Perspektif

Covid-19 dan Pengalaman Homeschooling

3 Mins read

Selain membatalkan banyak agenda, petaka Covid-19 juga sukses membikin para orangtua kalang kabut. Anak-anak mereka yang biasanya bersekolah dan berada di bawah pengawasan orang lain, kini harus mendekam di rumah. Tentu menjadi beban tambahan di jam kerja mereka.

Khususnya bagi para ibu rumah tangga, biasanya waktu anak sekolah digunakan sebagai waktu bekerja. Atau bahkan, kesempatan menikmati “me-time.” Namun kini, mereka harus menggenjot tubuh mereka mengurus anak-anak yang tidak pergi ke sekolah.

Meskipun Mahatma Gandhi pernah bilang, “There is no school equal to a decent home and no teacher equal to a virtuous parent,” nyatanya yang dialami orangtua sekarang ini berbeda. Mungkin tugas domestik mereka sudah terlalu banyak, sehingga mengurus anak yang tidak sekolah adalah tambahan beban.

Tapi mau bagaimana lagi? Sudah harus kerja, membereskan pekerjaan rumah, pusing mikirin tagihan dan lain sebagainya, eh datang lagi masalah baru. Mungkin para ibu akan berteriak dalam hati “Aku kudu piye? Anakku kudu piye? Anakku kudu laopo ndek omah?”

Masalah ini akan semakin berat bagi suami-isteri yang sama-sama harus bekerja. Anak yang tidak pergi ke sekolah seperti biasanya, jelas akan menjadi beban. Mewabahnya Covid-19 ini, juga membuat banyak siswa di seluruh negeri ini mendadak menjadi anak “homeschooling.”

***

Dalam konteks ini, pemerintah menginstruksikan untuk mulai mentransformasikan sistem belajar menjadi lebih berbasis e-learning. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Platform belajar online seperti Ruangguru dan Zenius seolah menemukan oasisnya. Laku keras.

Apakah sistem e-learning ini menyelesaikan masalah? Tentu tidak semua, ferguso! Tidak semua siswa, nyaman menggunakan sistem belajar yang demikian.

Terlebih bahwa, e-learning membutuhkan dua syarat penting: koneksi internet dan kedisiplinan. Syarat pertama mudah ditunaikan. Sudah terdapat paket kuota gratis untuk menggunakan sejumlah aplikasi e-learning, khususnya bagi pengguna Telkomsel. Namun bagi pengguna provider lain, silakan mojok dan meratapi ketidakberdayaan.

Baca Juga  Bu Tejo di Sekitar Kita

Sementara yang kedua, disiplin, sulit diraih kecuali bersungguh-sungguh. Kita memerlukan konsistensi dan energi yang besar. Hal ini diperlukan bagi mereka yang mendadak dihujani tugas lebih banyak dari ekspektasi mereka.

Mengenai hal ini, banyak siswa harus komplain karena kehabisan energi. Mungkin juga mahasiswa. Mereka gagap ketika berhadapan dengan konsistensi dan kedisiplinan.

Padahal memang, ketika belajar di rumah, mereka harus siap menanggung konsekuensinya. Ketiadaannya kelas, membuat guru secara tidak langsung merasa harus memberikan tugas yang lebih banyak dari biasanya. Bagaimanapun, memang betul kalau tidak diberi tugas, bukan karantina diri lagi namanya. Melainkan liburan.

Pemerintah telah menegaskan agar masyarakat sebaiknya tinggal di rumah saja. Melakukan social distancing istilahnya. Bagi tipe orang yang bahkan sudah melakukan karantina diri jauh sebelum Covid-19 menyerang, ini mudah. Tapi bagi orang yang kehidupan sosialnya banyak dilakukan di luar rumah, this is disaster guys!

***

Saya sudah lama menjadi homeschooler. Asyik dan merdeka. Tapi harus mandiri dan disiplin. Jika ingin belajar sesuatu, maka lebih leluasa. Bahkan jika perlu, mesti melakukan riset kecil-kecilan. Jadi, saya harus mencari data di berbagai tempat.

Orang sering bertanya, “Homeschooling cara belajarnya gimana?” Ini adalah pertanyaan yang sulit. Karena dari sekian banyak anak homeschooling yang kuketahui, cara belajar mereka berbeda-beda. Namun ada satu hal yang sama: mereka tidak sekadar duduk di depan papan tulis, menghafalkan rumus dan mengerjakan tugas. Sepanjang yang kutahu, tujuan homeschooling adalah untuk mengejar passion masing-masing.

Bagi saya, sekolah harus seperti makna filosofisnya: scholē. Artinya “leisure” atau waktu senggang. Tapi makna ini berubah di zaman modern menjadi, “a group to whom lectures were given.”

Baca Juga  Lagi, MCCC Makamkan Jenazah Covid-19 Non Muslim

Karenanya, mungkin lebih baik maknanya dikembalikan ke makna awal: mengisi waktu senggang. Jadi, sekolah tidak harus seperti sekolah formal yang kita ketahui sekarang. Sekolah sebenarnya adalah tempat untuk berpikir kritis, merenung, berefleksi dan berdiskusi secara intensif. Keren kan?

Di model sekolah yang demikian, istilah “guru selalu benar” tidak berlaku lagi. Karena di dalamnya ada proses saling berbagi pengetahuan. Guru harus menurunkan egonya, sedang murid tetap harus menjaga sikap hormatnya. Dan semua orang yang kita temui, bisa menjadi guru kita.

***

Apakah homeschooling cocok untuk semua anak? Saya rasa tidak. Homeschooling tidak cocok bagi mereka yang sulit beradaptasi dengan lingkungan baru dan enggan mencari tantangan.

Sebagai contoh, kalau ditanya “Homeschooling temennya gimana? Apa nanti malah jadi nggak punya teman?” Tentu sulit dijawab bagi para pemalu. Tapi bagi saya, mungkin istilah teman yang dipahami oleh masing-masing orang berbeda. Saya setiap hari bertemu dengan orang yang berbeda. Bagi saya, semuanya teman. Lebih dari itu, pertemanan sangat tergantung dengan kegiatan apa yang diikuti.

Apa yang saya alami jelas berbeda dengan anak homeschooling lainnya. Tentu cara, sistem belajar dan kebiasaan kita juga berbeda. Ada yang suka berdiam diri dan fokus pada satu hal tertentu, ada juga yang suka pengalaman yang menarik dan berbeda-beda. Tapi pada intinya, kita sama-sama lebih bebas dan lebih menikmati hidup.

Baiklah, saya cukup yakin sistem menyekolahkan anak di rumah akan cukup menyiksa bagi anak-anak yang terbiasa pergi ke sekolah formal. Mereka akan stress dengan tugas yang menumpuk. Mungkin, hal ini akan berdampak pada orangtua mereka. Tapi bagi sebagian homeschooler, khususnya saya, sekolah di rumah adalah kemerdekaan.

Baca Juga  Da'i Rasa Provokator
Editor: Yahya FR
7 posts

About author
Pelajar.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds