Perspektif

COVID-19 Memaksa Manusia Merawat Bumi

4 Mins read

Dua bulan lebih dunia tengah dihadapkan dengan persoalan yang begitu rumit. Sejak WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemik global, ramai ramai warga dunia menyatakan perlawanan terhadap virus mematikan tersebut.

Sampai 3 April 2020, tercatat lebih dari satu juta penduduk dunia terkena wabah Covid-19. Ratusan negara yang terdampak virus corona tak terkecuali Indonesia. Sementara itu kematian secara global mencapai lebih dari 50.000 jiwa. Indonesia sendiri mencatatkan 1.986 kasus dengan 186 korban jiwa. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa kenaikan angka yang terjadi begitu drastis, semenjak virus ini mulai masuk ke Indonesia (2 Maret 2020). Tentu hal ini menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia.

Ketidaksiapan Melawan Covid-19

Dalam situasi seperti ini yang kita butuhkan adalah solusi dari para ahli. Kemudian mereka duduk bersama menjalankan keahlian dalam bidangnya, guna menemukan jalan keluar. Mulai dari ahli kesehatan, ahli ekonomi, agama, serta dunia industri obat bekerja bergotong royong sesuai bidangnya. Misal ahli ekonomi menjalankan fungsinya untuk menemukan solusi, bagaimana supaya kedepannya Covid-19 ini tidak sampai mengakibatkan krisis global, begitu juga dengan ahli-ahli lainnya.

Selain dari jalan keluar yang di tawarkan oleh para ahli, dengan tingkat penyebaran yang begitu cepat tentu diperlukan kesadaran dari setiap lapisan masyarakat untuk menjaga kesehatan diri masing-masing. Dalam hal ini imbauan pemerintah soal physical distancing dan #dirumahaja tidak boleh diabaikan. Sebab ini merupakan tindakan preventif yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk mencegah penyebaran Covid-19 lebih luas lagi.

Jika hal ini diabaikan, maka secara berjamaah kita mengamini posisi kita masih jauh dari pentingnya memulihkan keadaan. Tetapi tentu perlu dilihat lagi apa yang sebenarnya melatar belakangi sikap masyarakat kita yang seolah tak acuh terhadap Covid-19 ini.

Melihat tingginya kasus yang terjadi di Indonesia, nampaknya negara belum siap dalam menghadapi pandemik covid-19. Hal ini terbukti dari hilangnya semangat gotong-royong dalam menghadapi covid-19 yang terjadi, tenaga medis, ahli ekonomi, hingga ahli agama tidak bekerja bersma-sama.

Baca Juga  Investasi di Tengah Pandemi

Justru sebaliknya, tenaga medis yang menjadi benteng pertahanan terakhir dengan jumlah terbatas sangat rentan terhadap penularan. Sedangkan para ahli lainnya hanya sibuk membicarakan politik tanpa solusi.

Inilah yang menjadi persoalan, termasuk mengapa seolah masyarakat tak acuh terhadap Covid-19. Salah satunya ialah faktor ekonomi yang mempengaruhinya.

Banyak Persoalan Lain

Kebijakan yang menginstruksikan physical distancing dan bekerja di rumah, merupakan langkah solutif untuk mencegah penyebaran virus ini. Akan tetapi, pemerintah melewatkan satu hal, jika PNS dan pekerja formal lainnya tidak ada masalah dengan kebijakan tersebut, pertanyaannya bagaimana dengan pekerja-pekerja informal? Pedagang kaki lima, tukang becak, penjual koran, tukang ojek, mereka terpaksa tidak bisa mengikuti kebijakan tersebut, sebab itulah pekerjaan sehari-hari mereka.

Jika mereka tidak bekerja, tidak bisa untuk menghidupi keluarga, padahal listrik harus dibayar, air harus dibayar, sekolah anak-anaknya harus dibayar. Artinya, selain tenaga medis yang rawan terhadap penularan, pekerja informal juga merupakan elemen yang rawan terhadap penluaran. Karena mereka bekerja di luar, maka kontak langsung dengan banyak orang tak dapat di hindari.

Di sinilah pemerintah terlihat kurang siap menangani kasus covid-19, kebijakan yang dikeluarkan masih menyebabkan beberapa masayarakat mengalami kesulitan, terutama pekerja sektor informal.

Terlepas dari itu, mari mencoba sedikit beranjak dari dampak negatif virus corona tersebut. Di tengah kondisi pandemik seperti ini, sebagian besar masyarakat dunia terfokus pada virus tersebut tak terkecuali Indonesia. Padahal di sisi lain masih banyak perosalan yang tak kalah pentingnya untuk kita kita kawal bersama seperti omnibus law, kondisi bumi kita, serta persoalan lainnya.

Saat ini eksploitasi alam yang berlebihan, perubahan iklim yang dipicu oleh ancaman global warming, bayang-bayang bencara alam yang siap melibas siapa saja, penggundulan hutan dengan dalih pembangunan di tengah kompetisi pasar global, serta polusi udara akibat kendaraan bermotor, mau tidak mau memaksa manusia mencari jalan keluar demi memperpanjang usia bumi untuk kelangsungan kehidupan generasi setelah kita.

Baca Juga  Covid-19, Pendidikan, dan Literasi Lingkungan

Untuk kondisi seperti ini, melihat bencana alam yang terjadi dengan berpikiran sudah takdirnya terjadi nampaknya perlu dicek kembali. Pardigma dalam melihat suatu bencana alam harus bergeser dari takdir ke akibat. Bencana alam harus dilihat sebagai akibat perilaku manusia yang berkontribusi memberikan beban besar dalam merusak alam.

Paksaan Merawat Bumi

Dalam catatan sejarah, kerusakan alam dengan jumlah yang besar dimulai sejak di cetuskannya revolusi industri pada rentang tahun 1750-1850. Di mana terjadi perubahan secara besar-besaran dalam bidang manufaktur, teknologi, transportasi, dan pertanian. Kesemua itu secara tidak sadar sangat mempengaruhi keadaan bumi kita, keadaan ini berlangsung hingga revolusi industri 4.0 dengan maraknya pembangunan infrastruktur.

Kemajuan teknologi menghantarkan kehidupan manusia pada pola yang serba mudah hingga secara perlahan budaya kearifan lokal mulai hilang di telan zaman. Di beberapa daerah pedesaan misal, kearifan lokal masih sangat bisa kita temui. Tetapi sekali lagi, kemajuan teknologi telah mengubah paradigma masyarakat. Sampai membawa pada titik di mana anak muda gengsi menjadi petani, hingga fenomen hijrahnya petani menjadi buruh di kota. Padahal mereka bisa berdikari dengan bertani.

Kembali pada titik persoalan, adanya komunitas lokal yang masih berpegang teguh pada kearifan lokal, turut memberikan dampak dalam menjaga kelestarian alam. Maka keberadaan komunitas lokal tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman.

Mengutip pendapat dari Vandana Shiva, bahwa akar krisis ekologi, terletak pada kelalaian pihak penguasa yang menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk kemudian berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan. Komunitas lokal selalu dilihat sebagai anak tiri dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Mereka tidak diberikan ruang untuk berekspresi dengan aspirasinya, bahkan menjadi korban dalam pembangunan.

Baca Juga  Jangan Sampai Kita Mengalami Kebangkrutan Beragama

Maka sudah sepantasnya, kita membangun kesadaran kolektif dalam merawat bumi, tanpa menegacuhkan isu-isu yang sedang terjadi hari ini.

Dalam konteks Covid-19, penulis mencoba melihat sisi lain selain dampak negatifnya. Sisi lain tersebut ialah dampak positif terhadap kondisi bumi kita, andai saja ada yang mengukur kualitas udara di negara-negara terdampak corona dengan adanya kebijakan physical disatncing atau bahkan lockdown, bisa jadi kualitas udara menjadi lebih baik, mengapa? karena menurunnya penggunaan kendaraan bermotor.

Interaksi dengan Alam

Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia bisa memberikan pelajaran bagi kita terhadap apa yang hari ini mulai ditinggalkan, yaitu budaya kearifan lokal.

Dalam masa kelangkaan bahan pangan, kita bisa melihat kembali dengan apa yang ada di sekitar kita, tanpa harus mengandalkan impor bahan makanan di pasar modern. Kita bisa memanfaatkan apa yang ada di alam dalam batas normal. Singkatnya, menumbuhkan kembali interaksi dengan alam dalam membangun hubungan yang harmonis.

Kemudian lebih jauh lagi, andai saja pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan lockdown, bisa dibayangkan berapa kerugian pabrik tekstil yang tidak beroprasi, pabrik kertas yang juga tidak beropreasi, pembangunan yang terhenti, serta kerugian pabrik-pabrik lainnya yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan utamanya.

Tetapi di balik kerugian-kerugian pabrik itu, bisa dibayangkan berapa banyak kekayaan alam yang tidak dieksploitasi untuk kebutuhan pabrik-pabrik tersebut. Juga berapa banyak hutan yang gagal digunduli demi pembangunan-pembangunan infrastruktur.

Jika hal ini dikontekstualisasi dalam gerakan, seperti penggalan puisi Wiji Thukul “…Sehari saja kawan, kapitalis pasti tumbang..” sehari tanpa ada eksploitasi, tanpa ada pabrik yang beroperasi, tanpa ada pesawat terbang yang beroprasi. Dan jika saja lockdown dilakukan, serta eksploitasi alam yang dihentikan mulai hari ini dan seterusnya, kita telah turut serta dalam misi penyalamatan bumi, demi kelangsungan hidup selanjutnya.

Mari renungkan, salam lestari!

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds