Pada 28 Oktober 2021, Mark Zuckerberg menyentak dunia dengan mengganti nama perusahaannya dari Facebook ke Meta. Berselang satu hari kemudian, Zuckerberg kembali mengejutkan publik melalui rencananya membangun pengalaman virtual masa depan lengkap dengan sense of presence (rasa kehadiran). Mengadopsi istilah dalam novel fiksi ilmiah Snow Crash (1992) karya Neal Stephenson, semesta baru itu disebut metaverse.
Metaverse adalah realitas virtual 3D yang menggunakan teknologi artificial intelligence (AI), augmented reality (AR), dan virtual reality (VR). Singkatnya, metaverse adalah dunia virtual yang tampilannya tiga dimensi (3D) sehingga mirip seperti di dunia nyata.
Metaverse disebut-sebut sebagai masa depan internet di mana para pengguna dapat berinteraksi, bermain, belajar, bekerja, dan berbelanja. Semua itu dilakukan secara virtual dan real time dengan impresi seperti di dunia fisik.
Untuk memasuki semesta meta, pengguna harus menggunakan perangkat AR/VR seperti kacamata dan sarung tangan untuk mendapatkan sensasi rasa kehadiran yang nyata. Dan tentu saja, pengguna harus memiliki koneksi internet yang stabil dan cepat. Gambaran lebih jelas mengenai metaverse dapat dilihat melalui film besutan Steven Spielberg berjudul Ready Player One (2018).
Tidak hanya Meta, beberapa perusahaan dunia juga sedang membangun metaverse-nya masing-masing. Sebut saja Apple, Google, Microsoft, dan Niantic. Indonesia pun tidak mau ketinggalan.
Melalui WIR Group, perusahaan metaverse asal Indonesia ini telah mengembangkan berbagai proyek AR di 20 negara sejak 2009. Bahkan, Forbes GE mendapuk WIR Group sebagai salah satu perusahaan metaverse yang patut diperhitungkan.
Mengintip Kehidupan di Metaverse
Saat ini teknologi metaverse memang masih berada dalam tahap awal. Zuckerberg sendiri menyatakan bahwa metaverse baru akan menjadi arus utama dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, kini kita sudah dapat mencicipi seperti apa hidup dalam metaverse melalui game metaverse seperti Roblox, Fortnite, Minecraft, dan Sandbox.
Di Sandbox misalnya, selain diisi oleh pengguna dari kalangan masyarakat, ada banyak brand, Intellectual Property (IP), dan selebriti yang “hidup” di dalamnya. Sebagai contoh Adidas, The Walking Dead, Pororo, South China Morning Post, Quan, dan Snoop Dogg. Snoop Dogg bahkan telah menggelar konser, pesta privat, dan berinteraksi dengan fans di metaverse Sandbox.
Di Sandbox, pengguna dapat membeli, menjual, dan menyewa aset digital seperti “land” atau tanah virtual. Di tanah virtual ini dibangun propertinya seperti rumah, kantor, toko, mal, dan galeri seni.
Kini, telah ada sekitar 16.000 orang yang membeli tanah virtual di Sandbox meskipun per petaknya dibandrol seharga USD15,179 (sekitar 220juta rupiah). Untuk dapat membeli tanah virtual, pengguna perlu memiliki mata uang kripto bernama SAND (1 koin seharga USD7-8 atau 100-120 ribu rupiah).
Joanna Stern, seorang kolumnis teknologi senior, mencoba hidup selama 24 jam dalam metaverse melalui perangkat Oculus. Setelah mengatur avatar atau versi digital diri, Stern mencoba aplikasi AltspaceVR untuk bersosialisasi dengan pengguna lain.
Tidak hanya bersosialisasi, aktivitas lain pun dapat dilakukan seperti nonton film, meeting, berlibur, meditasi, dan olahraga. Pengguna juga dapat berbelanja barang virtual untuk dikenakan oleh avatarnya di metaverse. “Dunia baru” ini membuat seseorang dapat melakukan berbagai hal tanpa perlu meninggalkan rumah.
Menurut Stern, rasa kehadiran orang lain terasa sungguh nyata. Ia dapat mendengar orang lain berbicara, berjalan, dan bahkan bersin. Seolah-olah sedang berada dalam satu ruangan dengan orang tersebut. Secara visual, metaverse pun membuat kita seolah berada di sebuah ruangan/tempat di dunia nyata.
Selain Stern, ada banyak orang yang juga telah mencoba kehidupan di metaverse. Meskipun sebagian besar terkesima dengan kehidupan yang diberikan dalam metaverse, namun menggunakan perangkat AR/VR jangka panjang membuat rasa sakit di mata serta kepala. Hidup dalam metaverse memang menarik, namun tetap perlu diwaspadai.
Masalah Sosial yang Mungkin Terjadi
Perkembangan teknologi tentu akan dibarengi dengan masalah sosial yang akan muncul. Beberapa di antaranya seperti kecanduan, kebocoran data privasi dan jejak digital, serta merangsang indera secara berlebihan.
Bahkan, masalah pelecehan secara virtual seperti diraba, dihadang, dan difoto tanpa persetujuan telah terjadi dalam metaverse. Keasyikan hidup di metaverse juga dapat memanipulasi persepsi seseorang tentang dunia nyata.
Dunia virtual akan terasa lebih nyata dari dunia nyata itu sendiri. Jangan-jangan, akan tiba suatu era ketika manusia lebih nyaman berinteraksi secara virtual di metaverse daripada secara langsung. Batasan antara virtual dan realita pun akan semakin menipis, atau bahkan hilang sama sekali.
Pun demikian, kehadiran metaverse adalah sesuatu yang sulit untuk dihindari, sama seperti media sosial saat ini. Dengan segala kecanggihannya, metaverse akan menjadi gaya hidup masa depan yang populer di kalangan anak muda, khususnya generasi Alpha (lahir tahun 2010).
Metaverse pada akhirnya menjadi revolusi dalam berkonektivitas dan mengubah cara kita hidup. Kita pun harus bersiap memasuki kehidupan yang sama sekali berbeda dari dekade sebelumnya. Era ketika manusia lebih banyak bersosialisasi di metaverse.
Namun, sedekat apapun rasa kehadiran yang berhasil diciptakan, saya rasa tidak akan mampu menggantikan sensasi berinteraksi dengan manusia lain di dunia nyata. Atau setidaknya, ini menurut saya yang hidup sebagai digital immigrant atau yang mengalami transisi dari teknologi analog ke digital.
Editor: Yahya FR