Perspektif

Cara Memberdayakan Anak Yatim Piatu dengan Baik

5 Mins read

Dampak pandemi COVID-19 bagi kehidupan sosial dan ekonomi masih terasa imbasnya hingga saat ini, meskipun pemerintah telah mencabut PPKM pada akhir Desember 2022. Salah satu imbasnya ialah kehidupan dan kesejahteraan anak yatim atau yatim dan piatu yang ditinggal orangtuanya karena meninggal korban ganasnya Covid-19. Masalah yang perlu dikelola ialah kesejahteraan anak khususnya pada kesehatan fisik, mental, pendidikan, dan pengembangan diri, penanganan masalah ini membutuhkan tata kelola kolaboratif para pihak secara holistik yang tidak lain bertujuan tercapainya kesejahteraan anak.

Hingga Januari 2022, menurut Kementerian PPPA jumlah anak yatim dan Yatim Piatu yang terdampak Pandemi Covid-19 secara nasional menjadi 32.216 anak. Sedangkan di DIY, Pemerintah DIY memiliki data sejumlah 1.784 anak menjadi yatim, piatu maupun piatu karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19. Merespon dampak pandemi Covid-19 terutama pada anak yatim dan piatu, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah pun telah menanggung berbagai kebutuhan mereka di bidang pendidikan.

Budaya gotong royong dan tolong menolong masyarakat kita tidak diragukan lagi pelaksanaannya, dibuktikan dengan berbagai bentuk solidaritas masyarakat terutama pada saat pandemi covid-19, tidak terkecuali dalam menyantuni anak yatim dan piatu karena orang tuanya menjadi korban ganasnya Covid-19. Berbagai gerakan solidaritas ini diinisiasi oleh pribadi, komunitas, dan lembaga kemasyarakatan dan keagamaan.

***

Pandangan hidup dan nilai-nilai altruisme masyarakat melalui solidaritas diatas, dalam Islam  dapat dimaknai sebagai bentuk keseimbangan dan keselarasan relasi manusia dengan Allah swt (habluminallah); relasi kemanusiaan (hablun minannas); dan keharmonisan dengan alam (hablum ninal ‘alam), bahkan umat muslim didorong untuk berifak di waktu lapang dan sempit (Q.S. Ali Imron (3): 134).

Bahkan pada ayat lain dianjurkan untuk saling tolong-menolong, pada Surat at-Taubah ayat 71 Allah berfirman “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. at-Taubah (9):71).

Firman Allah pada Surat at-Taubah diatas menganjurkan sekumpulan orang-orang yang beriman untuk saling tolong-menolong atas dasar solidaritas sesama muslim. Quraish Shihab (2007) menafsirkan kata penolong (awliya)sebagai keberanian, tolong menolong, saling bantu membantu dan biaya serta tanggung jawab. Maka dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan kerja saling membantu ini hendaknya dilakukan dengan terorganisir melalui lembaga/organisasi yang menjalankan pelayanan sosial.

Baca Juga  Apakah Memilih Childfree Pilihan yang Tepat?

Keterpaduan Layanan

Keberanian Muhammadiyah dalam menyantuni anak yatim dan piatu telah menjadi pioner pada urusan ini, semenjak 1921 hingga saat ini. Pengasuhan dan santunan pada yatim dan piatu ini pada mulanya diwajibkan bagi pengurus/anggota Muhammadiyah untuk mengasuh dan mendidik di rumah masing-masing, kemudian melembaga dalam Panti Asuhan.

Namun pada pengasuhan anak yatim dan piatu sebagai penyintas pandemi Covid-19 agak berbeda atau antimainstream, pendekatan yang sangat menarik perlu mendapat tanggapan, yaitu pengasuhan berbasis keluarga sebagaimana disampaikan oleh Ketua Lazismu PWM DIY, bahwa Panti Asuhan merupakan pilihan terakhir, permasalahan anak-anak yatim piatu akibat terdampak Covid-19 ini perlu terus didorong dengan mengedepankan pengasuhan yang dilakukan oleh pihak keluarga sehingga mendapatkan fasilitas terbaik. Muhammadiyah DIY sepertinya bermaksud mengembalikan model pengasuhan anak yatim dan piatu ini pada masa awal yang berbasis keluarga.

Konsep pengasuhan anak dalam Ilmu pekerjaan sosial disebut dengan manajemen pelayanan sosial pada anak, pendekatan yang diterapkan pada manajemen pelayanan anak ialah berbasis masyarakat dan berbasis lembaga. Kedua pendekatan tersebut sangat cocok untuk diterapkan secara terpadu oleh Muhammadiyah yang telah memiliki kapasitas. Untuk menyempurnakan gagasan pengasuhan berbasis keluarga, penulis mengulas lebih luas pendekatan berbasis masyarakat atau pendekatan keluarga dalam masyarakat (family based care in the community).

Pelayanan sosial anak berbasis masyarakat didefinisikan sebagai pendekatan yang dirancang untuk memungkinkan anak-anak tetap dengan keluarga mereka (baik keluarga inti maupun keluarga besar) atau jika terpaksa dilakukan pemisahan anak ditempatkan pada keluarga alternatif di dalam komunitas mereka (Suharto, 2007). Prinsip utama dalam pendekatan ini ialah keterlibatan seluruh mitra komunitas untuk kesejahteraan anak (Mather & Grafton, 2022). Tujuannya ialah mencegah anak pemisahan anak dari keluarganya dan agar anak tetap dalam kehidupan yang normal dalam budaya komunitas.

Baca Juga  "Anak-Anak Yatim" Sering Dilupakan dalam Diskusi Poligami
***

Keunggulan pengasuhan anak berbasis masyarakat ini pada efisiensi biaya yang relatif lebih murah dibandingkan model pengasuhan berbasis lembaga. Selain itu pengasuhan dan pendidikan pendekatan berbasis masyarakat dapat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan anak, melalui pembiasaan dapat memberikan keterampilan hidup, dan memelihara jaringan masyarakat yang diperlukan bagi perkembangan anak terutama pada saat dewasa, serta meningkatkan ketangguhan anak dalam menghadapi dampak bencana karena ketangguhan juga merupakan hak anak. Pendekatan berbasis keluarga juga lebih fleksibel dalam waktu pelayanan/pendampingan dan menyesuaikan dengan kebutuhan spesifik keluarga.

Namun, pendekatan berbasis masyarakat bukanlah tanpa kelemahan, terutama risiko terjadinya kekerasan dan eksploitasi anak ketika anak dipertalikan pada keluarga yang tidak memiliki pertalian darah. Untuk mencegah risiko tersebut, assessment anak dan keluarga asuh pengganti harus cermat sehingga outputnya akan menghasilkan daftar anak yang bisa diasuh oleh keluarga inti, keluarga asuh / kerabat atau ke pengasuhan di lembaga, serta keluarga yang layak menjadi keluarga asuh. Kelemahan berikutnya yakni pendampingan yang berkelanjutan termasuk pengawasan dari pemerintah, sebab selain dukungan materi juga memberikan dukungan konseling untuk kesehatan mental anak.

Pendekatan berbasis keluarga atau berbasis masyarakat memerlukan keterpaduan layanan antara dukungan layanan oleh masyarakat, lembaga pendamping, akademisi, dan pemerintah hingga unit terkecil di desa/kelurahan. Peran lembaga pendamping dan pekerja sosial sangat penting untuk mengkoordinasikan berbagai layanan yang ada untuk memberikan pelayanan terbaik bagi anak, sebab tujuan akhir upaya merawat, mengasuh, melindungi, membesarkan dan mendidik anak hendaknya berbuah pada lahirnya kemanfaatan pada diri anak (Fiqh Anak).

Tata Kelola Kolaboratif

Konsep Tata Kelola Kolaboratif (collaborative governance)dimaknai dengan kemitraan antar organisasi yang saling bekerjasama mencapai tujuan dan hasil, berbagi tanggungjawab dan sumber daya, saling pengertian dan konsensus. melibatkan pihak-pihak secara lintas batas lembaga-lembaga publik, tingkat pemerintahan atau publik, swasta dan lembaga kemasyarakatan dalam rangka untuk melaksanakan suatu tujuan publik yang tidak bisa terselesaikan. Sehingga dalam persoalan penangananan dan pelayanan pada anak yatim dan piatu dilaksanakan dengan kontribusi para pihak, baik pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat, dan lembaga swasta berbasis kekuatan sumberdaya yang dimiliki masing-masing pihak.

Laboratorium sosial pelayanan anak berbasis keluarga dan masyarakat di DIY akan lebih sukses dengan ikhtiar dakwah jamaah yang berkelanjutan, yaitu Pertama, mobilisasi sumberdaya Persyarikatan Muhammadiyah. Mobilisasi atau pengerahan sumberdaya Persyarikatan berupa sumberdaya finansial, manusia, sosial pada Ranting lokasi program. Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah sebagai garda depan pelaksanaan program yang didukung oleh Cabang-Daerah-Wilayah sebagai Supra Ranting. Pemusatan dakwah ini hingga pada praksisnya dikelola oleh lintas Majelis/Lembaga yang sangat berkepentingan langsung dengan masyarakat, semisal MPS, MPM, LPB, MPKU, Lazizmu, LPCR.

Baca Juga  Percaya Teori Darwin, Tak Otomatis Menyalahi Firman Allah
***

Kedua, pedampingan berkelanjutan, tidak hanya pada program pelayanan sosial anak berbasis keluarga, seringkali aspek keberlanjutan program menjadi pekerjaan yang sulit, hal ini karena kurang matang dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan yang kurang efektif, dan penyelenggaraaan monitoring-evaluasi yang hanya menjalanjan rutinitas (business as usual). Pendampingan berkelanjutan bukanlan berarti pendampingan sepanjang masa, melainkan bertahap maju dan akan ada saatnya dilakukan terminasi ketika output dan outcome telah dinilai tercapai. Kolaborasi dengan pemerintah (Dinas Sosial, Dinas PPPA) dan KPAI amat penting agar nafas pendampingan tidak terhenti di tengah jalan.

Ketiga, peran pekerja sosial profesional. Pendampingan yang berkelanjutan diatas hendaknya dilakukan oleh pekerja sosial profesional, bukanlah relawan yang mengatasnamakan pekerja sosial. Sebab, pekerja sosial merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah mendapatkan sertifikat kompetensi (UU No.14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial). Maka, adalah kewajiban Perguruan Tinggi Muhammadiyah melahirkan kader Pekerja Sosial Muhammadiyah sebagau upaya mengatasi berbagai permasalahan sosial.

Akhirnya, selamat melaksanakan Musyawarah Wilayah ke-13 Muhammadiyah DIY, semoga “Membumikan Risalah Islam Berkemajuan, Mencerahkan Jogja” dapat tercapai.  

Daftar Bacaan

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial.

Fikih Kebencanaan; Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-29 Tahun 2015 di Yogyakarta, (2015). Majelis Tarjih dan Tajdid-Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Robert, Albert R & Greene, Gilbert J. (2008). Buku Pintar Pekerja Sosial, Jilid 1. Terj. Juda Damanik dan Cyinthia Pattiasina. Jakarta: Gunung Mulia.

Suharto, Edi. (2007), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Shihab, M. Quraish. (2007), Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Vol.5. Jakarta: Lentera Hati.

Untung Tri Winarso
1 posts

About author
Alumni Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Deputi Direktur Perkumpulan Lingkar
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds