Perspektif

Memaknai Islam Sebagai Teologi Pembebasan

4 Mins read

Islam adalah agama universal yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw tatkala keadaan sosial masyarakat pada masa itu sedang mengalami dekadensi moral. Hadirnya Islam menjadi solusi untuk mengatasi belenggu yang mengikat masyarakat pada masa itu.

Islam merupakan cahaya bagi kegelapan, laksana lentera yang menuntun manusia menuju jalan yang benar. “Yukhijuhum Minazd Dzulumaati Ilan Nuur “mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya” (QS.2:257).

Islam sangat mencela perilaku acuh dalam sosial, bahkan para pelakunya disebut sebagai pendusta agama. Selain hak Allah dipenuhi, makhluk lain pun memiliki hak atas diri kita. Maka manusia dalam ruang sosial membutuhkan kesalehan sosial.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa kehadiran agama bukan untuk kepentingan pribadi, namun kemaslahatan bersama. Allah menghendaki di balik ritual ibadah ada keharmonisan hubungan antara makhluk-Nya demi kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Aktualisasi agama dalam kehidupan sosial mengharuskan terjadinya perubahan. Ibadah sosial harus menjadi penggerak dalam memecahkan belenggu masalah di kehidupan. Semua itu terangkum dalam dokrin “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar” (Mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan).

Kuntowijoyo dalam bukunya “Islam sebagai Ilmu” menggagas sebuah teologi sosial dalam menafsir QS. Ali Imran 3:110. Gagasan ini terinspirasi dari Muhammad Iqbal tatkala ia menjelaskan mi’raj Nabi Muhammad Saw.

Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentunya ia akan merasa tentram bertemu Tuhannya, dan tidak ingin kembali ke dunia. Namun Nabi Muhammad memilih kembali ke dunia untuk menggerakan perubahan. Doktrin Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah misi profetik yang ditegakkan Rasulullah untuk memulai transformasi sosial.

Selayang Pandang Teologi Pembebasan

Gagasan agama dan implikasinya dalam transformasi sosial disebut teologi pembebasan. Agama merupakan aspek penting dalam melaksanakan perubahan. Pembebasan dalam term ini adalah perubahan yang signifikan dari keterpurukan menuju kejayaan.

Baca Juga  Pertobatan Ekologis: Sebuah Seruan untuk Kembali Menyayangi Alam

Ali Ashghar Engineer dalam Bukunya “Islam dan Teologi Pembebasan”, menjelaskan bahwa teologi pembebasan adalah suatu teologi yang menitikberatkan pada kebebasan, persamaan, keadilan distribusi, menolak penindasan, dan eksploitasi manusia oleh manusia.

Teologi kebebasan menolak kemapanan terhadap ijtihad yang telah disakralkan, paradigma berpikir kritis dalam beragama menjadi etos revolusi. Menurutnya, teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang baku dan terus berusaha menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru.

Teologi pembebasan tidak memperlakukan institusi keagamaan sebagai sesuatu yang sakral, namun mengambil bentuk esensialnya sebagai etos kerja. Nilai-nilai agama merupakan asas fundamental, sehingga setiap nilai agama dapat diwujudkan dalam bentuk formal yang beraneka macam.

Formalisme yang sekarang menjadi komoditas umat Islam, menjadi belenggu serta tantangan bagi akademisi muslim sekarang. Formalisme sebagai sesuatu yang indrawi tampak membuat kesan sakralitas suatu pemikiran. Padahal Islam sendiri merupakan agama yang dinamis, baik dalam ruang dan waktu (shalih fii kulli makan wa zaman) .

Teologi Pembebasan adalah upaya rasionalisasi paham keagamaan serta implikasinya dalam perubahan sosial. Agama tidak boleh hanya bergantung dalam ritus-ritus personal, namun acuh dalam sosial. Agama harus hadir sebagai pembebas manusia dari keterpurukan menuju pencerahan.

Orang yang tidak berjuang membebaskan orang-orang yang tertindas dan lemah tidak bisa dikatakan beriman sepenuhnya. Sampai mereka melaksanakan iman tersebut dalam wujud Amar ma’ruf nahi munkar.

Lebih lanjut, Ali Ashghar Engineer menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw sangat menyadari akan ketegangan sosial yang berkembang dalam masyarakat saat itu sebagai akibat dari meluasnya kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.

Kritik keras terhadap kesenjangan sosial ini disampaikan secara gamblang. Pada ayat-ayat Makkiyah bernada mengutuk kaum materialis yang senang mengakumulasi kekayaan, namun enggan beramal saleh.

Baca Juga  Rekonsiliasi, Pemaafan Pasca Pilpres

Rasulullah Sang Revolusioner

Karen Armstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan (History of God)”, bahwa Muhammad sangat prihatin akan keruntuhan moral masyarakat Makkah masa itu. Materialisme telah membutakan mata maupun hati masyarakat, kekayaan yang selama ini mereka idamkan ternyata melampaui batas impian mereka.

Nilai-nilai moral primordial telah bergeser pada etos kapitalisme yang tak berperasaan. Pada masa nomadik yang lalu, kepentingan suku selalu harus didahulukan daripada kepentingan pribadi.

Setiap anggota dalam komunitas suku tersebut terpantau secara intens keadaannya dan masing-masing anggota suku bertanggung jawab untuk membantu yang lainnya. Kini, individualisme telah menggantikan nilai komunal, asas kebersamaan yang telah lama membudaya kini perlahan mulai sirna.

Lebih lanjut, Karen Armstrong menjelaskan dampak dari individualisme ini. Beberapa klan cabang dari Quraisy bertikai untuk mendapatkan bagian dari kemakmuran. Sebagian dari klan cabang yang kurang beruntung seperti Bani Hasyim (klan Rasulullah) merasa kelangsungan hidup mereka tengah terancam. 

Beliau sadar kaum Quraish dalam musibah besar, materialisme telah menjadi agama baru yang bersembunyi dalam kemapanan semu. Rasulullah yakin jika kaum Quraisy tidak meletakan nilai transenden dalam kehidupan, maka Quraisy akan terpecah belah secara moral dan politik.

Hadirnya agama Islam bukan hanya sebagai perubahan individual namun juga pada tahap aspek komunal. Revolusi yang dilakukan Rasulullah bertahap, mulai dari menamkan konsep tauhid dan memperbaiki moral masyarakat.

Bukan revolusi jika tanpa tantangan, setiap upaya Rasulullah mengalami berbagai macam tekanan, baik fisik maupun psikis, terutama dari kaum borjuis. Konflik dalam revolusi merupakan keniscayaan, karena sejatinya revolusi mengusik kemapanan yang telah tertanam secara fundamental.

Islam dan Pembebasan dari Kemiskinan

Keadilan sosial harus ditegakkan. Setiap mereka yang mengaku beriman harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas. Kemiskinan merupakan problem paling krusial dalam kehidupan, bahkan kemiskinan menjadi faktor penghalang akses pendidikan maupun kesehatan. Bahkan beberapa manusia rela menggadaikan segalanya demi kehidupan yang mapan.

Baca Juga  Mulai dari Indonesia, Inilah Enam Kunci Kebangkitan Kedua Umat Islam

Sebuah ungkapan: Kaadal faqru ayyaquuna kufran (hampir saja kefakiran menyebabkan kekafiran), dapat dipertimbangkan bahwa kemiskinan menjadi sangat berbahaya dalam kehidupan seorang muslim.

Ahmad Syafii Maarif seorang intelektual Muhammadiyah menyatakan bahwa Al-Qur’an merupaka kitab suci pro terhadap orang miskin, namun anti terhadap kemiskinan. Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk menerima zakat, justru yang ada adalah anjuran untuk membayar zakat.

Islam menekankan ibadah menggunakan harta (ibadah maliyah), karena dampaknya terhadap perubahan sosial sangat besar. Zakat dalam ritus pribadi membersihkan harta seorang muslim, namun dalam sosial zakat itu mensejahterakan masyarakat miskin karena membantu kebutusan harian.

Syafiurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa Suku Quraisy terbagi menjadi beberapa klan, diantaranya yang terkenal adalah Jumh, Sahm, Ady, Makhzum, Taim, Zuhrah dan marga-marga Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay. Sedangkan Abdu Manaf terdapat empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muthalib dan Hasyim. Dari keluarga Hasyim inilah Allah pilih Muhammad bin Abdulullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim .

Editor : Z Azhar

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *