Perspektif

Catatan seorang yang Bukan Demonstran

4 Mins read

Melihat teman-teman mahasiswa yang antusias menyoal kebijakan pemerintah dengan turun ke jalan, membuat saya jadi teringat apa yang Mālik bin Nabī‒pemikir Islam dari Aljazai‒tulis di bukunya Syūrut an-Nahdhah (syarat- syarat kebangkitan).

Sebagaimana teman-teman mahasiswa banyak mengutip tokoh junjungannya di poster yang mereka tinggikan, begitupun mahasiswa-mahasiswa Aljazair yang beberapa bulan lalu berhasil menggulung riwayat panjang rezim otoritariannya.

Mereka yang sambil mendekap buku Syūrut an-Nahdhah‒ percaya diri meninggikan posternya yang bertuliskan perkataan Mālik bin Nabī di bukunya tersebut. Bunyinya: “apabila manusia bergerak, maka bergeraklah masyarakat dan sejarah. Dan apabila manusia berdiam diri, maka berdiam diri pula masyarakat dan sejarah.”

Mahasiswa- mahasiswa di Aljazair begitu meresapi rangkai kata pemikir junjungannya itu. Binabī banyak menekankan hal itu di banyak bukunya. Manusia sebagai perangkat sosial yang paling utama (al-jihāz al- ijtimāi’ al- awwal) adalah penentu.

Manusia dan Genealogi Gerakan

Manusia adalah aktornya. Sejarah bergulir saat manusia berjalan. Saat manusia bergerak. Yang penting bergerak saja. Mahasiswa di Aljazair tahu itu; Bouteflika tidak akan tumbang hanya dengan memaku diri seharian di bangku kampus yang berjenjang ‒bertiup AC.

Menurut Binabī, manusia sebagai makhluk hidup masuk ke dalam kategori masyarakat historis (mujtama’ tārikhī) karena manusia bergerak (mutaharrik). Karena manusia tunduk pada hukum- hukum yang dapat merubah sejarah.

Berbeda dengan semut, rayap, lebah, yang masuk dalam kategori masyarakat naturalis (mujtama’ thobī’i). Manusia memungkinkan dirinya untuk bergerak mengubah sejarah entah ke arah kegemilangan maupun keruntuhan.

Ada baiknya apabila teman- teman mahasiswa di Indonesia, bergerak di jalanan dengan kesadaran yang sama. Bahwa setiap langkah yang ditempuh, setiap teriakan yang terlantang, setiapnya adalah peristiwa sejarah.

Baca Juga  New Normal Pendidikan

Setiapnya adalah bagian dari episode panjang masyarakat yang entah sedang berjalan maju, bergerak mundur, atau jangan-jangan sedang jalan di tempat. Seperti masyarakat lebah dan semut. Sudah selayaknya mahasiswa menaruh perhatian pada hal- hal yang demikian.

Perhatian untuk senantiasa mengasah pikiran dalam setiap gerak-geriknya. “orang- orang datang dan pergi, yang menetap hanyalah pikiran, karenanya mari kita jadikan revolusi ini sebagai revolusi pikiran,”. Begitu kata mahasiswa- mahasiswa di Aljazair, “dan kami menghendakinya (revolusi) itu dibangun dengan cara (pemikiran) Mālik bin Nabī.”.

Saya pribadi senang sekali, apabila teman- teman mahasiswa mengucapkan hal-hal yang serupa dalam menyuarakan perjuangannya.

Mahasiswa dan Kesadaran untuk Berjuang

Perjuangan mahasiswa, adalah pejuangan kesadaran. Perjuangan pikiran. Jikalau semua lembaga negara suatu saat hilang kesadaran, sudah barang pasti kampus merupakan benteng terakhir kesadaran. Kampus adalah muara kesadaran.

Mahasiswa adalah rujukan berpikir masyarakatnya. Tak heran, dahulu gandrung kita temukan di sela-sela sinetron emak-emak kita iklan yang berjargon kalimat seperti ini: “sudah teruji di ITB dan IPB.”

Kalimat itu tentu bukan sekadar pemanis yang jadi bagian dari strategi pemasaran. Namun, nyatanya memang begitulah kacamata masyarakat melihat dunia seorang mahasiswa. Penuh geliat kesadaran dan pemikiran. Sebesar Imamah (sejenis kopiah) yang kadang kebesaran dipakai mahasiswa al-Azhar, sebesar itulah harapan masyarakat tanah air merujuk pada pemikiran mahasiswanya.

Hasan al- Banna pernah bilang: “dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatanya. Dalam setiap fikrah (pemikiran), pemuda adalah pengibar panji-panjinya.” Entah pikiran se-‘kiri’ atau se- ‘kanan’ apa yang diusung oleh mahasiswa Indonesia yang belakangan hari ini turun ke jalan. Namun ketahuilah di tangan merekalah ‒para pemuda‒ suatu pemikiran yang merubah arah sejarah dapat mendulang keberhasilannya.

Baca Juga  Literasi Digital: Refleksi Dua Bulan Belajar di Rumah

“Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya,  kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya,” bubuh al-Banna di Majmūat ar- Rasāil-nya. Kemudian lanjutnya menyimpulkan: “sepertinya keempat rukun ini, yakni: iman, ikhlas, semangat, dan amal merupakan karakter yang melekat pada diri pemuda.”

Pemuda Penggertak Dunia

Karenanya, tak heran memang, revolusi Mesir dinamakan tsauroh syabāb 25 Yanāyir (revolusi pemuda 25 januari). Bahkan bertahun- tahun semenjak 2011, hingga kini coretan-coretan mereka masih membusung garang di tembok- tembok seantero Mesir.

Dari mulai demonstrasi Hong Kong yang banyak diisi oleh milenial, baru- baru ini publik dunia kembali dikejutkan oleh gertakkan Greta Thunberg‒aktivis muda asal Swedia‒ di hadapan pemimpin-pemimpin dunia di forum PBB.

“Kalian telah mencuri impian dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong kalian,” begitu kata Thunberg sambil berkaca-kaca mengutuk keengganan masyarakat dunia mengatasi krisis iklim. Thunberg begitu sangat menginspirasi. Time melaporkan, terhitung hingga 24 Mei lalu, 1,6 juta siswa di 1.600 kota di 125 negara mengikuti jejak Thunberg. Turun ke jalan, keluar kelas dan mendesak pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas menyoal perubahan iklim.

Thunberg memang bukan yang pertama, apalagi terakhir. Jihād Turbānī‒sejarawan muda asal Palestina‒ di bukunya 100 Great People of Islam Changed the Course of History, bilang bahwa Muhammad al-Fātih menaklukkan Konstantinopel di umurnya yang belum beranjak dari 23 tahun.

Seakan pemuda- pemuda besar yang dicatat sejarah memang ditakdirkan untuk meruntuhkan ‘tembok’. Adalah benar memang, setiap mahasiswa zaman, punya ‘tembok’ masalahnya masing- masing.

Al- Fātih adalah satu dari sekian mahasiswa zamannya yang sukses meruntuhkan ‘temboknya’ dibimbing oleh arahan dosennya Syaikh Aaq Syamsuddin. Hari ini akankah teman-teman mahasiswa di tanah air berhasil menaklukkan ‘tembok’-nya yang di depan mata?.

Baca Juga  Pancasila Bukan Hanya Toleransi, Tetapi Juga Kebahagiaan!

Mahasiswa: Sebelum Semuanya Terlambat

Sekian tahun hidup di Mesir, paling tidak saya jadi menyadari betul beberapa hal. Salah satunya adalah tentang harga mahal sebuah kebebasan bagi mereka yang menginginkan perubahan.

Mungkin kita‒generasi yang Anis Matta sebut sebagai native democracy belum terlalu bisa memahami harga mahal itu. Sebelum pom bensin dijaga oleh mereka yang berbaju loreng. Sebelum mereka yang malas baca mengatur bacaan buku kita. Sebelum alun-alun jadi tempat yang angker dipakai kumpul-kumpul. Sebelum tembok-tembok lembaga pemerintah menjulang tinggi dengan kawat tajam berkeliling. Sebelum Indonesia jadi seperti Mesir lagi.

Sebelum dan sesudah segalanya. Ada baiknya apabila mahasiswa bergerak sebagai manusia, yang meyakini setiap gerak anggota badannya sebagai gerak sejarah, gerak masyarakat historis (mujtama’ tārikhī) yang sedang menyongsong perubahan. Entah menuju kegemilangan atau kemunduran peradabannya. Yang penting gerak. Saat di kaki lima lima, mahasiswa harus bergerak memilih satu di antara persimpangan jalannya. Kalau mereka berdiam diri, perjalanan tidak akan bermula. Saat itulah sejarah urung bergulir.

Allāhu a’lam.

Faris Ibrahim
13 posts

About author
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir I Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds