang betul meyakini bahwa agama ialah keyakinan, bahwa akidah ialah keyakinan, maka porsi memercayai mereka dalam berlaku agama, ialah bagian meyakini bahwa mereka juga patut diakui sebagai umat yang memiliki Tuhan.
Suudzon ialah ungkapan yang tidak seharusnya terpaut-paut dalam lisan dan jeratan tulisan. Cukup bagaimana ruang mereka diberikan jalan dan tempat untuk menikmati rangkaian demi rangkaian ritual mereka dalam beragama. Itulah bangsa-negara yang demokratis.
Maka, tidak ada lagi rasa benci, curiga yang berlebihan terhadap keyakinan umat lain. Sikap politis merupakan konteks diluar perspektif agamis, maka tafsir politis harusnya ditempatkan pada hukum realitas yang berlaku. Adanya kebencian, ketimpangan, muncul karena kurang-tepatnya menempatkan sesuatu masalah pada tempatnya. Sehingga porsi kebencian, amarah dan konflik laten-manifest menjadi jawaban akhir bagi mereka.
Maka seperti alenia di atas, bahwa perlu adanya kemudian proses pemahaman secara intensif dengan kelompok umat lain. Sebab itu merupakan bagian dari proses memahami cara beragama, hidup dan menyikapi berbagai komponen dalam kehidupan dengan pemikiran positif. Misalnya, kemah lintas agama, life in peace, maupun jambore keagamaan. Artinya, jumpa-jumpa tersebut adalah bagian dari pemahaman kehidupan dari berbagai lini, baik diskusi, dialog, obrolan santai maupun memahami daily their life sebagai umat beragama.
Sikap Beragama di Tengah Keragaman Umat
Kemanusiaan ialah nilai utama dalam hidup beragama. Muslim sebagai mayoritas umat terbesar di dunia, harus mampu membangun gerakan wasathiyah di berbagai sektor kehidupan.
NU sendiri sebagai organisasi Islam khas Indonesia, memiliki serangkaian perspektif teoretis-agamis dalam melihat poros-poros tengah dalam keragaman. Meski lapangan berbeda-beda, tapi analisa tesis bisa jadi sama dan relevan dengan konteksnya. Misalnya dalam sikap kemasyarakatan dalam Khittah NU terurai lima poin tentang membangun umat, yaitu tawasuth, i’tidal, tawazun, tasamuh, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Kelima konsep keagamaan-kemasyarakatan tersebut ketika diurai dalam porsi pluralitas umat, tentu masih relevan. Ketika porsi agama berlebihan, seringkali kita fanatik terhadap agama dan enggan menyapa santun pada agama lain. Pun juga ketika porsi toleransi terlalu berlebihan, serasa agama tidak memiliki idealitas dalam kehidupan kita. Maka, keseimbangan ialah bagian yang begitu amat sangat penting, dari ranah apapun dan dari manapun. Dari kelima konsep di atas, kita bisa melihat keragaman berpikir, tindakan, sikap, dalam berkehidupan.
Ketika tawasuth; diartikan sebagai sikap tengah-tengah, tidak ke kanan atau ke kiri. Artinya, porsi berpikir kita mencoba menengah/moderat dalam melihat persoalan. Tidak terlalu liberalis, komunis atau fanatis, jatuhnya malahan menjadi pelaku yang selalu berlebihan dan tidak melihat konteks ketuhanan dan kemanusiaan.
Pun juga pada tataran kemanusiaan, tidak ada keberpihakan yang berlebihan pada manusia tertentu. Tidak ada maksud pada arti-arti materi tertentu yang menjerumuskan pada hal yang buruk, sehingga terjadi ketidakseimbangan.
I’tidal; juga bisa diartikan adil, artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tangga yang tepat dalam porsi keadilan ialah, adil terhadap Tuhan, adil terhadap diri sendiri, adil terhadap manusia lain, dan adil terhadap lingkungan. Yang terakhir ini juga tidak bisa dianggap remeh. Adil terhadap hewan, alam sekitar, dengan tidak merusak habitat, memburu liar, akan mampu membangun harmonisasi siklus kehidupan yang terjaga kelestariannya. Lingkungan merupakan bagian dari penyeimbang yang primer, kebutuhan oksigen, kebutuhan pangan, sumber kehidupan yang harus terjaga keberadaannya, baik hayati maupun nabati.
Semua itu tidak lain bertujuan untuk membangun kemaslahatan kehidupan manusia dan alam. Sebab makna ini juga bersambung pada Tuhan, yaitu ketika kita mampu memanfaatkan alam sekitar dengan baik dan benar, pun juga bisa bermanfaat kepada sekitar.
Selanjutnya, makna tawazun; yang memiliki arti seimbang/keseimbangan. Kita mencoba mengartikan setiap tindakan harus memiliki daya seimbang, baik penggunaan dalil firman Tuhan maupun dalil ijtihad. Kedua porsi harus bisa seimbang dan menempatkan pada tempatnya, agar tidak salah tafsir.
Selain itu, porsi seimbang maksudnya ialah antara hal dunia dan spiritualitas memiliki keseimbangan, tidak berat sebelah, agar keduanya saling memberikan kebaikan yang saling terkait. Ibadah dalam keseriusan, tidak ada ujaran, tidak ada sindiran, sekaligus berbuat baik dalam sosial kemasyarakatan untuk menyambung solidaritas sosial antara manusia. Maka, begitu pentingnya kedua kutub tersebut sebagai penjagaan keseimbangan dalam berkehidupan.
Konsep selanjutnya yaitu tasamuh; artinya toleransi, saling menghargai dan tenggang rasa. Konsep ini begitu amat sangat relevan dengan konteks pluralitas umat di Indonesia. Tasamuh bukan sedang mengakui kebenaran satu agama, melainkan bagaimana untuk menghargai perbedaan di antara agama-agama dan sikap tenggang rasa. Dari sikap saling menghargai, tenggang rasa akan lahir sikap keterbukaan, yang nantinya mampu membangun sikap kejujuran di antara keragaman dengan tidak ada kesalingcurigaan di antara umat beragama.
Terakhir ialah amar ma’ruf nahi munkar; yang artinya mengajak pada hal baik dan mencegah dari hal buruk. Maksudnya, mengajak hal baik yang berpotensi pada hal apapun, terutama kebaikan, keharmonisan, kerukunan, dan persatuan. Kemudian mencegah pada hal-hal yang buruk yang dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan yang memecah belah.
Maka ketika mencoba mendaras korelasi dari kelima konsep tersebut, konteks kemanusiaan merupakan bagian yang begitu sangat penting untuk dijaga keutuhannya. Keragaman umat manusia dengan latar sosialnya yang memiliki keunikan, bukan untuk dimarjinalkan atau diminoritaskan, melainkan perlu adanya rangkulan untuk membangun persatuan.
Demokratis ketika kebebasan beragama, berekspresi berlaku dengan tidak semena-mena, tetap proporsional dan objektif. Agama masih berlaku bagi penganut-penganutnya, tidak boleh dihilangkan dalam konteks kebebasan.
Ambil petikan firman Tuhan dan Hadis Rasul sebagai pedoman berpikir, bersikap, dan bertindak dalam memutuskan berbagai persoalan dengan disertai ijtihad sebagai proses berpikir pada konteks-konteks realitas tertentu. Agar keputusan tidak saklek, kaku, stagnan, melainkan dinamis sesuai perkembangan zaman.
Editor: Soleh