Tidak hanya pengetahuan, Covid-19 benar-benar menelanjangi kebobrokan sekaligus kebusukan individu manusia sekaligus subyek politik. Lebih jauh, pergerakan Covid-19 ini tidak bisa menutupi kebusukan yang dilakukan oleh setiap individu yang memimpin, baik itu sebuah negara, bangsa, ataupun umat.
Covid-19 memaksa kita percaya dan kemudian menyerahkan otoritas hidup kita kepada ilmu pengetahuan yang berbasiskan hasil riset, analisis, sekaligus eksperimentasi dalam sebuah laboratorium ataupun di lapangan sosial. Jika kita tidak tunduk terhadap ilmu pengetahuan, maka siap-siap tergilas dalam sebaran Covid-19 yang setiap waktu bisa membunuh kita dan orang-orang terdekat.
Sebagai individu, anda bisa saja menutup-nutupi diri kalau anda terkena covid-19. Namun, sikap ini justru menjadi malapetaka kepada keluarga dan anak-anak anda yang terdampak. Sebagai pemimpin komunitas, anda bisa saja berteriak bahwasanya Covid-19 itu tidak berbahaya, tapi anda harus mempersiapkan diri bahwasanya virus ini akan membahayakan anggota yang anda pimpin.
Sebagai pejabat yang memimpin di sebuah daerah, anda bisa saja menutupi jumlah orang yang terkena Covid-19, tapi anda harus mempersiapkan diri kalau rumah sakit di daerah tempat ada memimpin akan terkena petaka dari kebohongan yang anda lakukan. Sebagai seorang pemimpin agama, anda boleh saja berteriak bahwasanya tempat ibadah tidak boleh ditutup dan tetap terbuka bagi mereka yang ingin ibadah. Tapi, anda harus mempersiapkan mental kalau terjadi ada salah dari umat anda terkena Covid-19 yang membuat diri atau anggota keluarganya merenggang nyawa karena terlambat untuk mendapatkan pertolongan oksigen.
Sebagai pejabat publik, anda bisa sangat lantang berteriak dengan sangat keras kepada pemimpin tertinggi anda bahwasanya Indonesia sedang aman terkendali. Namun, anda harus menanggung amarah publik, ketika satu persatu anggota keluarga di daerah kehilangan nyawanya karena kolapsnya kondisi rumah sakit di tengah sekian banyak orang yang membutuhkan pertolongan karena terinfeksi virus ini.
Sebagai predator politik yang cari untung dalam setiap momentum, anda bisa saja mengeruk keuntungan dari setiap penjualan tabung oksigen, vitamin, vaksin berbayar, ataupun upaya mengcovidkan mereka yang baru saja pulang dari luar negeri. Namun, uang yang anda dapatkan di tengah krisis akan menjadi momok yang berdampak terhadap hidup anda ke depan, di mana keuntungan tersebut ada orang-orang yang mati kelaparan karena sikap politik anda.
Bagi yang merasa tidak percaya bahwasanya Covid-19 ini ada, anda harus mempersiapkan diri bahwasanya justru satu waktu anda sendiri ataupun keluarga anda yang akan terkena dan kemudian merenggangkan nyawa di tengah hidup yang membuat anda merasa baik-baik saja.
Kehadiran Covid-19, sekali lagi, memaksa kita untuk beradaptasi sekaligus percaya bahwasanya kerja-kerja pengetahuan dan kepada ilmuwan yang mendalami isu inilah yang harus dipegang. Anda bisa saja menggantungkan hidup pada sekuat-kuatnya doa. Namun, Covid-19 ini tidak mengenal agama. Selama anda tidak melakukan proses ikhtiar dan terus beradaptasi, doa-doa itu akan berhenti menjadi sekadar harapan, menguatkan jiwa atas kondisi tubuh yang semakin rapuh.
Dengan kata lain, kehadiran Covid-19 benar-benar memaksa setiap individu untuk beradaptasi, tidak hanya kepada keyakinan iman mereka melainkan cara bagaimana menghadapi hidup dengan situasi yang tidak mudah. Sekali anda keras kepala dengan menciptakan kerumunan di tengah tingginya angka covid-19 dengan varian delta, apapun itu alasannya, maka anda harus siap-siap menanggung resiko yang sebenarnya anda tahu, tapi anda abaikan bahwasanya itu seolah-olah perkara yang sangat kecil. Sebaliknya, dari perkara yang sangat kecil inilah malapetaka yang lebih besar sedang mengintai anda.
Sementara itu, Covid-19 ini benar-benar membenturkan kita tentang seleksi alam terkait dengan siapa yang lebih kuat, baik itu secara kesehatan, akses jaringan politik untuk mendapatkan fasilitas, sekaligus ketangguhan ekonomi yang anda miliki. Anda bisa saja kuat secara secara badan karena umur anda jauh lebih muda dan tidak memiliki penyakit bawaan. Namun, kekuatan anda bisa sangat sia-sia kalau orangtua anda dan kakek-nenek anda yang terkena.
Anda bisa saja merasa kuat dari segi jaringan politik, memungkinkan anda mendapatkan akses fasilitas kesehatan sehingga anda bisa diterima di rumah sakit ketika anda atau salah satu keluarga anda terkena. Tapi, bukan berarti hal itu menjamin bahwasanya anda akan kembali sehat di tengah ketidakpastian tubuh anda dalam melawan virus yang ganas ini. Anda bisa saja kuat secara ekonomi dan memiliki sejumlah uang di tabungan. Semua itu percuma kalau memang ternyata di pasar barang yang anda butuhkan, misalnya oksigen, ternyata tidak ada.
Dengan kata lain, memperkuat diri untuk percaya kepada ilmu pengetahuan menjadi semacam keharusan yang kita pegang. Dengan percaya kepada ilmu pengetahuan dan data para saintis bagaimana melakukan pencegahan sekaligus solusi dalam menghadapi Covid-19, betapa pahit jalan yang harus kita tempuh, adalah semacam prasyarat agar kita tetap bisa bertahan hidup.
Sebab dengan cara beradaptasi dan mempercayai ilmu pengetahuan ini kita sebenarnya sedang menutupi diri kita dari kebobrokan yang dibikin oleh para pemimpin yang bebal yang kemudian ditanggapi oleh masyarakat yang keras kepala.
Di tengah itu, kita masih percaya bahwasanya dengan tidak melakukan adaptasi dalam melakukan ritual agama, seolah-olah Tuhan bisa menyelamatkan kita. Padahal, adanya akal yang membangun rasionalitas dalam mengenali virus lebih detail untuk percaya kepada otoritas kesehatan adalah mutiara yang diberikan oleh-Nya agar kita menjadi bagian orang-orang yang tidak saja beriman, melainkan juga berpikir.
Editor: Yusuf