Oleh. Hasnan Bachtiar
Saya ingin merevisi pendapat personal saya soal penyebaran virus Corona (Covid-19) dan wacana mengenai kekebalan bangsa Indonesia. Sebelumnya saya menulis di IBTimes dan ingin bilang “saya ragu Indonesia kebal dari virus ini dan tentu tidak kebal dari destruktivikasi alam karena tangan-tangan serakah kapitalisme.” Kali ini saya mengajukan pendapat, “Indonesia tidak kebal dari virus apapun dan destruktif pada lingkungan.”
Kalau destruktif, kita sudah mafhum betul bahwa pembangunan digalakkan di mana-mana. Tetapi justru itu semua berbuah bukan sekedar akumulasi kapital, namun juga alam yang rusak parah. Menanam gedung-gedung tinggi megah ternyata di samping menguras habis air dan sumber-sumber air, juga mengikis pohon secara massif.
Lebih dari itu, eksploitasi sumberdaya mineral, minyak dan gas bumi, bahkan menggunduli hutan dan gunung. Parahnya, limbah beracunnya sengaja dibuang di pantai dan mengontaminasinya. Flora dan fauna, seperti lenyap begitu saja. Punah dalam waktu yang cepat sekali.
Suatu saat, karena kepentingan hunian manusia, bisnis properti akan menghabisi lahan-lahan hijau yang ada. Yang tersisa hanya bangunan-bangunan, tanpa kebun, sawah, pohon-pohon rindang, hutan yang lebat dan aliran sungai yang asri. Pada saat itu, entah dari mana bahan makanan didapatkan.
****
Sementara itu, Indonesia tidak kebal Covid-19. Kini wabah pandemik ini sudah menginfeksi ratusan orang dari berbagai kota dan provinsi di negeri ini. Tapi ingat, itu yang teridentifikasi pemerintah. Tentu kebocoran identifikasi biasa saja terjadi. Artinya, yang belum terdata dan penularannya terjadi secara liar, mungkin angkanya lebih besar dari yang tercatat selama ini. Bisa ribuan.
Pemerintah sudah benar memberlakukan “Bencana Nasional” ketimbang memilih “Darurat Nasional.” Berbagai institusi publik dan pemerintahan termasuk sekolah-sekolah dan universitas, diseru untuk bekerja di rumah dan memanfaatkan teknologi internet. Meskipun hal ini dianggap libur panjang oleh sebagian orang. Bahkan, mereka memilih pergi ke tempat-tempat liburan. Parah betul. Tetapi langkah ini harus dilakukan, bukan karena panik, melainkan pencegahan (dar’ul mafasit).
Sementara itu, mereka yang sadar akan berbahayanya penyebaran Covid-19 ini, juga masih melakukan perjalanan antar kota dengan fasilitas transportasi yang berjubel ria. Padahal kerumunan massa berpotensi meningkatkan penularan secara drastis. Bandara-bandara, stasiun-stasiun kereta dan terminal-terminal bus, justru semakin ramai.
Memang masyarakat tidak terlalu panik dengan wabah ini. Namun, tidak ada batas yang jelas antara tidak panik dengan abai. Dan budaya terlalu santai dan menggampangkan, masih terlalu mendominasi. Bahkan ketika diseru untuk beribadah di rumah dan mencegah kegiatan keagamaan yang melibatkan massa banyak, justru marah-marah dan ngotot bahwa hal itu mutlak wajib dilakukan.
****
Saya justru khawatir, apa yang terjadi di Iran dan Italia akan terulang di Indonesia. Hal yang terburuk bukanlah hal yang mustahil ketika kesadaran masyarakat justru lemah. Tidak lama lagi, kaum Muslim akan menghadapi bulan Ramadhan. Artinya, aktivitas massal yang massif akan lebih sulit dikendalikan.
Ternyata, semua menteri harus diperiksa, karena ada satu menteri yang terjangkit virus Covid-19 ini. Dan beberapa menteri, masih menunggu hasil identifikasi, sebagian masih di rumah sakit dan sebagian lainnya beristirahat di rumah.
Masalahnya, mungkin alat identifikasi yang mahal sekali itu bisa diakses oleh para pejabat negara. Bagaimana dengan orang biasa? Terlebih mereka yang miskin? Dan saya ragu, apakah pemerintah punya cukup sumberdaya (Toolkit) yang bisa dipakai secara cepat dan murah di berbagai rumah sakit yang ada di seluruh pelosok negeri. Tampaknya, sampai saat tulisan ini dibuat, masih dipikirkan untuk membelinya dari berbagai negara sepeti Cina, Korea, Singapura dan Jepang.
Nah, kembali pada persoalan kerja di rumah. Lantas bagaimana dengan para pekerja lapangan? Atau, para buruh dan tukang-tukang, serta para pedagang di pasar yang tidak biasa menerima gaji tetap bulanan seperti para pegawai?
Jika pemerintah menyatakan bahwa logistik yang dibutuhkan mencukupi, lantas bagaimana dengan mereka yang kesulitan mengaksesnya (mungkin karena miskin)? Dengan atau tanpa wabah pandemik, mereka tetap harus bekerja keras di berbagai tempat dan selalu bersentuhan dengan kerumunan massa. Tentu ini masalah besar.
****
Mungkin alternatifnya, Bencana Nasional ini perlu ditingkatkan menjadi Darurat Nasional. Lalu semua akses masuk dan keluar negeri ditutup. Demikian juga perpindahan antar kota, perlu dikontrol ketat. Sementara makanan pokok, perlu diberikan akses khusus bagi mereka yang bukan pegawai. Warga masyarakat untuk sementara waktu perlu dikontrol ketika keluar rumah, kecuali dalam rangka mengakses bahan makanan atau obat-obatan.
Sementara rumah sakit dan tenaga medis yang ada, terfokus untuk menyembuhkan yang terjangkit virus. Militer dan kepolisian, secara massif perlu mendukung segala proses yang ada, selama mungkin dua atau tiga minggu.
Kita perlu berhibernasi secara massal, sampai penyebaran virus ini terhenti dan mereka yang terjangkit benar-benar sembuh atau ditangani dengan baik oleh fasilitas kesehatan yang ada, tanpa khawatir overload (tidak sanggup karena melampaui kemampuan yang dimiliki).
Bagi kaum Muslim yang akan menghadapi bulan Ramadhan, mari kita berpuasa dengan “keprihatinan” yang lebih besar. Kiranya perlu berpuasa dari nafsu untuk berkumpul, bersenang-senang dalam kerumunan, serakah dalam berbuka. Kita juga perlu tarawih bersama keluarga di rumah masing-masing, sebagaimana Nabi Muhammad lebih sering shalat sunnah malam di rumahnya. Kalau shalat Jum’at (yang melibatkan kerumunan) berbahaya bagi jiwa, tentu mesti shalat dhuhur saja di rumah.
Saya tentu bukan Presiden atau Menteri, apalagi agamawan. Tapi pendapat-pendapat ini kiranya penting dipertimbangkan. Mudah-mudahan kita mampu menyelesaikan masalah berat bangsa kali ini.[]