Tentang cita-cita… dulu waktu kecil aku sering kali bercita-cita. Menjadi insinyur, dokter, polisi, tentara, bahkan menjadi presiden. Memang mungkin cita-cita seperti itulah yang pada umumnya diidamkan oleh anak-anak. Namun apakah cita-cita ku tersebut masih bertahan sampai sekarang? Tentu tidak.
Beberapa tahun yang lalu mungkin, aku pernah membaca sebuah majalah islami untuk anak-anak. Di satu halaman ku temukan kumpulan biodata anak-anak pilihan editor yang ditampilkan di halaman tersebut. Selain nama, umur, alamat dan nama orang tua, apa yang aku temukan? Ya, tentang cita-cita mereka.
Ada beberapa cita-cita yang mereka pilih, kebanyakan anak memilih cita-cita seperti yang disebutkan di atas tadi. Tapi ada satu anak yang berbeda dengan anak yang lain, anak yang bercita-cita ingin masuk ke “Surga”.
Setelah membaca cita-cita anak tersebut aku sempat tertawa dan sempat berpikir kenapa anak ini tidak mencoba bercita-cita yang lebih ‘realistis’. Bercita-cita seperti anak-anak yang lain misalnya. Kenapa tidak menjadi tentara saja, yang dengan gagah berani melindungi negara dari ancaman luar. Atau mungkin menjadi dokter, yang tentu bisa mengobati orang lain yang sedang sakit. Atau bahkan menjadi presiden, menjadi orang nomor satu di negeri ini terdengar sangat keren bukan?
Realistisnya Cita-cita
Saya bingung dan sempat menjadi bahan pikiran saya.Kenapa dia harus cita-cita yang tidak bisa kamu pamerkan ke teman-teman sebaya? Pertanyaan-pertanyaan lain muncul seolah diri ini meremehkan anak kecil tersebut.
Beberapa tahun berlalu, semakin ke sini aku semakin belajar, terlebih setelah aku berada di lingkungan yang selalu mengingatkanku untuk belajar ber-Islam. Aku belajar banyak di sini, salah satunya membuka mata dan hatiku untuk lebih mendalami Islam. Dalam Islam, dunia ini bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir kita tentu kembali kepada-Nya.
Di sini kita hanya sementara, tak ada alasan bagi kita terlena di dunia yang bahkan nilainya saja lebih buruk dari bangkai anak kambing kata Rasul. Semua harta dan jabatan yang selama ini kita kejar tak akan kita bawa mati, hanya amal yang menemani kita kelak.
Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu anhu :
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati pasar sementara banyak orang berada di dekat beliau. Beliau berjalan melewati bangkai anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil. Sambil memegang telinganya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa di antara kalian yang berkenan membeli ini seharga satu dirham?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian mau jika ini menjadi milik kalian?” Orang-orang berkata, “Demi Allah, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena kedua telinganya kecil, apalagi ia telah mati.” Rasulullah SAW kembali bersabda: “Demi Allah, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.”
Dari hadist tersebut, Rasulullah SAW secara langsung mengaitkan dengan dunia yang kita tinggali saat ini. Dunia yang menjadi tempat kesombongan kita ini derajatnya tidak lebih baik daripada bangkai anak kambing. Dunia tempat di mana kita mati-matian mengejarnya hanyalah bernilai hina bagi Allah SWT. Yang sebenarnya sangat tidak pantas untuk dibanggakan. Karena siapapun kita, atau akan menjadi seperti apapun kita, dunia bukanlah garis finish perjalanan hidup seorang muslim. Tentu akhiratlah yang akan menanti kita di akhir.
Cita-cita Bukti Semangat Juang
Cita-cita adalah bukti semangat juang dari kehidupan kita. Pada cita-citalah tertanam tujuan yang akan kita capai di akhir nanti, bak bahan bakar yang seolah tidak pernah habis dalam menjalani kehidupan. Cita-cita menjadikan diri berkepribadian yang kokoh, pribadi yang tidak gentar ketika semua permasalahan datang, dan tidak menyerah ketika menghadapi kegagalan.
Namun di hari-hari ini, kita sebagai seorang muslim terkadang masih berusaha mengejar cita-cita yang bersifat duniawi. Cita-cita yang berorientasikan jabatan dan kekuasaan. Kesemuanya itu menjadikan kita terlena dan lupa bahwa kita sebagai seorang muslim perlu bercita-cita yang bersifat akhirat. Sehingga dengan cita-cita tersebut menjadikan kita sebagai muslim yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menggapai ridho Allah SWT.
Akhirnya aku tersadar bahwa cita-cita anak yang ingin masuk surga tadi jauh lebih ‘realistis’ dari yang lain. Sungguh jika aku bisa kembali ke masa lalu aku pasti sudah menampar diriku di masa lalu yang dengan remehnya memandang cita-cita seorang anak kecil yang sungguh mulia. Cita-cita yang sudah seharusnya diimpikan dan diperjuangkan oleh setiap muslim yang mengharapkan Surga sebagai tujuan akhir. Jadi biarkan saya bertanya kepada pembaca sekalian, apa cita-cita anda?:)