Perspektif

COVID-19 Edisi Kedua: Ujian Cinta di Bulan Istimewa

3 Mins read

Terima kenyatan dengan ikhlas merupakan salah satu tahapan bagi kita agar bisa diberi nikmat lebih lagi. Karena siapa yang tidak mensyukuri kenikmatan atau pun keadaan saat ini, Allah SWT tidak akan memberi nikmat yang selanjutnya sampai ia mau menerima dan mensyukuri nikmat lalu. Banyak orang yang tidak mau menerima kenyataan; alhasil orang-orang banyak yang mencari-cari alasan, mereka tidak sadar posisi mereka, jadi mereka tidak bisa melangkah maju. Seperti keadaan saat ini, dunia masih diselimuti kabut ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 masih berlanjut pada tahun kedua.

Pada tahun ke dua ini seharusnya kita sudah tidak asing lagi dengan segala protokol kesehatan yang ada. Di samping, keadaan dunia yang masih tidak menentu ini, tidak menunda setiap tahunnya kita pasti kedatangan tamu agung, yaitu bulan suci Ramadhan.

Ramadhan: Pondok Pesantren Kehidupan Terbesar

Bulan di mana pondok pesantren kehidupan terbesar berlangsung. Bulan di mana setiap muslim rela berlapar-lapar demi menunjuk kecintaan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Di bulan ini bazar pahala berlipat ganda, bulan yang membuka lebar-lebar pintu taubat, segala doa diangkut tanpa perantara, bulan di mana setiap muslim diperintahkan untuk menunjukan bukti cinta dan perjuangannya. Ya, bulan ini idealnya kita diminta berlomba-lomba dalam beramal saleh secara royal karena setiap amal ibadah dilipatgandakan.

Akan tetapi realita yang terpampang sekarang kebanyakan muslim tidak menunjukan demikian. Kembali pada pernyataan awal, di mana saat kita tidak bisa menerima kenyataan sekarang, kita cenderung mengkambinghitamkan keadaan; COVID-19 sebagai yang terdakwa atas kelalaian kita untuk berlomba lebih mendekat kepada-Nya. Berbagai alasan mulai terlontar dan menjadikan COVID sebagai alasan besar bagi kita untuk bermalas-malasan.

Baca Juga  Ramadhan: Bulan Anti Kebohongan

Mengaku tidak berani keluar rumah untuk sholat berjamaah, bukan berarti menjadikan alasan untuk meninggalkan sholat tarawih di rumah. Tidak bisa keluar rumah untuk sholat jamaah di masjid, akan tetapi masih berani nongkrong sana-sini untuk menggosipkan segala hal yang terjadi, belum lagi berbelanja untuk keperluan lebaran nanti. Protokol kesehatan cenderung dilupakan, padahal ia insyaAllah mampu membentengi diri dari ketidakpastian.

Masjid terlihat masih sepi, ramai hanya karena euphoria awal Ramadhan saja. Sedangkan mall, caffe, dan tempat wisata berguyuran pengunjung untuk menikmatinya. Tidak mengapa memang jika karena keadaan yang memaksa benar; missal baru sembuh dari COVID-19 untuk tidak sholat tarawih atau jamaah di masjid, apalagi puasa. Namun, yang dipertanyakan ke mana perginya orang-orang sehat yang biasanya sudah berani nongkrong hahahihi di kafe sana-sini? Memang benar Rasulullah SAW bersabda, “Inilah (Ramadhan) bulan kesabaran dan ganjaran bagi kesabaran yang sejati adalah surga.” (HR Ibnu Khuzaimah).

Tantangan, Kebebasan, Ramadhan, dan COVID-19

Ramadhan di bulan penuh tantangan ini, menjadikan pilihan kita semakin melebar. Kenapa penulis mengatakan demikian? Padahal kita sedang dalam keterbatasan. Mari kita pandang keterbatasan ini sebagai sebuah tantangan yang menguji kesabaran kita. Seperti pada hadist yang disampaikan Rasulullah SAW di atas. Dan di bulan suci yang penuh bazar pahala sana-sini ini sebagai peluang. Akankah kita takluk pada keadaaan dengan menjadikan COVID-19 sebagai alasan? Padahal kita masih mampu keluar rumah dengan menerapkan protokol kesehatan, ataupun jika terpaksa sangat-sangat untuk tidak bisa keluar, ibadah tetap masih bisa berjalan meski di rumah, beramal masih bisa dari kejauhan.

Sayangnya penulis sadari; bahwasanya hal-hal semacam ini; di mana berbagai pilihan bermunculan agaknya tampak ada kesempatan untuk bebas melakukan sesuatu tanpa berpikir keras untuk melontarkan alasan, misal: “kenapa ga sholat tarawih, Bambang?” langsung saja jawabannya “ini kan masih pandemi”. Sebenarnya, setiap kebebasan itu berbanding lurus dengan tanggung-jawab. Tulisan di sini bukan bermaksud untuk meremehkan COVID-19 dan bertindak sebebas mungkin, meskipun untuk beribadah. Hanya saja tidak masuk akal, saat kita mengatakan takut beribadah atau beramal sholeh di luar rumah dengan alasan COVID-19, tetapi masih bisa leluasa untuk melakukan aktivitas lainnya dengan seksama.  

Baca Juga  Rekonstruksi Peradaban di Tengah Globalisasi

Sekarang semua tertebak dengan jelas, bahwasanya kebanyakan dari kita hanya rindu euphoria Ramadhan saja. Sehingga saat mengharuskan untuk tidak bisa keluar juga semangat dalam beribadah berkurang. Coba tanyakan, apakah Ramadhan kali ini bisa terjamin lebih baik dari tahun sebelumnya? Atau benar pernyataan di atas demikian? Lebih banyak mana khatamkan Al-Qur’an atau sudah berapa malam terlewat tanpa sholat tarawih?

Pandemi, Ramadhan Terlewat Tanpa Arti?

Sangat merugi, Ramadhan terlewat tanpa arti; padahal bulan ini Allah SWT hadirkan untuk menolong manusia dengan memperbaiki diri sendiri terlebih pasti. Ibadah yang Allah perintah tidak lain dan tidak bukan untuk lebih mendekatkan kita pada sang pemberi kehidupan. Akan tetapi, apa yang kita lakukan? Dalam keadaan semakin pelik ini, justru hal yang tidak pasti dan cenderung melelahkan hati malah menjadi pilihan yang digemari. Puasa yang kita lakukan untuk pengajaran dan pembersihan jiwa di samping agar kita merasakan empati untuk orang yang tidak seberuntung kita saat ini, bazar pahala yang melimpah memberi isyarat untuk menarik minat sehingga ringan tangan ini melontarkan pertolongan atau memberi secuil nikmat yang Allah titipkan.

Semoga bisa menjadi renungan bagi kita bersama terutama penulis pribadi yang juga belum optimal dalam memanfaatkan waktu untuk bermesraan dengan bulan suci Ramadhan. Sekarang bulan suci yang kita nantikan sudah berada pada pertengahan perjalanan, jangan sampai hanya menyisakan kekecewaan  yang terdalam karena kita melewatkan penawaran kedekatan Allah yang tidak semua orang mendapatkan. Syukuri apa yang terjadi kali ini; karena Allah besok hanya akan memberi nikmat lebih besar saat kita menerima dengan lapang hati apa yang terjadi di masa kini.

Baca Juga  Pandemi Belum Reda, Perilaku Harus Beda
Avatar
4 posts

About author
Hanya pelaku nafas yang fakir ilmu. Suka ketenangan, tapi takut sepi. Peminat kajian filsafat dan kejiwaan.
Articles
Related posts
Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read
Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam…
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds