Setelah hampir seminggu tumbang, badan ini berangsur membaik. Awalnya saya demam tinggi (39-40°C), menggigil, batuk, bersin-bersin, sesak nafas, dan tenggorokan sakit. Saya tidak bisa berpikir jernih dan berprasangka yang aneh-aneh. “Jangan-jangan positif…“ Lidah rasanya pahit.
Saat sakit, saya memutuskan mengisolasi diri. Berlagak, seperti instruksi di berbagai poster yang beredar: “Jika kamu demam, bersin-bersin, batuk…” Dalam hati, saya meneguhkan diri, “Empat belas hari harus kuat mengalahkan virus ini. Kalau perlu, dilebihkan waktunya untuk mengisolasi diri di rumah.”
***
Saya menjadi soliter. Dan sikap soliter ini, saya pikir adalah bentuk solidaritas yang tinggi. Jangan sampai ada seorangpun yang tertular. Kebetulan anak isteri juga sedang mudik, lantaran mendapatkan musibah bahwa ibu mertua harus bertarung melawan serangan jantung (heart attack). Mereka perlu menjadi supporter agar “counter attack” bisa dilakukan dengan sempurna (maksudnya, menjaga agar lekas sehat kembali). Jadi, saya sendirian di rumah. Baiklah, yang penting tidak ada korban selanjutnya.
Ternyata, dua hari kemudian demam saya berhenti. Kalah telak oleh Paracetamol. Sementara batuk, bersin dan sesak, musnah oleh Demacolin. Sisanya radang tenggorokan, minggat karena gempuran Enkasari. Sedangkan tubuh yang melemas, kembali bugar karena ramuan jahe, kunyit, madu hutan dan jeruk nipis.
Akhirnya, yakinlah diri ini bahwa itu jelas bukan Covid-19! Tidak ada lendir ganas yang menoreh luka di paru-paru. Semua sehat, normal dan berfungsi seperti sedia kala.
Di saat yang sama, kebetulan kerjaan kantor disarankan untuk dilakukan secara daring. Ini adalah bentuk implementasi social distancing policy, anjuran semua tokoh penting: Presiden, menteri, virolog, dokter, agamawan dan bos di kantor.
Meskipun demikian, saya ingin melihat situasi sekitar. Dan tentu hal ini sangat berbahaya.
Pertama, saya pergi ke kantor (kampus). Ternyata sepi. Hanya tersisa gedung-gedung, mobil-mobil terparkir, petugas keamanan dan botol-botol handsanitizer di pojok-pojok ruangan. Kedua, saya berkeliling kota. Saya kaget setengah mati, karena kafe-kafe ramai dengan muda-mudi yang sembrono menikmati hidup yang serba berbahaya. Mungkin mereka para mahasiswa yang bebal dan berotak-udang sekaligus. “Brengsek…” gumam saya dengan suara rendah.
Ketiga, saya mengikuti pertemuan kantor. Katanya wajib, karena Surat Tugas yang ada, ditandatangani oleh pimpinan tertinggi. Saya sudah berusaha klarifikasi ke kanan dan ke kiri, ke para pejabat teras, ternyata mereka mencoba meyakinkan saya bahwa pertemuan tersebut sangat terbatas. Hanya dihadiri sepuluh orang dan dipastikan aman. Well, ternyata janji dipenuhi dan benar-benar aman. Tapi saya merasa kecil nyali juga seandainya meeting tertentu digelar lagi. Ah, yang penting saya masih selamat.
***
Pada Jum’at siang, saya tidak ingin uji nyali, tapi melihat situasi genting. Para pembaca tentu tahu apa yang akan saya lakukan: Jum’atan! Saya berkeliling, ternyata masih banyak masjid yang penuh sesak meskipun pemerintah dan para tokoh agama sudah mengumumkan seruan pentingnya beribadah di rumah. Duh, beragama kok begini amat! Berbahaya! Meskipun demikian, saya memilih masjid yang benar-benar sepi dan tidak ikut barisan shaf yang rapat. Alasannya saya khawatir menularkan penyakit ke orang lain.
Setelah selesai shalat Jum’at dan sepi, barulah saya beranjak pulang kembali ke rumah. Masjid yang memuat seribu orang, ternyata hanya diisi kurang dari empat puluh orang. Meskipun saya bukan orang masjid, agak aneh juga rasanya kalau saya tidak Jumatan. Namun, saya yakin, keimanan yang utuh terealisasikan apabila kita memilih menjaga nyawa ketimbang tertular atau menularkan virus ganas saat beribadah kolosal.
Nah, kini saya terpaksa harus merasakan transportasi publik jarak jauh yang penuh sesak. Tentu menghawatirkan. Sementara saya masih berpikir mengenai bagaimana SOP-nya yang paling aman, ternyata saya menerima pesan WhatsApp: “Dua orang yang meninggal kemarin di wilayah rumahmu, positif Covid-19. Lalu lima anggota keluarganya positif terjangkit virus itu. Sisanya, 100 orang lebih dicurigai memiliki kontak dengan mereka yang positif.”
“Wah, ini ‘alert danger’. Bahaya. Wilayah ini rentan,” gumam saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung berkemas, membawa dua tas besar (ransel dan selempang) untuk perjalanan jauh meninggalkan zona merah di provinsi ini. Rasanya pasti capek sekali jika harus memacu si kuda besi delapan jam perjalanan. Karena itu, saya segera memarkirnya di kampus dan memesan ojek online pergi ke stasiun kereta.
***
Tapi kereta api sama sekali bukan pilihan yang tepat. Ini transportasi publik, penuh sesak dan beresiko besar. Kalau saya tertular–karena tidak tahu siapa penumpang yang positif Covid-19–maka saya bisa menjadi “carrier” penyakit bagi keluarga saya, bahkan bagi kampung halaman. Kalau begitu, tidak kurang berbahaya dari berdiam diri di rumah. Tapi bagaimana lagi, sepertinya tidak ada jalan keluar yang lebih baik.
Tiba di stasiun, saya melihat hal yang tidak wajar: sepi. Di sana juga disediakan fasilitas cuci tangan yang bersih. Dan tepat di depan pintu check in, terdapat protokol tes suhu badan oleh petugas. Kipas-kipas besar yang biasanya dinyalakan, kini harus mati sementara waktu. Panas membara Ferguso! Kini saya berpeluh keringat.
Di kursi-kursi panjang yang berjajar, sepi penumpang yang menunggu kereta datang. Saya pikir, rekayasa pengaturan penumpang yang sudah canggih diterapkan. Tidak semua kursi boleh diduduki. Karena setiap berjangka satu kursi, terdapat tanda silang. Artinya dilarang diduduki. Kebijakan “jaga-jarak” benar-benar menjadi sistem yang berlaku.
Beberapa orang yang berlalu lalang, termasuk para petugas kereta api mengenakan masker. Sebagian kecil mengenakan sarung tangan plastik (atau karet?). Dan tampak orang-orang itu menyemprotkan handsanitizer di tangannya.
Ketika kereta mau berangkat, ternyata para penumpang berbondong-bondong datang. Tidak semua menerapkan praktik social distancing. Artinya, tidak semua berdiri dengan jarang masing-masing dua meter. Hanya sebagian kecil saja yang begitu. Tentu saya lagi-lagi harus tetap menjaga jarak dari kerumunan itu. Menunggu sepi.
Untungnya saat di dalam kereta, penumpang tidak terlalu penuh. Masih banyak kursi-kursi kosong yang berfungsi sebagai jarak aman. Sekali lagi, hampir semua penumpang memakai masker. Tidak ada yang demam karena kontrol di bagian check in begitu ketat.
***
Saya tidak bisa menikmati perjalanan berbahaya selama delapan jam lebih beberapa menit. Khawatir. Setelah turun dari kereta, banyak penjemput tamu berdiri berjubel di pintu keluar stasiun. Sebagian menawarkan jasa taksi, ojek dan becak. Hemm… Tetap berjubel. Kerumunan manusia.
Saya harus berjalan kaki sekitar 500 meter melewati jalan raya dan pasar. Waktu hampir menuju dini hari. Tepat setelah melewati tikungan, saya terkaget setengah mati. Ternyata di pertigaan jalan raya besar di dekat pasar, baru saja digelar doa bersama massal.
“Wah, hebat sekali mereka, berani sekali menantang situasi yang mengkhawatirkan ini,” saya menyindir dalam hati. Social distancing tidak berlaku di sini. Mungkin karena belum ada yang mati. Padahal, tepat di pertigaan itu terpampang anjuran pemerintah daerah di papan iklan besar sekali bahwa, “Hindari kerumunan!”
Pada akhirnya, saya sudah sampai rumah di kampung halaman. Saya bertemu bapak dan ibu saya dan meyakinkan diri bahwa saya lolos dari ancaman bahaya yang luar biasa. Saya berada di pengungsian sekarang dan berpikir bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sangat tidak siap berhadapan dengan Covid-19. Watak santai, menganggap enteng dan gemar kerumunan masih menjadi bagian yang melekat pada kehidupan kita semua.
Saya hanya mau bilang, “Covid-19 adalah virus yang berbahaya. Jadi, jangan main-main dengan nyawamu dan nyawa orang banyak.” Semoga kita punya kesadaran kemanusiaan yang luhur, tetap sehat dan menang lawan Covid-19.
Editor: Nabhan