Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read

Marah dalam Al-Qur’an

Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Allażīna yunfiqụna fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa wal-‘āfīna ‘anin-nās, wallāhu yuḥibbul-muḥsinīn.

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ar-Raghib Al-Asfahani (wafat 502 H) dalam bukunya “ Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an (Kamus Al-Qur’an; Penjelasan Asing Dalam Al-Qur’an ) jilid 2, hlm 861 menyebutkan bahwa kemarahan/marah dalam Al-Qur’an disebut dengan dua istilah الغضب (Al-Ghadhub) yaitu ledakan darah dalam hati untuk membalas dendam, oleh karena itu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda:  I’ttaqul ghdhuba fainnahu jamratun’ tuwqadufi qalbi ibbni adama alam taraw ilan’ tifakhi awadajihi wajihi wahumrati a’ynaiyhi: Jauhilah olehmu kemarahan karena merupakan bara api yang ada dalam hati manusia, tidaklah kamu melihat bagaimana urat orang marah membengkak dan matanya merah.

Istilah kedua dalam Al-Qur’an menurut Al-Asfahani yaitu الغیظ (Al-Ghaizh) yaitu kemarahan yang meledak-ledak dibandingkan dengan الغضب (Al-Ghadub). Imam Mustafa Al-Maraghi (wafat 1945 M) dalam Tafsir Qur’an Al-Maraghi jilid 3, hlm. 106, menyatakan bahwa Al-Ghaizh adalah perasaan sakit yang menimpa jiwa seseorang akibat hak-haknya  direnggut baik dalam bentuk materi seperti harta benda ataupun berbentuk maknawi, seperti kehormatan dan pretisinya, sehingga hal tersebut membuatnya terkejut dan mendorongnya untuk melampiaskan dendamnya.

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Imran ayat 134 kita diperintahkan menjadi hamba Allah yang senantiasa وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ ( wal kazhiminynalghayzh) yaitu menahan kemarahan dengan cara وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ (wal a’fiyna a’ninas) yaitu memaafkan kesalahan yang berbuat salah pada kita. Oleh karenanya perbedaan “Al-Ghadub” dengan “Al-Ghaizh” menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya “Al Jami’ li Ahkamil Qur’anAl-Ghadhub yaitu melampiaskan kemarahannya dengan kata keji, tindakan kekerasan sementara Al-Ghaizh itu kemarahan yang meledak-ledak tetapi ia dapat mengendalikannya.

Tingkatan Kemarahan dalam Islam

Imam Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 1111 M) dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin jilid 5” membagi tingkatan kemarahan atas tiga tingkatan:

1. Tingkatan Tafrith (Kemarahan yang Lemah)

Yaitu ada hal yang membuatnya marah dan marahnya itu dibenarkan Islam tetapi ia tidak menunjukan kemarahannya, inilah disebut kemarahan yang lemah (Tafrith) karena tidak memiliki sikap yang tegas. Imam Syafi’i rahimahumullah berkata: “Barang siapa yang dibuat marah tetapi ia tidak marah maka ia keledai”. Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata; barangsiapa tidak mempunyai kekuatan marah dan kesombongan sama sekali maka ia masuk dalam tingkatan Tafrith.

    Allah mensifati para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan Q.S Al-Fath ayat 29 ; أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ (asyidda a’ a’lalkufari ruhama’ baynahum) artinya Adalah keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka”.

    Maksudnya adalah jika terjadi kemungkaran ataupun penghinaan terhadap ajaran Islam dari musuh-musuh Islam ataupun kaum munafik, kita harus marah dan menyombongkan diri terhadap mereka karena kita adalah umat terbaik yang diciptakan Allah (Q.S Al-Imran 110), jika kita diam saja tidak mahu tahu karena takut sebab mereka memiliki kekuatan ataupun kekuasaan, kekayaan maka hal itu bersikap seperti pengecut, sebagaimana kata Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib yaitu arti nista dan pengecut adalah takut pada musuh dan hanya berani pada yang lemah.

    ***

    2. Tingkatan Kemarahan I’tidal (Sedang)

    Kemarahan sedang (I’tidal) merupakan kemarahan yang dibenarkan dalam Islam karena terjadinya suatu peristiwa yang merugikannya mengenai hal keduniaan maupun akhirat. Namun kemarahan itu ia sikapi dengan bijaksana, adil dan ia mampu mengendalikan emosinya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam-pun pernah marah. Bagaimana Rasulullah ketika marah ditulis lengkap oleh Yusuf an-Nabhani dalam kitabnya “ Wasail al Wushul Ila Syamail al-Rasul”.

    Baca Juga  Karakter Mahabbah: Cinta Sunyi kepada Sang Pecinta Sejati

    Sebagai contoh, Rasulullah pernah marah pada Kaisar Kisra Kekaisaran Persia yang mengeksekusi mati sahabat yang diutus Nabi pada Kaisar Persia dan Kaisar Persia merobek surat Rasulullah yang isinya mengajak Kaisar Persia masuk Islam. Rasulullah juga pernah marah pada Usamah bin Zaid radiallahuanhu yang membunuh orang kafir yang mengatakan la ilaha illallah.

    Rasulullah juga marah ketika istrinya membuli Ummul Mukminin Sayyidah Shafiyah binti Huyay radiallahu anhu karena ia berdarah Yahudi. Rasulullah ketika marah, Nabi tetap bersikap bijaksana, adil, tidak menggunakan kekerasan kecuali diserang secara brutal, dan tidak pernah memukul istrinya karena marah, ketika beliau marah pada seseorang tidak sengaja dilakukan dihadapan umum.

    3. Kemarahan Berlebihan (Tafrith)

    Kemarahan berlebihan (Tafrith) yaitu kemarahan yang meledak-ledak, sehingga tidak lagi bersikap bijaksana dan tidak bersikap adil, kehilangan akal. Sikap Tafrith ini adakalanya memang watak seseorang ataupun timbul karena kebiasaan. Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah mengibaratkan kondisi seperti ini otaknya seperti gua, dimana api menyala di dalamnya lalu udaranya menjadi hitam. Di dalamnya ada lampu yang lemah lalu sinarnya terhapus atau padam.

    Kemarahan berlebihan (Tafrith) ini dilampiaskan dengan caci maki, hinaan atau ucapan keji, fitnah, bahkan kekerasan baik penganiayaan bahkan penghilangan nyawa orang lain.  Sebagai contoh, kemarahan Qabil pada Habil sehingga ia membunuh saudaranya karena kedengkian.

    Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Jika orang yang marah melihatnya wajahnya di kaca maka ia akan melihat kejelekan bentuknya sehingga kemarahannya akan hilang karena malu kejelekan bentuknya yaitu kejelekan batiniah dan kejelekan lahiriahnya”.

    Kemarahan yang Halal dan Haram dalam Islam

    Dalam Islam sifat kemarahan berasal dari nafs (jiwa) yang dalam psikologi Al-Qur’an dibagi atas tiga bagian , yaitu Nafs al-Amarrah, Nafs Al-Lawwamah, dan Nafs Al-Muthmainnah. Dr. Bahruddin dalam bukunya “Paradigma Psikologi Islam (2004)” menyebutkan bahwa Nafs al Ammarah merupakan sikap agresif mendorong untuk memuaskan keinginan rendah, melakukan hal-hal yang negatif. Jika seseorang cenderung pada an-nafs al-amarrah maka ia tidak mampu mengendalikan kemarahannya (Tafrith).

    Kemudian, seorang Muslim yang mencapai tingkatan taqwa sesuai Q.S Al-Imran ayat 133 maka ketika ia menghadapi kondisi yang mengharuskan marah maka ia menimbang-nimbang apakah tindakannya dari hasil luapan kemarahan itu menimbulkan dosa karena berlebihan (tafrith) ataukah masih hal wajar (i’tidal).

    Dalam posisi ini, orang tersebut berada dalam nafsu lawwamah. Nafsu Al-Lawwamah diartikan Raghib Al-Asfahani (wafat 1108 M) dalam kitabnya “ Mu’jaum Mufradat Alfaz Al-Qur’an” sebagai nafs (jiwa) yang telah menganjurkan untuk berbuat baik dan dia akan mencela dirinya apa bila melakukan hal-hal yang tercela. Nafsu al-lawwamah terdapat dalam Q.S Asy-Syams 7-8: “Demi Jiwa serta penyempurnanya, maka Allah telah mengilhamkan kepadanya jalan kebaikan dan keburukan”.

    Tingkatan nafs selanjutnya dalam Al-Qur’an yaitu Nafs Al-muthmainnah yang menjadi tingkatan tertinggi setelah melewati fase Nafs lawwamah. Allah berfirman dalam Q.S Ar-Ra’ad ayat 28:

    ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

    Allażīna āmanụ wa taṭma`innu qulụbuhum biżikrillāh, alā biżikrillāhi taṭma`innul-qulụb.

    Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

    ***

    Ar-Raghib al-Asfahani mengartikan Nafsu Al-Muthmainnah berasal dari kata “tamana” yang artinya tentram, ketika “tamana” dengan berbagai bentuknya dihubungkan dengan kata qalb atau nafs maka maknanya adalah jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat. Orang yang mencapai tingkatan nafs al-Muthmainnah maka jiwanya tenang senantiasa mengingat Allah, ia akan bersikap pemaaf atas kesalahan orang lain dan tidak mudah marah jika menyangkut urusan keduniawian. Di dalam jiwanya hanya ada cinta dan kasih sayang bahkan terhadap musuh-musuhnya.

    Baca Juga  Inilah Fungsi Fitrah Akliyah dalam Pendidikan Islam

    Sebagai contoh, Imam Ali Zainal Abidin bin Ali bin Abi Thalib radiallahuanhu yang mampu mengendalikan luapan kemarahannya pada Yazid bin Muawiyah pada saat terjadinya prahara politik tragedi tanah Karbala di Kufah (Irak) ataupun sikap sikap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang memaafkan kesalahan Hindun binti Utbah radiallahuanhu yang mengunyah jantung Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud yang ketika itu Hindun binti Utbah masih dalam keadaan kafir musyrik.

    Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid 5 berkata bahwa: “Barangsiapa yang kuat Tauhidnya sehingga mengetahui segala sesuatu semuanya di tangan Allah, maka ia tidak marah kepada seseorang dari makhluk-Nya. Karena ia mengerti bahwa mereka tunduk dalam genggaman kekuasaan-Nya seperti pena di tangan penulis”.

    Rasulullah pernah marah hingga kedua pipinya memerah sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Wahai Allah ! Aku adalah manusia yang marah seperti manusia lain marah. Maka siapa saja seorang Muslim yang aku caci maki atau kukutuk atau kupukul, maka jadikanlah itu daripadaku sebagai shalat atasnya, zakat dan pendekatan yang mendekatkan dirinya kepada-Mu pada hari kiamat” (HR. Muttafaqun Alaih).

    Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah berkata: “Kemarahan akan hilang ketika menyibukkan hati dengan hal yang lebih penting atau karena pandangan Tauhidnya kuat atau karena ia memahami bahwa Allah menyukai dirinya ketika ia tidak marah, karena cintanya kepada Allah, mampu memadamkan kemarahannya”. Sebab kemarahan adalah sombong, bangga diri dan merasa lebih tinggi serta panas hati.

    Imam Al Ghazali menyatakan: “Seyogyanya kamu mematikan kemegahan dengan tawadhu (merendahkan diri) dan kamu mematikan kebangaanmu dengan mengenal dirimu bahwa kamu sama-sama berasal dari satu ayah yaitu Nabi Adam alaihissalam”.

    Kemarahan yang Wajib dan yang Haram

    Dari segi hukum (syariah) maka kemarahan pada jiwa seseorang dikategorikan atas kemarahan yang wajib dan haram serta diharamkan. Kemarahan yang hukumnya wajib ialah kemarahan yang timbul karena adanya peristiwa buruk yang dilakukan seseorang yang berkaitan dengan agama Islam. Misalnya, ketika Novelis terkenal di dunia dari Inggris bernama Salman Rushdie menulis novel The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) yang menghina Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka semua umat Muslim wajib marah atas tindakannya.

    Sayidah Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahuanhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak marah berkaitan dunia tetapi ia marah jika agama Islam diganggu terlebih dahulu oleh kaum kafir dan munafik. Atau contoh lain, ketika terjadi kemaksiatan dan kemungkaran, maka sebagai Muslim hukumnya wajib marah. Namun marahnya bukan pada pelakunya tetapi perilakunya. Bagaimana kita harus meluapkan kemarahan kita jika terjadi hal tersebut?.

    Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: Jika terjadi suatu kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu cegahlah dengan lisanmu dan jika tidak mampu juga maka kutuklah perbuatannya dengan hatimu karena itu selemah-lemahnya iman. Mencegah kemungkaran dengan tangan merupakan tugas pemerintah atau pemimpin yang memiliki kekuasan, mencegah kemungkaran dengan lisan adalah tugas para ulama dan ahli ilmu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah tingkatan masyarakat biasa yang tidak memiliki otoritas kekuatan.

    Baca Juga  Bagaimana Agama Bisa Menjawab Tantangan di Era Modern?

    Adapun kemarahan yang haram yaitu kemarahan yang berlebihan sehingga timbul caci makian, kekerasan, fitnah. Selanjutnya, kemarahan yang diharamkan yaitu kemarahan yang sebab dan akibatnya karena ia tersinggung atas kebenaran atau fakta ataupun teguran karena kesalahannya, ia merasa hebat sehingga merasa tidak membutuhkan nasihat orang lain padahal nasihat itu baik dan benar.

    Sebagai contoh, ketika mengemudikan kendaraan roda dua/empat, ia melanggar aturan lalu lintas jalan dengan melawan arah, berhenti sembarangan, berbelok tidak memberikan tanda-tanda, tidak memiliki surat izin mengemudi tetapi ketika ia diingatkan oleh orang lain untuk mematuhi hukum, ia marah dan tersinggung. Inilah kemarahan yang diharamkan.

    Imam Syafii berkata: “Jika engkau mengungkapkan kebenaran maka akan ada dua reaksi berbeda yaitu orang yang berakal akan menerima dan orang bodoh akan marah, karena sangat sulit meyakinkan lalat bahwa bunga lebih indah daripada sampah”.

    Cara Menahan Marah dalam Islam

    Malik bin Aus bin Al-Hatsar berkata : Sayyidina Umar bin Khattab marah kepada seorang laki-laki dan ia menyuruh memukulnya !.Maka saya berkata:“Hai Amirul mukminin ! Jadilah kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan ma’ruf  serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (Q.S Al-A’raf 199)”. Maka Sayyidina Umar bin Khattab berkata :“Jadilah kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang bodoh (Q.S Al-A’raf 199)”. Sayyidina Umar menahan kemarahannya dan melepaskan laki-laki itu.

    Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata bahwa: Allah Ta’ala berfirman pada kitab-kitab terdahulu “Hai anak Adam ! ingatlah kepada-Ku ketika kamu marah niscaya aku ingat kepadamu ketika Aku marah, maka Aku tidak akan membinasakanmu di antara orang-orang yang Aku binasakan”. Adapun cara menahan marah dalam Islam:

    Pertama, Membaca Doa Perlindungan Kepada Allah dan Mengambil Air Wudhu. Ketika luapan kemarahan tidak terbendung maka berdoalah memohon kepada Allah agar dijauhkan dari gangguan syetan terkutuk. Doa Ta’awudz: Audzubilahiminas saythanirajim (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan terkutuk). Selain itu, Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata: “Kalau kemarahan tidak hilang maka hendaklah ia wudhu atau mandi!”. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya kemarahan adalah bara api yang menyala dalam hati” (HR. Imam Tirmidzi).

    Kedua, Cintailah Musuhmu!. Mencintai musuh maksudnya adalah bahwa kita harus menerima keniscayaan mengampuni  orang-orang yang menimbulkan kejahatan dan luka pada diri kita. Mencintai musuh juga dapat diartikan tidak membalasnya atas kejahatannya dengan dendam ataupun tindakan yang tercela tetapi tetap berbuat kebaikan dan menyebarkan kasih sayang ataupun belas kasih.

    Filsuf China bernama Laozi dalam bukunya “Daodejing” menyatakan: “penakluk musuh terbaik adalah dia yang tidak pernah mendahului menyerang, orang yang mendapatkan hasil maksimal dari orang lain adalah yang memperlakukan mereka dengan kerendahan hati”.

      Ketiga, Bertindak Harus Disadari dan Dijiwai. Bertindak haruslah disadari dan kesadaran harus dijiwai! jika kita akan ingin meluapkan kemarahan, maka harus bertindak dengan penuh kesadaran dalam jiwanya akibat ataupun dampak positif dan negatifnya pada dirinya dan orang lain. Jangan sampai berniat meluapkan kemarahan berujung menjerat leher sendiri (merugikan diri sendiri).

      Kesimpulan

      Kemarahan dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah Al-Ghadub dan Al-Ghaiz. Al-Qur’an surah Al-Imran ayat 133-134 memerintahkan kita untuk mencapai tingkatan taqwa dengan cara mengendalikan kemarahan dan menjadi pribadi yang pemaaf serta berbuat kebaikan. Dalam Islam ada tiga tingkatan kemarahan, yaitu tingkatan kemarahan yang lemah, kemarahan sedang, dan kemarahan berlebihan. Kita diperintahkan oleh Allah menahan kemarahan yang berlebihan agar kita mencapai nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang).

      Editor: Soleh

      Rabiul Rahman Purba
      3 posts

      About author
      Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia (STH-YNI), Peamatangsiantar, Sumatera Utara
      Articles
      Related posts
      Perspektif

      Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

      3 Mins read
      Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
      Perspektif

      Menjadi Guru Hebat!

      3 Mins read
      Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
      Perspektif

      Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

      3 Mins read
      Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

      Tinggalkan Balasan

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

      This will close in 0 seconds