Falsafah

Cara Religious Studies Memandang Agama: antara Eliade dan Durkheim

4 Mins read

Pendahuluan

Studi agama-agama bertujuan untuk membantu para sarjana memahami bukan saja alasan-alasan historis dan evolusionis dari kemunculan perasaan keagamaan. Ia juga membantu kita memahami bagaimana agama melihat dunia ini (Connolly, 2011).

Beberapa pendekatan dalam studi agama menganjurkan kita menjadi outsider; menilai agama sebagai seorang pengamat. Sementara itu, pendekatan yang lain menganjurkan kita menjadi insider; menilai kehidupan dari sudut pandang seorang yang beragama (Knott, 2008).

Rudolf Otto dan Mircea Eliade menganjurkan pendekatan yang kedua tersebut – dengan harapan bahwa dengan begitu agama bisa lebih dipahami (Hinnels, 2005).

Sakralitas Sebagai Inti Agama

Tidak seperti yang intuisi kita mudah terka, sejarah peradaban manusia di muka bumi tidaklah tersusun atas sebuah cerita yang sederhana. Setiap orang yang memulai sebuah perjalanan observasi dan penjelajahan ilmiah harus siap-siap bertemu banyak sekali lapisan yang harus ia gali; dan melewati banyak sekali stasiun yang harus ia singgahi.

Demikian pula bagi sarjana agama-agama. Salah satu hal penting yang mereka perlukan adalah mengenali watak agama yang sesungguhnya. Tidak berhenti pada tahap melihat agama sebagai artefak masa lalu, seorang sarjana agama harus masuk lebih dalam, dan memulai observasi internal dari agama yang dipelajarinya (Eliade, 1959).

Mircea Eliade – dan pendahulunya, Rudolf Otto – berusaha menjelaskan satu demi satu watak asli agama-agama. Bagi para pembaca yang kritis, pendekatan fenomenologis Eliade terhadap agama bisa dianggap menggelikan, karena menganjurkan kepada kita menerima apa adanya isi dan ajaran agama (Hinnels, 2005).

Namun, coba bayangkan, tanpa sikap menerima dan berempati seperti yang Otto dan Eliade anjurkan, betapa banyak warisan peradaban dunia kuno yang akan kita buang atas nama akal dan kemajuan (Donner, 2010).

Dalam teorinya tentang watak agama (the nature of religion), Eliade meyakini bahwa pada dasarnya kognisi manusia tidak cukup mampu menjelaskan apa yang menjadi inti dari semua agama; yang Eliade sebut: Yang Sakral (The Sacred) (Eliade, 1959).

***

Alih-alih dibuang karena tak mampu kita pahami; Eliade melihat Yang Sakral sebagai fenomena unik, yang tak bisa dipahami secara diskursif, tapi bisa dirasakan dan dibenarkan oleh mereka yang mengalaminya.

Baca Juga  Mabadi’ ‘Asyarah Ilmu Filsafat Intelijen

Dengan begitu, agama bukan sekadar artefak kuno yang seringkali menarik dipamerkan dalam pentas ritual dan kebudayaan-kebudayaan lokal – sebagaimana lazimnya dipandang oleh Antropolog. Eliade ingin para sarjana melihat dunia dari sudut pandang agama; karena agama adalah sebuah weltanschauung (cara pandang atas dunia) (Connolly, 2011).

Agama melihat dunia dan alam sebagai terhubung dan menyatu dengan kekuatan sejati dan abadi bernama Yang Sakral. Rasa cinta kepada Yang Sakral terwujud pula melalui penghormatan atas objek-objek natural, yang dipercaya mengandung makna batin kesakralan (Dennett, 2020).

Tempat-tempat mengandung kesakralan; waktu dan momen masa lalu juga demikian. Agama seringkali mengulang-ulang kembali momen masa lalu untuk merasakan kembali kesakralan tersebut. Ibadah dan kitab suci menjadi medium utama manusia untuk merasakan terus menerus kesakralan (Armstrong, 1994).

Masalah dalam Pandangan Eliade

Apresiasi modern kita yang utama yang bisa diberikan kepada Eliade adalah atas sikap ensiklopedis penjelasannya tentang seluk beluk isi dan watak agama-agama. Kalau pun ada yang perlu kita waspadai adalah tidak adanya kritik historis, kritik sosiologis, dan kritik politis atas ajaran-ajaran yang sudah established tersebut, yang diterima begitu saja oleh Eliade.

Rasa cinta atas Yang Sakral (baik itu Tuhan, Nabi, Guru, Kitab Suci, Dharma) adalah perasaan subjektif manusia, sehingga sangat bergantung pada kondisi sosiologis yang manusia itu alami (hampir pasti, tak ada perasaan dan pemikiran yang lahir di ruang hampa). Contohnya: Pilihan Muhammad Saw untuk menjadi pertapa (sebelum dipercaya menerima wahyu) berkaitan erat dengan kritik Muhammad atas hedonisme Makkah abad ke-7 Masehi (Donner, 2010).

Walhasil, beberapa aspek dalam ajaran agama tentang Yang Sakral punya kaitan erat dengan lingkungan sosial dan politik yang mengitari si “pembuat” agama. Eliade membuat kita fokus pada nikmat dan indahnya ajaran agama tentang Yang Sakral; namun membuat kita terlelap dari beberapa faktor eksternal yang mendorong terciptanya perasaan dan konsep tentang hal-hal yang sakral.

Baca Juga  Perdebatan Antara Dr Soetomo dengan KH Mas Mansur Tentang Eksistensi Tuhan

Perjalanan Durkheim Mendefinisikan Agama

Bagi sarjana studi agama-agama salah satu masalah paling mendasar namun tidak mudah untuk disepakati adalah perihal definisi agama (Connolly, 2011). Definisi agama biasanya bersandar pada identifikasi unsur-unsur utama yang membentuk sikap keagamaan secara nyata (Shatz, 2002).

Definisi dalam metode berpikir ilmiah itu sendiri digunakan untuk memastikan tercakupnya semua yang mirip dengan benda yang didefinisikan (al-jami’), dan tersisihnya semua yang tidak sesuai dengannya (al-mani’).

Mendefinisikan agama semata-mata berdasarkan unsur rasa hormat pada yang sakral membuat banyak sekali hal yang bukan agama menjadi seperti agama; seperti ideologi misalnya, karena ideologi mengandung juga hal-hal yang dianggap sakral (misalnya, nasionalisme menganggap bangsa dan tanah air adalah sakral) (Harari, 2020).

Salah satu ilmuwan yang menampilkan kepada kita perihal rumitnya persoalan definisi agama adalah sarjana sosiologi asal Prancis, Emile Durkheim. Dalam identifikasinya atas unsur-unsur dasar pembentuk agama, Durkheim melihat adanya kepercayaan kuat terhadap realitas supernatural; tatanan realitas yang lebih luhur dan utama daripada realitas “bawah” milik kita di dunia materi ini (Hinnels, 2005).

Dilihat dari luar (outsider), kepercayaan atas supernaturalitas ini tampak seperti imajinasi kreatif pemeluk agama dalam membayangkan hal tersebut. Namun, dilihat dari dalam (insider), supernaturalitas mengandung kebenaran ontologis; karena dengannya realitas “bawah” dan material kita menjadi bisa dijelaskan asal usul dan tujuan eksistensialnya (Knott, 2008).

Kuatnya unsur supernaturalitas dalam kepercayaan agama tidak membuat Durkheim nyaman dan yakin bahwa hal itu bisa menjadi fundamen bagi definisi agama-agama; sebab terlalu beragam dan bertentangannya apa yang satu agama yakini sebagai supernatural, dan apa yang diyakini agama lainnya (Hinnels, 2005).

Dari Ketuhanan, Kembali ke Sakralitas

Unsur lain yang Durkheim tandai adalah ketuhanan (divinity). Pengertian ketuhanan tidak terbatas pada konsep Tuhan dan dewa yang personal, namun juga pada konsep-konsep kekuatan spiritual lainnya, baik personal maupun impersonal (Durkheim, 2008).

Jelas, agama-agama besar dunia adalah penganut kepercayaan pada ketuhanan; kecuali agama besar Buddhisme. Durkheim (2008) menganggap bahwa pada mulanya Buddhisme yang dibawa oleh Buddha Gautama tak memiliki unsur kepercayaan kepada ketuhanan; karena ia murni ajaran dharma, ajaran “diet” rohani, untuk memperoleh kenyamanan batin.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Pemerintah Jangan Melanggar Kebebasan Berkeyakinan

Pada sisi yang agak ekstrim, Buddhisme bahkan bisa disebut sebuah agama tanpa tuhan. Hal gamblang ini menjadi batu sandungan bagi Durkheim untuk menerima ketuhanan sebagai unsur fundamen pembentuk definisi agama yang positivistik (Durkheim, 2008).

Pada akhirnya, pengembaraan Durkheim akan hakikat agama sampai pada sesuatu yang sama dengan Mircea Eliade dan para fenomenolog agama. Sosiolog Durkheim menemukan kepuasan pada unsur Yang Sakral; karena sekalipun tidak selalu percaya kepada tuhan, supernaturalitas, spiritualitas, atau kitab suci, selalu saja agama-agama meyakini sesuatu yang sakral (Durkheim, 2008).

Pada kasus Buddhisme misalnya, sakralitas itu diletakkan pada momen sekarang dari kehidupan (the very present moment of life). Buddhisme percaya bahwa kehidupan (biasanya mereka derivasikan menjadi nafas yang kita hirup dan hembus) adalah sesuatu yang harus dimuliakan, disyukuri, dan diterima. Hanya dengan menerima kehidupan apa adanya, dan tidak menginginkan hal apa pun, kita bisa merasakan kebijaksanaan.

Masalah dalam Pandangan Durkheim

Dasar pemikiran dari kepuasan Durkheim pada Yang Sakral sebagai intisari agama adalah bahwa hanya inilah satu-satunya titik temu bagi semua agama. Durkheim beranggapan bahwa semua agama punya kepercayaan dan ritus yang merupakan turunan dari pandangan pada sesuatu yang sakral.

Meski begitu, dilihat dari dalam (insider point of view), sakralitas bukanlah dasar, melainkan konsekuensi dari kepercayaan pada sesuatu yang dianggap sebagai asal usul eksistensial manusia (supernaturalitas), dan kepercayaan pada ketuhanan.

Kita percaya pada Tuhan dan kitab suci bukan karena alasan sakralitas mereka; justru karena kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Tuhan, dan kitab suci adalah kebenaran. Hanya dengan begitulah kita memberikan nilai kesakralan kepadanya. Pada dasarnya Durkheim belum menyelesaikan problem definisi agama ini. Dan mungkin, siapa pun tidak akan bisa.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds