Diskursus childfree mengemuka satu pekan terakhir di sosial media. Musababnya, pernyataan salah satu influencer yang menyebut bahwa memiliki anak bukanlah anugerah, melaikan beban. Didasarkan pada pandangan tersebut kemudian dirinya memilih untuk tidak memiliki anak (childfree). Bahkan, menurutnya tidak ada yang salah akan hal itu/nothing wrong with it. Baiklah, itu merupakan hak reproduksi individual setiap wanita. Jika wanita punya hak untuk melahirkan, maka demikian pula pilihan untuk tidak memiliki anak. Begitu setidaknya pandangan feminisme dan masyarakat Barat dalam memaknai kebebasan reproduksi.
Mereka yang Memilih Childfree
Kesukarelaan (voluntarily) untuk tidak memiliki anak (childfree) bukanlah fenomena baru. Akhir abad ke-20 dan awal memasuki abad ke-21, gejala transformasi terhadap fungsi reproduksi wanita tersebut mulai muncul. Di Inggris misalnya, menurut hasil riset social trend 2000, pada tahun 1972 usia rata-rata wanita memiliki anak berkisar sekitar 26 tahun. Angka ini kemudian mengalami kemunduran pada tahun 2003, di mana rata-rata usia wanita memiliki anak berkisar menjadi 29 tahun.
Ada banyak hal yang melatar belakangi keengganan wanita untuk tidak memiliki anak, khususnya di dunia Barat. Pada awalnya, lebih dikaitkan dengan proses transformasi sosial menuju masyarakat industrialis. Perubahan pandangan terhadap kesetaraan antara wanita dan laki-laki (gender), menjadikan wanita banyak mengisi ruang-ruang kerja pada dunia industri. Pada kondisi demikian, keengganakan untuk tidak memiliki anak mengalami peningkatan dengan alasan pekerjaan/karir dan tentu untuk mencapai kebutuhan ekonomi yang lebih baik.
Pada masyarakat modern alasan untuk tidak memiliki anak menjadi lebih variatif. Keterbukaan dalam melakukan akses terhadap alat kontrasepsi menjadi salah satu pendukung gerakan tersebut. Lebih lanjut, pada masyarakat dengan tingkat ekonomi mapan, keengganan untuk tidak memiliki anak lebih didasarkan pada hal-hal yang bersifat fashionable. Misalnya, childfree dipilih dengan alasan ingin terlihat lebih awet muda, memiliki penampilan tubuh yang lebih menarik dan menghindari kegemukan pasca kehamilan atau melahirkan.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana konsep hidup dengan pilihan childfree mempengaruhi kehidupan rumah tangga? Secara umum, memang ditemukan hubungan kausalitas yang saling mengikat. Memiliki anak bukanlah jaminan keutuhan rumah tangga dan sebaliknya ketiadaan atau kesukarelaan tidak memiliki anak juga bukan jaminan keruntuhan rumah tangga.
Giddens (1992) seorang sosiolog terkemuka justru menyebut bahwa rumah tangga/sebuah hubungan yang didasari pada keintiman (intimacy) lebih murni (pure relationship) ketimbang yang didasari oleh faktor pengikat seperti anak dan yang lainnya. Tentu pandangan demikian tidak serta-merta dapat diterima, khususnya pada masyarakat Indonesia dan lebih khusus Islam.
Pandangan Islam terhadap Anak
Terdapat beberapa padanan kata yang menggambarkan anak di dalam Al-Qur’an. Perbedaan penyebutan umumnya lebih ditekankan pada perbedaan usianya. Kata “waladun” misalnya, digunakan untuk penyebutan anak yang baru lahir. Thiflun yang jamaknya disebut “athfāl” digunakan untuk menyebut anak usia kanak-kanak. Sedangkan kata “shabīy” banyak digunakan untuk penyebutan anak pra sekolah.
Dalam Islam memang tidak ditekankan wajib memiliki anak. Begitu pula tidak dilarang secara tegas keengganan dalam memilikinya. Dār al-Ifta al-Mishriyyah, sebuah perkumpulan ulama yang memiliki otoritas dalam memberikan fatwa di Mesir membagi fatwa tentang orang yang enggan memiliki anak. Pertama, dibolehkan bagi suami istri untuk bersepakat tidak memiliki anak jika terdapat faktor yang membahayakan bagi wanita. Sebaliknya, Dār al-Ifta al-Mishriyah juga melarang sikap kengganakan tidak memiliki anak secara mutlak sebab akan mengganggu kesinambungan kelangsungan hidup manusia.
Namun demikian, dibalik kebolehan Islam untuk tidak memiliki anak, Islam juga memberikan beberapa porsi kemuliaan bagi mereka yang memiliki, mengasuh dan mendidik anaknya. Nabi menyebut adanya faktor ketersambungan amal sekalipun seseorang telah meninggal dunia, salah satunya adalah doa anak yang shalih. Sebagian pendapat ulama memang tidak membatasi kepada anak biologis, tapi yang pasti ada penempatan kemuliaan dengan disebutnya anak.
Di dalam sabda Nabi yang lain disebutkan tentang orang tua yang akan mendapatkan mahkota kemuliaan jika memiliki anak yang mampu memahami (menghafal) Al-Qur’an dengan baik dan mengamalkannya. Belum lagi terdapat juga sabda Nabi yang menyebut keutamaan banyaknya umat yang secara tidak langsung menjadi indikasi pentingnya keturunan dalam kelangsungan hidup manusia. Penyebutan anak oleh Al-Qur’an dan Hadis Nabi tersebut menandakan keutamaan dalam memiliki anak.
Bagaimana Sikap Kita?
Menyikapi meningkatnya fenomena childfree sebagai gaya hidup pasangan modern, sikap yang agaknya bijak menghadapi fenomena tersebut antara lain; sebagai warga Negara penganut sistem demokrasi, sebaiknya tetap menghargai mereka yang memilih sikap childfree, sebab kebebasan reproduksi merupakan kebebasan individual wanita.
Sekalipun childfree adalah kebebasan, namun memiliki anak adalah suatu keutamaan bagi umat muslim dalam rangka menjaga kelangsungan hidup manusia (hifdz al-nasl) sebagaimana prinsip dasar dalam maqāshid al-syarī’ah. Memiliki jumlah umat yang banyak adalah sebuah kemuliaan bagi muslim, namun akan lebih baik jika banyaknya umat diikuti dengan peningkatan kualitas hidup mereka.
Editor: Soleh