Perspektif

Anggota Dewan yang Terhormat, Tak Bisakah Belajar Skala Prioritas?

5 Mins read

Seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan keluarganya, akan menjalani tes Covid-19 yang akan dilakukan di kompleks Kalibata dan Ulujami. Berita itu sliweran sejak hari Sabtu kemarin. Saya pikir hanya bercanda atau hoax belaka, mengingat alat rapid tes yang dipakai untuk mengetes para suspect Covid-19 ini masih terbatas jumlahnya.

Sementara banyak ODP yang bahkan masih dalam jadwal tunggu untuk menjalani tes (di Solo saja ODP-nya ada 2.795). Karena keterbatasan alat rapid tes, tenaga medis, juga skala prioritas, mengingat riwayat kontak langsung dengan para penderita Corona. Eh, ternyata berita itu blas ngga bohong. Semakin hari malah semakin santer diberitakan oleh banyak media daring, baik skala nasional maupun lokal.

Salah satu berita yang cukup lengkap, menyebutkan bahwa keputusan tes Covid-19 untuk seluruh anggota DPR RI dan keluarganya tersebut, merupakan salah satu hasil simpulan rapat Badan Musyawarah DPR pada Minggu kemarin. Tidak main-main, mereka bahkan sedang menyusun daftar rumah sakit yang bakal menjadi rujukan bagi para anggota dewan yang positif terkena virus Covid-19. Semua itu, di bawah tanggungan asuransi Jasindo.

Tunggu dulu. Katanya mau nanggung sendiri, kok jadi bawa-bawa Jasindo? Itu BUMN, kan?

Keren sekali mereka, bisa mutusin sendiri rumah sakit mana yang boleh merawat mereka. Kita masyarakat umum, harus mengalah, manut saja sama pemerintah, mau dirawat di rumah sakit-rumah sakit mana yang sudah ada listnya, sesuai dengan daerah tempat tinggal kita.

Eh iya lupa, mereka kan anggota dewan yang terhormat ya. Yang katanya biasa mewakili rakyat. Jangankan sekedar rumah sakit yang bakal ngerawat, rapid tes Covid-19 saja diwakili sama mereka. Rakyat itu apa sih. Tidak mungkin kena corona juga kan? Wong ngga pernah jalan-jalan ke luar negeri. Mereka dong, biasa jalan-jalan study banding ke luar negeri pake duit rakyat, makanya butuh dites rapid tes duluan timbang rakyatnya.

Duh, gemes tidak sih punya anggota dewan perwakilan rakyat kok isinya bikin gaduh. Kalau tidak bikin rancangan undang-undang yang isinya absurd, tidak berpihak kepada kepentingan marjinal, sampai ngurusin perkara selangkangan.

Begini loh, pak bapak dan bu ibu dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Apa anda-anda semua ini tidak malu, kok malah sibuk mentingin diri sendiri dulu, tinimbang mentingin kepentingan masyarakat banyak. Anda-anda loh, wakil rakyat, pekerjaan anda-anda itu untuk memikirkan kepentingan rakyat. Prioritas anda-anda semua itu harusnya ya mereka, rakyat anda, bukan diri anda sendiri. Itu sih egois namanya pak, bu!

Baca Juga  Agraria Islam: Sebuah Gagasan Perjuangan yang Sudah Hampir Usang

Saya jadi mikir, pantesan aja ya, banyak rumah sakit yang kekurangan, bahkan minus basic medical supply. Dan dalam hal ini, saya haqul yakin, para anggota dewan yang terhormat tersebut, bukan hanya tidak tahu, tapi juga nggak mau tahu bin sebodo amatan, dengan keadaan yang ada.

Awal tahun ini, tepatnya di bulan Januari, sebelum Imlek, seorang kenalan dari Hongkong, meminta tolong dibelikan masker. Tepatnya masker jenis surgical face mask. Karena masker menjadi barang langka di Hongkong, sementara ia mempunyai anak balita, dan pekerjaannya menuntut ia bekerja di luar rumah setiap harinya.

Kami, saya dan adik saya, mencoba  mencari di apotik-apotik seputaran Semarang, hasilnya nihil. Lalu kami mencoba menghubungi kerabat kami lainnya yang bekerja sebagai apoteker di RSUD Daerah Lampung, beberapa  yang bekerja sebagai Nakes (dokter, perawat, etc), juga yang bekerja sebagai detailer, hasilnya kurang lebih sama.

Masker menjadi barang langka sejak Januari di negeri ini. Kalaupun ada amat sangat terbatas, hanya ada sampai 10 box, dengan harga tiga kali lipat dari biasanya. Harga normal satu box masker berisi 50 lembar, biasanya Rp. 30.000. Januari kemarin, per box dengan isi yang sama, dihargai sebesar Rp. 100.000. Masuk bulan Febuari, masker malah tambah langka.

Seorang kawan yang membuka jasa pengiriman ke luar negeri, bercerita, bahwa setelah bulan-bulan sebelumnya ia kewalahan mengirimkan masker ke luar negeri. Per Febuari, ia sudah tidak bisa mengirim masker lagi ke luar negeri. Sudah ada larangan dari pemerintah, untuk mengekspor masker, dalam jumlah berapa pun. Jika masih nekat, tak hanya denda, tapi hukuman juga menanti.

Makanya, saat ada sebuah media daring yang memuat artikel beberapa hari lalu, yang mengatakan bahwa saat ini pemerintah sibuk mengekspor masker sementara rakyatnya kesulitan mencari masker, saya heran, lalu saya baca isinya. Ternyata ya, judulnya saja yang klick bait dan tendensius, isinya blas ngga nyambung. Lha wong di artikel tersebut juga si wartawan menulis, kalau ia mewawancarai pedagang yang mengatakan, bahwa masker sudah susah dicari sejak Januari, bukan hanya saat ini saja.

Baca Juga  Lazismu Penopang Utama Dana 77 RS Muhammadiyah dan Aisyiyah yang Menangani Covid-19

Dua minggu kemarin, kenalan yang di Hongkong, mengirimkan kami masker, sebanyak tiga box. Dia tahu, kami kesulitan mencari masker. Sementara di Hongkong, masker sudah mulai mudah didapat, karena pemerintah negeri beton, ngebut memproduksi masker, guna memenuhi kebutuhan rakyatnya menghadapi Corona.

Ia tahu, kami membutuhkan masker, bukan hanya karena ada dua orang di rumah ini yang memiliki riwayat kesehatan dengan symptom yang sama dengan Corona, yaitu respirasi symptom. Tapi sebagian dari kami juga masih harus bekerja keluar rumah. Maklum, kami semua bekerja di sektor informal, ngga kerja ya ngga dapat duit (seperti sebagian besar masyarakat kita, kecuali anggota DPR ya, yang masa reses aja tetep dapet duit).

Maskernya sih gratis wong dibelikan, tapi, bea masuknya yang bikin melongo.

Dari Hongkong, harga per box maskernya hanya $8.00, dikali tiga berarti $24. Satu Hongkong Dollar Minggu lalu kira-kira kursnya sekitar Rp. 1.700,-an. Lalu dari sana, dikenakan biaya kirim barang, sebesar $204, padahal di resi  pengiriman barang, sudah tertulis jelas tulisan ”This is sample without commercial value.” Dan sampai sini, kami harus menebus lagi bea masuk, sebesar Rp. 221.053,-. Atau dengan kata lain, masker ini, sudah menjadi barang mewah, yang terkena pajak impor.

Keren kan? Sementara di dalam negeri, para pencari kesempatan, juga menjual masker dengan harga fantastis 300-400 ribu per box! Jadi sedih kalau ingat para survivor kanker, yang jelas membutuhkan masker-masker ini untuk bertahan hidup…

Sampai rumah, masker ini kami bagikan kepada beberapa kerabat yang memang membutuhkan, terutama yang bekerja menjadi Nakes. Ya Nakes lho, ngga usah kaget! Mereka lho butuh banget, tapi stok rumah sakit amat minim, bahkan kekurangan. Kerabat kami yang bekerja di RSUD Lampung, kebetulan seorang apoteker. Ia bercerita, bahwa kawan-kawannya dan dirinya, sudah mulai memakai masker kain sejak bulan lalu, karena langkanya surgical mask. Mereka (untuk sekelas RSUD Propinsi) hanya mempunyai 10 box masker saja yang ada.

Menyedihkan ngga sih, ini sekelas rumah sakit pusat daerah lho, hanya mendapat stok masker 10 box, sampai-sampai Nakesnya memakai masker kain buatan sendiri. Padahal, ini termasuk basic medical supply, yang wajib ada di setiap rumah sakit atau klinik kesehatan. Wajib pula dipakai oleh para Nakes yang bekerja di sana. Karena namanya saja rumah sakit, tempat segala penyakit ada, bukan rumah sehat, tempat orang-orang sehat berkumpul.

Baca Juga  Masjid-masjid Sekuler

Makanya, sewaktu baca berita kalau para anggota dewan ini bakal rapid tes Covid-19 sama keluarganya, kesel rasanya. Kirain, mereka bakal menyumbangkan gajinya (yang tetep diterima meski masa reses), atau mungkin sebagian sebagian gajinya untuk mendukung kebutuhan para Nakes dalam menghadapi pandemi Corona ini, eh malah ngasih pekerjaan tambahan.

Apa mereka ngga bisa gitu, nyisihin gaji mereka, buat beli alat rapid tes, buat disumbangin ke negara. Gaji mereka lho, ngga sedikit. Atau ambilah dari tunjangan-tunjangan yang ngga sedikit jumlahnya. Kaya tunjangan kehormatan aja mereka bisa dapet Rp. 3.720.000,- dan dana komunikasi intensif sebesar Rp. 4.410.000,- yang diterima per bulan. Masa ngga mampu?

Lagian, timbang bikin gaduh, mbok mending bantuin API gitu lho. Itu, API, Asosiasi Perstekstilan Indonesia, lagi pada mengeluh soal hambatan sertifikasi masker yang sudah digarap oleh API.

Anne Patricia Sutanto, Wakil Ketua API, mengatakan bahwa API sudah memproduksi APD (alat pelindung diri)  seperti masker non medis, termasuk masker dengan biaya at coast dan tidak dipakai sebagai komersialisasi, karena itu termasuk komitmen para pelaku industri tekstil.

Sayangnya, bantuan dari API tersebut belum bisa disalurkan ke masyarakat. Padahal, masyarakat kita untuk saat ini jelas-jelas amat sangat membutuhkan, terutama para Nakes. Hal ini terkendala sertifikasi yang harus didapat dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Dinas Kesehatan dan Menteri Kesehatan. Karena untuk produksi masker medical grade, memang harus ada sertifikasi dari badan-badan terkait. Meski masker-masker tersebut sudah dites di laboratorium pabrik, juga sudah dites, dipakai oleh para hikers (pendaki) dunia, sampai Mount Everest.

” …Kalau mereka (para hikers) bisa hidup anti air, anti angin, berarti harusnya ini (masker buatan API) diharapkan virus Corona tidak tembus, ” kata Anne Patricia Sutanto.

Nah, bapak ibu para anggota dewan yang terhormat, mending bantuin API saja. Biar kami-kami ini yang tetap bisa beraktivitas meski terbatas. Mungkin Pak Menkesnya masih sibuk nyiapin rumah sakit dan segala tetek bengeknya, sampai-sampai hal krusial seperti sertifikasi masker medical grade buatan API ini, tertunda terus.

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
ibu dua anak, yang lebih banyak mendengarkan musik, timbang mainan lipstik
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *