Inspiring

Makna Pluralisme Menurut Murad W Hofmann

3 Mins read

Diskursus mengenai pluralisme agama sejak era tahun 2000-an hingga kini tidak pernah habis-habisnya dibahas. Bukan tanpa alasan tema itu sepi dari pembahasan dan kajian. Mengingat Indonesia dengan segala keanekaragaman ras, suku, dan agama, tak jarang sering mengalami persinggungan yang berujung pada konflik yang disertai dengan kekerasan. Sehingga pembicaraan mengenai pluralisme menjadi suatu kepastian. Walaupun wacana mengenai pluralisme banyak mengalami pertentangan, terutama oleh kaum yang tidak setuju dengannya.

Wacana pluralisme tetap saja masih menggema dan memang perlu dihadirkan di tengah-tengah kemajemukan sebuah bangsa, seperti Indonesia. Maka tidak heran jika banyak para pemikir khususnya para intelektual keagamaan yang membahas mengenai pentingnya menghadirkan pluralisme di tengah-tengah masyarakat. Salah satu pemikir yang membicarakan pentingnya pluralisme itu adalah Murad Wilfried Hoffman, seorang mualaf asal Jerman.

Makna Umum tentang Pluralisme

Pluralisme sendiri berasal dari kata plural, maknanya adalah bentuk yang lebih dari satu. Dalam hal ini pluralisme mempunyai dua makna: pertama, dalam kehidupan masyarakat ada kelompok-kelompok yang berbeda baik dari suku, ras, maupun agama. Kedua, adanya prinsip bahwa kelompok-kelompok yang berbeda itu dapat hidup berdampingan secara harmonis. Dalam kenyataan ini juga harus dipahami bahwa pluralitas adalah sebuah realitas yang ada, sedangkan pluralisme merupakan kesadaran akan realitas itu (Rahman, 2020).

Menurut Prof Diana L Eck, Professor of Comparative Religion and Indian Studies dan Director of Pluralism Project di Harvard University, ada tiga hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan arti proyek pluralisme.

Pertama, pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih dari sekedar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan. Meski pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, ada perbedaan yang harus ditekankan. Bahwa pluralisme membutuhkan keikutsertaan.

Baca Juga  33 Ribu Jemaah Haji Pulang Tanah Air, 21 Ribu Jemaah ke Madinah

Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi. Pluralisme lebih dari sekedar toleransi dengan usaha aktif untuk memahami orang lain. Dalam pengertian bahwa pluralisme merupakan sikap untuk memahami orang lain, bukan sekedar basa-basi semata.

Ketiga, pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan bukan kesamaan. Pluralisme adalah sebuah ikatan, bukan pelepasan perbedaan dan kekhususan. Kita harus saling menghormati dan hidup bersama secara damai (Shofan, 2011).

Pemikiran Murad Wilfried Hofmann tentang Pluralisme

Murad Hofmann lahir pada 6 Juli 1931, dengan nama Wilfried Hofmann. Ia berasal dari keluarga Katolik, di Jerman. Ia menempuh pendidikan di Universitas Union College, New York, pada tahun 1957 ia meraih gelar Doktor dalam bidang Undang-Undang Jerman, dari Universitas Munich. Setelah menempuh pendidikan, ia bekerja di Kementerian Luar Negeri Jerman, dari tahun 1961 hingga 1994. Selain itu, ia juga pernah menjadi direktur penerangan NATO di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk mempelajari Islam, terutama al-Qur’an. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar mempraktekkan ibadah-ibadahnya. Pergolakan pemikiran yang telah lama ia rasakan nampaknya semakin mendekatkan dirinya pada keimanan. Hingga akhirnya pada tanggal 25 September 1980, ia secara resmi memeluk Islam.

Setelah dirinya masuk Islam dan menambah nama baru, yakni Murad. Ia kemudian menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985 ia menuliskan memoarnya, yang kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia berjudul, “Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman” pada tahun 1998 (Salwasalsabila, 2008).

Baca Juga  Abdul Kalam, Presiden Intelektual dari India

Di dalam buku pergolakan pemikiran, Murad Hofmann menulis catatan mengenai pluralisme dalam Islam yang dicatatnya pada tanggal 16 Februari 1984, berikut catatannya:

“Sudah lewat setahun sejak Ahmad Von Denver menerbitkan beberapa risalah untuk saudara-saudaraku, yang berisi 12 risalah. Dalam risalah “menuju masyarakat Muslim”, ia mengkomparasikan antara ajakan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan akidah, sebagai prioritas utama dan usulan terbatas tentang bagaimana sampai secara individual. Langkah demi Langkah, menuju taraf kesempurnaan dalam masyarakat Islam atau yang biasa disebut dengan Ukhuwah Islamiyah.

***

Tema yang difokuskan oleh Ahmad, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an berkaitan dengan fenomena munafik. Upaya-upaya ini punya akar yang dalam. Sepanjang sejarah Islam, pemuda Muslim mendirikan organisasi-organisasi rahasia yang terkadang menjalankan gerakan tutup mulut dan menggunakan sistem kelompok. Sebab kenaifan manusia dan mengakarnya rasa ego, maka tidak mudah mewujudkan kemajuan di bidang agama.

Umat Islam selalu memandang kemajemukan mereka sebagai sumber kekuatan, bukan sumber kelemahan. Hal itu bisa dipahami, karena latarbelakang lahirnya empat mazhab, tarekat-tarekat sufi seperti Qadiriyah, Baktasiyah, dan Naqsyabandiah serta kelompok-kelompok keagamaan seperti Sunni dan Syiah. Di Barat friksi umat Islam menjadi beberapa kelompok semakin bertambah atas dasar keanggotaan ganda dan bahasa.

Hasilnya adalah kombinasi acak-acakan dari organisasi-organisasi, budaya, dan akidah-akidah Islam di bawah kubah besar Islam. Jika kelompok-kelompok ini memperhatikan saran Ahmad Denver, maka umat Islam di seluruh negara; Eropa dan Amerika Utara akan segera menyadari bahwa mereka menumpang kapal yang sama dan menuju arah yang sama” (Yusufpati, 2022).

Maksud dari Murad Hofmann di atas, adalah pentingnya umat Islam atau kaum Muslim untuk terus membangun Ukhuwah Islamiyah. Meski berbeda-beda di dalam akidah, sebagai umat Muslim kita semua sama. Tidak ada perbedaan, sebab semua berangkat dari akar yang sama, yakni al-Qur’an. Hilangkanlah prasangka buruk dan ego. Sebab dua hal inilah yang membuat Islam sebagai agama tidak akan pernah maju, alih-alih untuk saling memahami satu sama lain.

Baca Juga  Islam Kita ini Masih Islam Konten, Belum Islam Kajian!

Daftar Referensi

Rahman, K. (2020). Moderasi Beragama di Tengah Pergumulan Ideologi Ekstremisme. Malang: UB Press.

Salwasalsabila, S. (2008). Islam, Eropa, dan Logika. Yogyakarta: Panembahan Yogyakarta.

Shofan, M. (2011). Pluralisme (Menyelamatkan Agama-Agama). Yogyakarta: Samudra Biru.

Yusufpati, M. H. (2022, November 4). Mualaf Jerman Murad Hoffman Bicara tentang Pluralisme dalam Islam. Retrieved from sindonews.com.

Editor: Soleh

Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *