Perspektif

Petite Historis; Orang Pedesaan Jawa pada Pandemi Covid-19

4 Mins read

Tulisan ini mencoba melihat peranan pandemi Covid-19 dalam kaitannya dengan proses perubahan sosial yang timbul ditengah masyarakat pedesaan di Jawa. Beberapa kisah yang beredar di masyarakat selama berjalannya pandemi ini setidaknya dapat diketahui bahwa terdapat pergeseran sosial dan budaya dalam kehidupan desa di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa selama ini.

Meminjam istilahnya Frans Magnis Suseno tentang apa yang di maksud masyarakat Jawa disini adalah mereka yang berbahasa Jawa dan memakai kebudayaan Jawa. Meskipun secara geografis mereka tidak bertempat tinggal di Jawa. Untuk memperkuat dan memperketat tujuan dan arah yang akan dicapai dalam tulisan ini, penulis menggunakan beberapa asumsi.

Asumsi teoritis itu antara lain, bahwa sepanjang proses pandemi yang berlangsung, baik selama 3 bulan di dunia maupun 1,5 bulan di Indonesia, perubahan-perubahan sosial akibat sebaran virus ini tidak tampak dan terpikirkan, padahal secara tersirat pergeseran itu ada. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa pandemi, apapun itu bentuknya dan terjadi di manapun, setidaknya dapat mengubah laju perjalanan sebuah bangsa dan memberikan perubahan besar dalam masyarakat.

Aspek Kejut yang Menakutkan Desa

Ketika diketahui bahwa masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berada di Jabodetabek mulai terjangkit virus corona, Gubernur Anies Baswedan berkerja cepat untuk memberi peringatan. Dengan mengundang berbagai media, ia bercerita tentang kebijakan yang ia anggap tepat. Di antaranya pembatasan jam transportasi untuk mengurangi berkerumunnya manusia.

Namun imbauannya tersebut tidak direspon baik oleh kalangan masyarakat menengah, terbukti gelombang penumpukan penumpang terjadi di setiap moda transportasi. Pelbagai media menyorot bahwa upaya Anies tidak tepat, kebijakan itu bukan mengurangi tetapi menambah daya sebar. Beberapa hari kemudian Anies pun mengakui, bahwa upaya yang ia lakukan merupakan sebuah daya kejut kepada masyarakat.

Bisa jadi daya kejut itu tidak terlalu kuat bagi kalangan menengah atas. Tetapi tidak demikian bagi masyarakat kecil, seperti penjual sepatu keliling, tukang bangunan dan penjual gorengan yang mencoba peruntungan di Jakarta. Pembatasan akses itu sangat berdampak terhadap pemasukan keseharian mereka, sehingga harus menutup lapak-lapak mereka. Tidak memiliki pemasukan dan harus menetap di rumah.

Baca Juga  Libur Corona, di mana Literasinya, Mas Nadiem?

Belum lagi dengan lalu lalang mobil ambulan yang selalu berseliweran di jalan membuat hati semakin kecut. Akibatnya minggu ketiga di bulan Maret gelombang “pemudik” mulai keluar dari Jakarta yang merupakan episintrum dari virus tersebut. Di sisi lain, media yang memiliki peran mencerdaskan bangsa dan transparansi publik, ditangkap sebaliknya oleh masyarakat di daerah.

Ia justru merupakan sebuah saluran yang menampilkan hantu-hantu yang menakutkan. Hal ini terlihat dari sikap paranoid yang berlebihan mulai tumbuh subur pada masyarakat desa yang tingkat literasinya sangat rendah, setelah melihat pelbagai peristiwa di media.

Gelombang Pemudik

Ketika gelombang pemudik mulai berjalan, di desa tumbuh kepanikan-kepanikan tersendiri. Pada akhirnya menghapus seketika nilai-nilai budaya masyarakat desa sepert terbuka, rukun berubah menjadi masyarakat yang tertutup dan rentan konflik. Gelombang “pemudik” kali pertama muncul di kawasan Wonogiri yang kemudian merembet ke daerah-daerah lainnya di Jawa Tengah.

Padahal banyak dari penduduk desa yang sedang panik tersebut meminta sanak saudaranya untuk tidak pulang dengan diiming-imingi kiriman dana seadanya dari desa. Sedangkan perangkat desa yang menjadi jaring terakhir pelindung masyarakat desa, tidak kuasa membendung arus kepanikan luar biasa di desa. Karena di antara mereka sendiri terdapat keterputusan “patron-klien” dalam jaring-jaring kuasa yang ada.

Akibatnya ketika “pemudik” yang telah sampai di desa, mereka menjadi korban keganasan aspek kejut yang terjadi di kota tersebut. Mereka harus mengalami pengucilan-pengucilan yang menyakitkan, sebagaimana kisah yang dialami oleh Khairul Huda. Ia harus mengalami pengalaman yang pahit selama hidupnya, dimana ia ditolak oleh keluarga dan masyarakatnya. Ia dituduh sebagai sumber malapetaka di desa.

Sehari setelah kedatangannya, masjid-masjid yang awalnya penuh sesak dengan jamaah, kini sunyi dan sepi. Anak-anak kecil yang kerapkali bermain di seputaran masjid pun kini hilang. Ia menjadi pergunjingan yang tidak semestinya di desa.

Baca Juga  KPK di Ujung Tanduk

Hantu yang Menakutkan

Kisah yang tidak jauh berbeda pun dialami oleh Parno, yang baru saja datang dari Jawa Timur. Ia ditolak masuk oleh istrinya dan keluarganya. Ia diminta mandi di pinggir jalan jauh dengan rumah dan tidak diperbolehkan masuk rumah hingga berhari-hari. Ia hanya bisa tidur di emperan rumah layaknya seorang buangan.

Lain halnya dengan Mbah Paimah, nenek tua yang bekerja serabutan di desa. Kebiasaan nonton televisi tentang kepanikan negara dalam mengatasi sebaran virus ini membuat ia harus mengalami sesak nafas akut, karena memikirkan cucunya yang bekerja di kota.

Namun, lacur, ketika ia dibawa ke mantri desa, ia ditolak keras oleh sang mantri karena ia dianggap sebagai penderita Covid-19. Bahkan ia mengalami tindakan yang tidak terduga dari sang mantri. Kisah yang tidak jauh berbeda dengan mbah Paimah, mbah Win, seorang janda yang anaknya kerja di Jakarta. Ia lari ke orang pintar untuk meminta doa agar anaknya diselamatkan dari wabah virus.

Kegalauannya semakin memuncak ketika Gubernur Jakarta berkali-kali meminta untuk Jakarta Lockdown. Agaknya jurus kejut sang Gubernur berhasil meluluh lantahkan kedamaian dan keterbukaan daerah-daerah kecil di Indonesia. Lalu menggantinya dengan hantu-hantu yang menakutkan desa.

Logika Kebersihan Desa

Ketakutan-ketakutan itu tetap membawa berkah yang besar dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat desa terutama dalam menampilkan budaya bersih. Meskipun konsep bersih memiliki akar yang kuat dalam Islam dan Indonesia merupakan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, namun nyatanya dalam menampilkan budaya bersih, masyarakat desa tidak memiliki akar yang kuat dalam hal hidup bersih.

Sekalipun catatan sejarah yang tercantum Centhini misalnya, budaya cuci tangan sebelum makan merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat desa. Namun, sejatinya mereka pada dasarnya tidak memiliki pengetahun yang kuat dalam hidup bersih.

Baca Juga  Spiritualitas Kemanusiaan: Menemui Tuhan yang Hilang

Kebersihan bagi masyarakat desa memiliki logikanya sendiri. Ini terlihat dari folklore yang ada dalam masyarakat Jawa misalnya. Terdapat sebuah nyanyian anak-anak yang sangat familiar bagi masyarakat di desa-desa di Jawa tentang bagaimana masyarakat desa hidup dalam penuh kekotoran. Nyanyian itu berbunyi;

 “e dayohe teko, e gelarno klasa, e klasanae bedah, e tambalen jadah, e jadahe mambu, e pakakna asu, e asune mati, e buangke kali, e kaline banjir, e buangke pinggir’, dalam terjemahan bebasnya adalah e tamunya datang, e gelarkan tikar, e tikarnya robek, e tamballah dengan jadah, e jadahnya berbau, e kasihkan anjing, e anjingnya mati, e buanglah ke kali, e kalinya banjir, e buanglah ke pinggir.”

Perilaku tersebut terus dipupuk hingga kini, bahkan menjadi sebuah tradisi yang menggejala di perkotaan. Lihat saja sampah-sampah dengan mudah dijumpai di sungai-sungai di perkotaan. Dalam konteks yang lebih luas paradigma kekotoran tersebut, menyebar tidak hanya di desa tetapi juga menjadi budaya di masyarakat perkotaan.

Di perkantoran yang membolehkan pegawainya merokok akan terlihat puntung-puntung rokok di sela-sela tembok, demikian juga dalam dunia pendidikan. Kaca-kaca dalam kelas atau kantor mengalami penebalan debu. Entah hampir berapa tahun tidak dibersihkan.

Standar Kesehatan Baru

Kini jungkir balik tradisi tersebut terjadi ketika Covid-19 menggejala. Gerakan hidup bersih menggema dimana-mana. Anjuran hidup sehat yang bermula di kota-kota besar mulai ditangkap oleh masyarakat desa, sebagai standar kesehatan baru.

Seluruh desa membuat gerakan serupa, dengan menyediakan wastafel dengan sabun atau menyemprot dinding-dinding atau kaca yang selama ini terpinggirkan dari perhatian. Covid-19 merubah budaya kekotoran menjadi lebih peduli terhadap kebersihan, meskipun agaknya hal itu hanya sebatas hangat-hangat tai ayam dan hampir dapat dipastikan setelah Covid-19 berlalu, budaya bersih pun turut berlalu dan kembali dalam kebudayaan asal.

Akan tetapi setidaknya hal itu menunjukkan bahwa saat ini Covid-19 berhasil memaksa masyarakat untuk hidup bersih meskipun sementara dan menjadikannya budaya baru di tengah-tengah kehidupan masyarakat pedesaan.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Penikmat sejarah dan pemulung masa lalu serta pengajar IAI Sunan Giri Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *