Fikih

Menerapkan Kaidah Fiqhiyah الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ di Bidang Ekonomi

3 Mins read

Konsep Kaidah Fiqhiyah

Alqawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa’idah yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum. Kata al-qawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam surat al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan.

Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-‘amiq) yang dibubuhi ya’ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh (Ibrahim, 2019).

Al-Qawā’id al-Fiqhiyah disusun untuk mempermudah memahami masalah-masalah partikular (juz’iyyat) dan kasus-kasus yang serupa (al-asybah wa al-nazhā-ir) di dalam menentukan hukum suatu perkara. Kaidah tersebut diproduksi dari perbuatan-perbuatan mukallaf yang telah ada hukumnya.

Apabila dianggap sudah sesuai dengan Al-Quran dan Hadis (menjadi kaidah yang mapan & akurat), maka para ulama menggunakan kaidah-kaidah tersebut dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang berkembang di masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya (Ali, 2021).

Banyaknya lembaga keuangan dengan pengelolaan berbasis syariah akan menimbulkan persoalan dan tanda-tanya terhadap unsur kesyariahannya. Pada umumnya, berbagai kitab fikih yang membicarakan unsur kesyariahan mengarah pada pendapat syariah terhadap kasuistik yang terjadi pada abad pertengahan.

Sedangkan persoalan ekonomi terlebih khusus lembaga keuangan yang semakin kian muncul dan terus kembang tetapi belum ditanggapi dalam kitab-kitab fikih. Maka dari itu untuk menjawab persoalan lembaga keuangan, diperlukan ijtihad pada zaman sekarang ini yang segala sesuatunya telah berubah secara intens dan global (Hatoli, 2020).

Baca Juga  Antara Mahar dan Uang Panaik Budaya Bugis-Makassar

Kaidah Fiqhiyah الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ

الغرم berarti untung atau keuntungan, sedangkan الغنم berarti rugi atau kerugian. Secara istilah kaidah al-ghurmu bi al-ghunmi dimaknai sebagai berikut (Permana, 2021) :

الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ يَعْنِي إِنَّ مَنْ يَنَالُ نَفْعَ شَيْئٍ يَحْتَمِلُ ضَرَرَهُ

Resiko sejalan dengan keuntungan (yakni orang yang memperoleh manfaat atas sesuatu, pada saat yang sama harus mau berkorban bila terjadi resiko dari usaha yang telah memberikan keutungan kepada dirinya).

Maksud Kaidah Fiqhiyah ini adalah seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus siap juga menanggung risiko yang akan dihadapi (Khalidah, 2018). Kaidah al-ghurm bi al-ghunm dalam banyak literatur selalu bersandingan dengan kaidah al-kharaj bi adh-dhamman.

Kaidah al-ghurm bi al-ghunm maknanya adalah profit muncul bersama risiko atau risiko itu menyertai manfaat. Maksud dari kaidah al-ghurm bi al-ghunm ialah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko.

Sedangkan menurut Umar Abdullah al-Kamil seperti yang dikutif Azhari (2015), makna yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau ghurmu serta dhomān yang akan terjadi. Misalnya biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhoan dari penjual untuk ditanggung bersama (Azhari, 2015).

Kaidah Fiqhiyah al-ghurm bil ghunm didasarkan pada Hadis Rasulullah Muhammad SAW riwayat Bukhari dari Abu Hurairah ra:

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ص: الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ أِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَيُشْرَبُ لَبَنُ النَّاقَةِ أِذَا كَانَتْ مَرْهُوْنَةُ وَعَلَى الَّذِى يَشْرَبُ وَيَرْكَبُ النَّفَقَةُ

Dari Abu Hurairah r.a.berkata. Bersabda Rasulullah SAW. binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.

Implementasi Kaidah Fiqhiyah الْغَرْمُ بِالْغَنْمِ

Praktek muamalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mengimplementasikan kaidah ini salah satu contohnya adalah pinjam meminjam (‘ariyah) dan gadai (rahn). Pinjam meminjam menurut terminologi Abd al-Rahman al-Jaziri  seperti yang dikutif Azhari (2015) adalah: تَملِك المَنافِعِ مَجَانا (memiliki manfaat secara cuma-cuma).

Baca Juga  28 Mei 2021, Momentum Pembetulan Arah Kiblat

Terhadap barang pinjaman, apabila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya (Azhari, 2015).

Begitu pula terhadap barang gadaian. Yang dimaksud dengan gadai yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan menurut terminologi sebagaimana pengertian yang diberikan oleh Taqiy al-Din seperti yang dikutif oleh Azhari (2015) yaitu : جَعَلُ المَالِ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ (menjadikan harta sebagai jaminan utang).

Seseorang yang menerima barang gadaian harus memberikan bensin bila pemegang barang gadai berupa kenderaan, sebab kendaraan tidak mungkin bisa dihidupkan mesinnya tanpa diberi bensin, dan kenderaan yang mesinnya tidak dihidupkan tidak mungkin dapat dijalankan (Azhari, 2015).

Pada praktik lembaga keuangan syariah terdapat akad pembiayaan mudharabah (trust financing/trust investment) yang mempunyai dua simpul yang saling berkaitan antara memperoleh keuntungan dengan sistem partnership (antara pemilik modal dan pelaku usaha) dan menanggung resiko kerugian bila usaha gagal.

***

Kegagalan suatu usaha dalam sistem mudharabah dibedakan pada dua kategori; pertama, bila kegagalan usaha atau kerugian disebabkan oleh murni persaingan usaha, maka kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Kedua, bila kerugian suatu usaha dikarenakan faktor kesengajaan oleh pelaku usaha, maka nilai ganti rugi atas kerugian usaha di tanggung oleh pelaku usaha.

Disamping itu, praktek pembiayaan musyarakah pada perbankan syariah juga merupakan contoh riil dalam implementasi kaidah al-ghurm bi al-ghunm. Risiko pembiayaan musyarakah bukan untuk dihindari melainkan harus dikendalikan secara efektif, karena risiko yang dihadapi oleh bank syariah dapat menyebabkan kegagalan yang fatal apabila tidak dikelola dengan baik.

Akan tetapi jika sebaliknya maka bank syariah akan mendapatkan al-ghurm sebagai imbal hasilnya. Pada dasarnya, semua pembiayaan yang ada dalam perbankan memiliki tingkat risiko yang bervariasi sesuai dengan jumlah nominal, waktu, tempat dan kondisi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka penting bagi bank syariah untuk melakukan pengendalian risiko (al-ghunm) sehingga trust kian bertambah dan seyogyanya akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan bank syariah (Adinugraha, 2017).

Baca Juga  Mencicipi Makanan, Batalkan Puasa?

Editor: Yahya FR

Eris Munandar
14 posts

About author
Dosen / Ketua LPPM STEI Ar-Risalah Ciamis
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *