Sebelum membahas constitusional complaint, kita bahas bagaimana konsep negara Indonesia terlebih dahulu.
Sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Negara Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum amandemen UUD 1945 konsep negara hukum Indonesia secara eksplisit mencantumkan istilah rechtsstaat di dalam penjelasan UUD 1945. Namun setelah dilakukan amandemen sebanyak empat kali, istilah rechtsstaat tidak lagi digunakan.
Dalam pandangan para sarjana hukum salah satu unsur utama dari konsep negara hukum adalah adanya jaminan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Pandangan mengenai hal ini disampaikan oleh Sri Soemantri Martosoewignyo, Friedrich Julius Stahl, A.V. Dicey, Jimly Assiddiqie dan A. Hamid S. Attamimi.
Maka dapat disimpulkan bahwa jaminan dan perlindungan atas HAM menjadi elemen penting bagi negara yang menggunakan konsep negara hukum.
Perlindungan Hak Asasi Manusia
Jaminan dan perlindungan atas hak asasi manusia akan menjadi omong kosong apabila tidak terdapat upaya yang maksimal dalam suatu negara untuk memberikan jaminan dan perlindungan tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan atas hak asasi manusia yang diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945. Dimana ini mencakup 27 materi. Sebagai hak yang diadopsi ke dalam rumusan konstitusi, maka hak tersebut menjadi hak konstitusional warga negara yang harus dijamin oleh negara.
Namun harus disadari bahwa disamping dimuatnya aturan mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia di dalam UUD 1945, perlu adanya lembaga atau institusi yang mengawal penegakan hak tersebut. Pasca reformasi, tepatnya mulai pada tahun 2003, perlindungan hak konstitusional warga negara di jamin oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).
Adapun Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman diberikan empat wewenang dan satu kewajiban. Yakni, menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dari semua kewenangan yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, banyak ahli mengatakan bahwa kewenangan untuk upaya melindungi hak konstitusional warga negara adalah kewenangan judicial review. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah produk politik yang muatannya sarat dengan kepentingan.
Maka setiap produk hukum yang dibuat oleh lembaga pembentuk Undang-Undang harus dipersoalkan kesesuaiannya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi. Karena bagaimanapun juga produk hukum muaranya adalah masyarakat. Yang berarti apabila aturan tersebut tidak konstitusional, akan berpotensi melanggar hak-hak konstitusi warga negara.
Judicial Review
Akan tetapi mekanisme judicial review hanya terbatas pada pengujian norma hukum peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, sistem yang ada di negara kita seolah-olah mengasumsikan bahwa pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara hanya terjadi akibat pembentukan undang-undang.
Padahal realitas yang terjadi sepanjang sejarah menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara tidak hanya terjadi akibat norma hukum dalam Undang-Undang. Tetapi juga melalui kebijakan dari lembaga eksekutif maupun legislatif. Bahkan putusan yang dikeluarkan oleh peradilan juga berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Berdasarkan temuan dari Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 2015. Ada 214 kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak konstitusional yang dilakukan oleh lembaga eksekutif. Dengan pelanggaran tertinggi terjadi pada bulan Januari 2015 sebanyak 40 kasus.
Menurut peneliti PUSAKO Feri Amsari, pelanggaran tersebut paling banyak melanggar hak warga negara yang diatur dalam pasal 28H UUD 1945. Sementara pelanggaran atas hak konstitusi yang dilakukan oleh lembaga legislatif sebanyak 40 kasus dan putusan lembaga yudikatif sebanyak 8 kasus.
Keadaan demikian menunjukkan bahwa dibutuhkan mekanisme hukum untuk memberi saluran bagi jaminan dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Dimana wewenangnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir tunggal konsitusi di Indonesia.
Constitusional Complaint
Wacana mengenai pemberian wewenang constitusional complaint kepada Mahkamah Konstitusi bukanlah hal baru. Pada saat pembahasan amandemen UUD 1945 di rapat pleno Panitia Ad Hoc MPR, usulan pemberian wewenang ini disampaikan oleh I Dewa Gede Palguna. Akan tetapi usulan tersebut tidak disepakati dengan pertimbangan akan terjadi penumpukan perkara sebagaimana praktik Mahkamah Konstitusi Ferderal Jerman. Yang hal ini berhubungan dengan kesiapan dari Mahkamah Konstitusi RI yang baru akan dibentuk.
Dua tahun setelah berdirinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ternyata cukup banyak menerima pengujian konstitusionalitas undang-undang. Yang secara substantif merupakan bentuk constitusional complaint.
Sebagaimana temuan dari seorang peneliti senior Mahkamah Konstitusi, Pan Mohammad Faiz bahwa ada 48 surat ataupun permohonan yang dapat dikategorikan sebagai constitutional complaint. Jumlah itu tiga kali lipat jumlah permohonan judicial review yang masuk ke Mahkamah Konstitusi pada tahun yang sama. Secara tidak langsung, jumlah tersebut menunjukkan kebutuhan warga negara dalam rangka mempertahankan hak konstitusionalnya menjadi penting dan mendesak.
Selain itu, seorang bernama Sri Royani pernah mengajukan pengujian Undang-Undang MK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonan perkara yang teregistrasi No. 52/PUU-XIV/2016, Sri Royani meminta Mahkamah Konstitusi juga memeriksa dan mengadili perkara constitusional complaint. Hal itu dilatarbelakangi oleh pengalaman beliau yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat kelalaian penegak hukum.
Dalam pandangan seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, constitusional complaint adalah bentuk pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrumen hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi atasnya jalur penyelesaian hukum. (Moh Mahfud MD, 2010.)
Berpijak dari pandangan ini, constitusional complaint memberikan saluran hukum terakhir bagi warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar atau diabaikan. Baik oleh keputusan lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Jalan yang Bisa Ditempuh
Untuk menggagas, mengadopsi, dan mengakomodasi ajudikasi atas constitusional complaint sebagai wewenang dari Mahkamah Konstitusi, bisa belajar dari negara lain yang sudah lebih dulu menerapkannya. Salah satunya adalah Jerman. Di Jerman, lembaga pengampu constitusional complaint adalah MK Federal yang mengayomi seluruh negara-negara bagian.
Sementara sejak dibentuk dan mengakomodasi ajudikasi atas constitusional complaint, MK Federal Republik Federal Jerman sampai 31 Desember 2009 telah menerima 175.900 permintaan. Constitusional complaint mendominasi permohonan yang diajukan ke MK Federal yakni 96,44%. Dengan demikian, untuk mengakomodasi ajudikasi dibutuhkan persiapan yang matang dan kajian yang mendalam. (Zulkarnain Ridlwan, 2011).
Adapun jalan yang bisa tempuh adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945 dan mengubah UU Mahkamah Konstitusi. Yakni dengan menambahkan wewenang memeriksa dan mengadili constitusional complaint.
Akan tetapi jalan amandemen UUD 1945 ini sangat sulit ditempuh baik karena faktor politis maupun persyaratan konstitusionalnya yang sangat berat. Sementara jika ditempuh dengan hanya mengubah UU Mahkamah Konstitusi juga akan menimbulkan kontroversi. Disebabkan akan bertentangan dengan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada MK secara limitatif.
Melihat hal demikian, jalan tengah yang bisa ditempuh adalah melalui perluasan penafsiran atas kewenangan pengujian undang-undang yang telah ada dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini bisa membuat penafsiran yang dinamis dan luas atas hak konstitusional dan kedudukan hukum dari penggugat.
Pandangan ini dapat diterima jika penafsiran konstitusi oleh hakim, tidak hanya berpegang pada legalitas formal. Aspek original intent dari ketentuan konstitusi tetapi juga mengaitkan dengan kebutuhan praktik dan kemanfaatan politik pada waktu sekarang dan akan datang.
Editor: Sri/Nabhan