Falsafah

Cara Kenali Sifat Allah Lewat Akal Sehat

4 Mins read

Dalam konteks akidah, muslim memahami bahwa hanya Tuhan Allah yang patut disembah. Pemahaman itu sayangnya sering tidak didampingi dengan pengenalan kepada zat Allah. Lebih-lebih kepada segenap sifat yang mustahil ada dan sekaligus yang niscaya serta khusus ada pada zat Allah.

Padahal pemahaman akan hal itu merupakan dasar bagi keimanan yang mengakar kuat dalam sanubari. Keimanan yang bukan semata taklid, yang menelan mentah-mentah segala informasi sekalipun itu bercampur dengan kekeliruan.

Sebabnya, kedua cara memahami itu akan melahirkan sikap yang berbeda pula. Satu akan jadi pribadi kritis-aktif sedang satunya akan jadi pasif-reaktif di hadapan realitas yang majemuk, dinamis dan sekaligus penuh upaya misinformasi.

Maka, disini akan coba dijabarkan menggunakan demonstrasi burhani (akal), sifat-sifat Allah dalam dua jenis. Pertama adalah sifat yang dinafikan dari-Nya. Sifat-sifat itu dikenal juga dengan sifat-sifat salbiyah atau sifat-sifat negatif Allah. Kedua adalah sifat-sifat yang niscaya ada pada diri Allah, atau sifat yang disebut dengan tsubutiyah (sifat positif Allah).

Dari sifat-sifat itu kita akan tahu bahwa merupakan kekeliruan untuk mengira bahwa kemahabesaran Allah menjadikan segala sifat dapat menjadi sifat Allah. Yang benar justru ada hal-hal yang tidak mungkin disematkan pada Allah. Pun ada sifat-sifat yang hanya ada pada diri Allah, yang tidak dimiliki segenap makhluk-Nya.

Premis Pertama: Wajibul Wujud

Dasar dari pemahaman sifat-sifat salbiyah atau yang tidak dimiliki Allah ialah konsep wajibul wujud. Menurut para filsuf muslim, konsep ini pun dapat dicapai melalui proses perenungan dan penalaran filosofis. Berikut ini sebagian cara yang dapat mencapainya.

Awalnya kita tahu bahwa segala yang bisa kita ketahui seperti pohon-pohon, fenomena air pasang, bahkan diri kita sendiri adalah sesuatu yang ada namun disebabkan yang lain. Misal curah hujan dan tanah subur untuk pohon, gaya gravitasi bulan untuk air pasang dan kehadiran ayah-ibu serta pengasuhan dari mereka bagi eksistensi kita.

Baca Juga  Syah Wali Allah: Akal dan Nalar untuk Ijtihad

Pun kita juga mengenal hal-hal yang ‘mungkin ada’ seperti pohon baru, banjir bandang dan keturunan kita yang belum lahir. Semua itu adalah yang saat ini belum ada namun juga tidak bisa ditolak bahwa mereka mungkin ada. Dari dua jenis fenomena ini kita bisa pertama-tama menyimpulkan bahwa segala yang ‘ada’ memiliki ciri ‘bergantung’ dan ‘mungkin’.

Namun sejurus kemudian kita bisa merenung dan bertanya, apakah mungkin realitas ini hanya terdiri dari zat yang bergantung dan mungkin? Akal akan menjawab bila semuanya bergantung dan mungkin, maka realitas seluruhnya tidak mungkin ada.

Analoginya sering diumpamakan para filsuf begini: jika semua pelari hanya berlari ketika yang lain berlari, maka tidak akan ada yang mulai berlari. Artinya, harus ada satu pelari yang tidak tergantung larinya oleh yang lain agar lomba lari dapat terjadi.

Dengan analogi di atas, kita dapat membayangkan bahwa agar realitas ini ada maka diperlukan satu zat yang niscaya, atau wajib yang eksistensinya menjadi lokus kebergantungan dari eksistensi zat-zat yang lain. Zat itu juga musti ada karena diri-Nya sendiri (mandiri). Zat yang wajibul wujud itu adalah Allah!

Yang Mustahil dan Pasti dari Wajibul Wujud

Setelah memahami Allah sebagai wajibul wujud, berikutnya kita bisa memahami apa yang mustahil ada dan pasti ada pada wajibul wujud. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa wujud Allah itu mandiri atau tidak dipengaruhi yang lain. Bahwa Allah tidak mungkin menjadi akibat, melainkan ia adalah sebab bagi segala sesuatu. Artinya, sifat ‘akibat’ atau ‘dampak’ dikecualikan dari Allah.

Berikutnya ketika kita melihat selain Allah, seperti manusia dan pohon-pohon, akan kita temukan bahwa mereka pernah tidak ada. Mereka kemudian menjadi ada, namun suatu saat bisa menjadi tidak ada lagi. Ini menunjukkan bahwa segalanya selain Allah atau segala ciptaan-Nya pasti didahului ketiadaan atau akan diakhiri ketiadaan.

Baca Juga  Posisi Akal dan Wahyu: antara Imam Al-Ghazali & Harun Nasution

Kenyataan tersebut berbeda dengan Allah. Bahwa tidak ada sedetikpun waktu yang tanpa diri-Nya dan bahwa ujung waktu dilampaui oleh-Nya. Pada yang pertama kita menyebut Allah sebagai zat yang azali atau tidak didahului ketiadaan. Sedangkan pada yang kedua kita menyebut Allah sebagai zat yang abadi yang artinya selalu ada sampai kapanpun.

Imaterialitas Zat Allah

Berikutnya, karena Allah merupakan zat yang tidak dipengaruhi apapun, maka ia bersifat basith (sederhana) yang tidak memiliki bagian-bagian atau susunan-susunan. Sebab secara logika, kebutuhan pada bagian-bagian akan menjadikan Allah tidak lagi mandiri. Allah haruslah tidak bergantung pada yang lain selain zat-Nya sendiri.

Seperti misal manusia yang tersusun dari jiwa dan jasad. Kedua bagian yang menyusun manusia itu sama-sama saling membutuhkan. Jiwa membutuhkan jasad untuk mewujudkan kehendaknya. Sedangnya jasad membutuhkan jiwa untuk menjaga jasad dari pembusukan dan disintegrasi. Demikian itu mustahil terjadi pada Allah.

Pun harus dimengerti bahwa bagian-bagian atau struktur merupakan ciri dari sesuatu yang bersifat kebendaan atau materi. Adapun hal ini tidak terdapat pada diri Allah. Konsekuensinya bahwa Allah adalah zat yang immaterial. Selanjutnya pula immaterialitas Allah itu menjadikan-Nya terbebas dari segala sifat-sifat benda material.

Beberapa yang menjadi sifat material seperti membutuhkan ruang dan waktu tidak berlaku pada Allah. Bebasnya Allah dari kedua hal itu juga menjadikan Allah terbebas dari gerakan atau perubahan yang umum terjadi pada materi. Tidak seperti manusia yang bisa berubah-menua atau sirna, Allah adalah zat yang tidak berubah-ubah karena melampaui ruang dan waktu.

Konsekuensi Pemahaman Sifat-Sifat Allah pada Akidah

Berdasar paparan di atas, dapat ditarik suatu implikasi dari pemahaman sifat-sifat negatif dan positif Allah. Bahwa dengan memahami sifat-sifat itu kita dapat membedakan mana yang bukan Tuhan dan mana yang Tuhan. Bahwa Allah tidak memiliki semua sifat-sifat salbiyah itu, melainkan makhluknya. Serta terdapat sifat-sifat yang unik atau khusus hanya dimiliki Allah.

Baca Juga  Menelaah Syatahat Al-Hallaj

Beberapa pemahaman keliru misalnya menyatakan energi sebagai Tuhan itu sendiri. Kata mereka, energi bekerja berdasar prinsip kekekalan yang menjadikan energi tidak pernah bisa sirna. Kata prinsip ini juga, energi hanya bertransformasi ke dalam wujud lain. Misal energi gerak pada kincir air yang tidak sirna, melainkan dikonversi menjadi energi listrik.

Sebagaimana yang telah kita kaji, zat Tuhan adalah zat yang tidak bergantung dan tidak berubah-ubah oleh karena sesuatu yang lain. Jika dipengaruhi yang lain dan wujudnya mengikuti sesuatu yang lain maka ia bukan Tuhan. Dalam hal energi jelas bahwa wujudnya berubah-ubah dan perubahannya ditentukan oleh suatu hal (alat atau mesin) di luar dirinya.

Pun, energi bukan sesuatu yang aktif mengubah diri melainkan menerima perubahan oleh kendali yang lain. Demikian itu mustahil terjadi pada diri Tuhan. Justru Tuhan adalah zat yang secara aktif memberi eksistensi atau kewujudan kepada yang lain. Serta, aktivitasnya hanya terjadi karena kehendak-Nya yang mandiri.

Editor: Yahya

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds