Cara mempertahankan ekosistem gambut paling ampuh adalah dengan membiarkannya tumbuh secara alami bersama tanaman-tanaman endemik. Para pakar biasa menyebutnya dengan istilah konservasi. Namun sayangnya, dengan pertambahan jumlah manusia, ditambah kenaikan permintaan kebutuhan ekonomi yang mendampinginya, upaya konservasi menjadi penuh tantangan dalam praktiknya. Konservasi pada dasarnya adalah upaya menyimpan stok berlebih, yang secara logika sederhana merupakan pertahanan kesinambungan persediaan, sembari menelusuri nilai tambah utilitasnya.
Krisis kesehatan yang sedang menjalar ke seluruh negara berdampak pada krisis lanjutan. Selain krisis keuangan yang beberapa pakar memprediksi akan terjadi resesi dalam waktu dekat, juga muncul kekhawatiran terhadap krisis pangan global. Berbagai diskusi daring mengenai topik ini pun diselenggarakan oleh berbagai organisasi, baik oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Sajogyo, Badan Restorasi Gambut, LBH Jakarta dan Bandung, Akademi Rakyat Mandiri Pangan, Lokataru dan FIAN Indonesia, FAO, IRRI, dan berbagai lembaga lainnya. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyusun prognosis selama pandemi berlangsung, yang mana stok pangan nasional kita masih cukup, namun belum tentu cukup untuk setiap provinsi. Masalahnya bukan hanya di sektor produksi, namun faktor distribusi yang terganggu akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Berikut prognosis ketersediaan dan kebutuhan pangan pokok nasional periode April s/d Juni 2020, diikuti dengan kebijakan stimulus pertanian dan bantuan pemerintah yang dicanangkan seiring menghadapi Covid-19.
Segenap studi telah memperhitungkan kemungkinan krisis pangan yang akan turut menjangkiti dunia akibat korona. Produksi pangan menurun, distribusinya menjadi penuh tantangan, sehingga rantai pasokan yang awalnya lancar berputar ke seluruh penjuru bumi menjadi tersendat. Ketika negara-negara memilih lockdown, maka Indonesia akan kesulitan mengimpor bawang dari Tiongkok, daging dari Australia, hingga tempe yang bahan baku kedelainya dari Amerika Serikat.
***
Khawatir akan kemungkinan ini, inisiatif paradoks muncul dari pemerintah Indonesia atas nama menjaga ketahanan pangan nasional. 900.000 ha lahan gambut akan ditransformasi menjadi sawah. Rencana untuk menjamah kawasan eks PPLG di Kalimantan Tengah telah dibahas oleh Kementan, Kementerian BUMN, Kemenko Perekonomian, juga Kementerian PUPR, dengan landasan permintaan optimalisasi lahan tersebut menjadi food estate dari Gubernur Kalimantan Tengah, dan perlunya pertimbangan dari KLHK.
Namun berita mengenai ini telah merebak dan menuai kontroversi keras khususnya bagi para penggiat lingkungan. Mereka yang kecewa tanah mineral produktif berkali-kali dirampas untuk kebutuhan tambang dan pembangkit listrik, sedangkan tanah gambut yang sifatnya asam kini dialokasikan untuk mencetak bahan baku sumber karbo nasional.
Laksmi A Savitri merekam sejarah melalui riset-risetnya yang dipaparkan pada diskusi ‘Pro Kontra Cetak Sawah Lahan Gambut’ 8 Mei 2020. Akumulasi kajian tersebut menyoroti kegagalan program negara yang bertema ‘Kebun Pangan’ seperti Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar di era Orde Baru, Merauke Integrated Food and Energy State (MIFEE), Bulungan Food Estate (BFE), dan Ketapang Food Estate (KFE). Alih-alih menuntaskan permasalahan pangan, kehadiran kebun pangan skala besar yang lebih sering dipegang oleh korporasi ini malah lebih membentuk kemunculan para pialang, broker, atau calo sebagai mediator terjadinya perampasan tanah untuk proyek-proyek ini. Jejak sejarah inilah yang menjadi landasan kekhawatiran banyak pihak akan gagalnya rencana cetak sawah baru di lahan gambut.
Restorasi gambut sendiri masih mengalami berbagai tantangan yang pelik. Sebut saja kebakaran yang terjadi di setiap tahunnya, alih fungsi lahan menjadi kebun monokultur berbasis komoditas, pembalakan liar, konflik tenurial, hingga perusakan lingkungan akibat kehadiran industri. Merekonstruksi gambut untuk dijadikan sawah yang belum tentu sesuai dengan karakteristik alam serta budaya masyarakat setempat tentu akan menimbulkan biaya produksi yang tinggi, butuh tenaga yang besar, dan risiko kerusakan ekologis jangka panjang.
***
Apalagi jika di kawasan eks PLG tersebut masih terdapat kubah gambut. Perlu kehati-hatian yang sangat tinggi dalam mengelola lahan gambut yang kaya unsur organiknya ini. Ditambah lagi dengan sifat gambut yang irreversible, yaitu sulit kembali ke kondisi mula jika sudah rusak. Kita tidak perlu menghambur-hamburkan uang negara untuk proyek yang sifatnya lebih merupakan pemadam kebakaran sementara tanpa orientasi keberlanjutan jangka panjang.
Kunci untuk menjawab tantangan krisis pangan global sebenarnya ada di kemampuan berpikir jernih dan keterbukaan untuk kerja sama seluruh pihak. Pertama, kondisi alam yang membaik menjadi dukungan utama untuk menjaga produktivitas tanah, air, dan udara. Cukup optimalisasi lahan pertanian yang sudah ada. Toh para petani tidak bekerja dempet-dempetan.
Mereka masih dapat ke kebun dengan leluasa selama dapat menjaga prosedur kehati-hatian. Para petani sudah semestinya disubsidi dan diberi insentif untuk kerja keras dan dedikasinya mempertahankan ketersediaan stok pangan. Tidak perlu ekstentifikasi lahan pertanian, muliakan saja mikroba yang berjaya di tanah air dengan strategi intensifikasi.
Kedua, negara-negara penyuplai bahan pangan juga tidak perlu menutup jalur distribusi logistik, karena yang perlu berhenti bersirkulasi secara masif adalah manusianya, bukan barang-barangnya. Meskipun prioritas tentu akan dialihkan ke pemenuhan kebutuhan domestik terlebih dahulu. Kerja sama yang erat akan menjadi kekuatan yang bisa dirangkul di masa-masa sulit seperti sekarang ini.
Ketiga, negara melalui Kementerian Pertanian perlu mendata ulang, desa mana yang saat ini dalam kondisi surplus pangan, dan wilayah mana yang mengalami defisit pangan. Perlu disusun data spasial rawan kelaparan. Kecanggihan teknologi yang dikuasai generasi milenial melalui inisiatif start-up-nyaperlu diberdayakan untuk mendesain jalur distribusi logistik skala nasional antar wilayah yang surplus dan defisit sumber pangan tersebut. Sejauh ini, aplikasi dagang sayur digital yang tersedia masih berbasis kota tertentu, belum ada yang mampu merangkumnya di skala nasional.
***
Keempat, diversifikasi pangan. Kita perlu mengurangi ketergantungan terhadap sumber karbo utama yaitu beras. Masih banyak sumber pangan lokal yang dapat kita tanam sendiri secara subsisten di sisa tanah menganggur sekitar rumah. Seperti misalnya umbi-umbian dan kacang-kacangan yaitu ketela atau singkong, ubi jalar, ganyong, gembili, gadung, ubi gajah, sorghum, jagung, sukun, sagu, kentang, talas, dan lainnya.
Kelima, dalam kegamangan menjawab permasalahan penyediaan pangan skala rumah tangga, isu urban farming dan kebun keluarga menjadi booming seketika. Orang-orang kota mulai belajar bagaimana caranya bercocok tanam di petak sisa pekarangan rumah mereka.
Praktik hidroponik, aeroponik, vertikultur, square foot gardening, hingga pertanian organik berbasis komunitas dengan skala komplek mulai menjadi hobi baru di tengah kebijakan PSBB. Perhatian semacam ini perlu digalakkan lebih lanjut, selain mulai maraknya pergeseran dari transaksi fisik menjadi transaksi online terhadap distribusi sumber bahan pangan, sesuai cakupan geografis tertentu.
***
Keenam, daripada mencanangkan ide kontroversial cetak sawah di lahan gambut dengan mekanisme business as usual, lebih baik pemerintah kembali pada semangat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang tengah dijalankan. Gambut perlu dimuliakan dengan memaksimalkan biodiversitas tanaman endemik, yang menjadikannya tetap basah, meskipun kategorisasi peruntukan kawasan budidaya dan kawasan lindung sudah diperjelas dalam strategi restorasi, baik pada lahan gambut dalam, maupun gambut tipis.
Belum lagi kita akan memasuki musim kemarau, gambut yang diolah hingga menjadi kering akan rawan terbakar. Prinsip-prinsip kesatuan hidrologis gambut tetap menjadi acuan utama sebelum mengintroduksi jenis komoditas invasif.
Kita perlu melangkah lebih maju dan berani dalam menghadapi krisis, tidak berhenti pada ketahanan pangan saja, namun juga kemandirian dan kedaulatan pangan. Kekayaan atas benih lokal dan praktik-praktik yang lekat dengan kearifan budaya masyarakat nusantara harusnya menjadi kekuatan bangsa untuk menjawab krisis akibat pandemi.
Para petani pemulia benih lokal sudah seharusnya berada di garda terdepan untuk menjawab krisis pangan global yang dikhawatirkan dunia. Jawaban masalah pangan sejatinya terletak pada penguatan kapasitas dan ruang gerak petaninya, bukan semata di investasi modalnya.