Beberapa waktu lalu 3 jamaah dari masjid di Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, harus menerima kabar kurang mengenakan. Mereka dinyatakan positif Corona (COVID-19). Akhirnya, 150 warga lain, yang berinteraksi dengan ketiganya selama di masjid, harus menanggung karantina 14 hari untuk memastikan positif atau tidaknya.
Sebanyak 150 orang tersebut tidak boleh keluar, harus tetap berada dalam masjid. Pun dengan keluarga dan sanak saudaranya, tidak boleh menjenguk semuanya. Pilu memang. Beringasnya virus pagebluk, seperti orang Jawa menamai, juga menyerang masyarakat yang sedang melaksanakan aktivitas keagamaan. Tanpa ampun. Juga tanpa permisi.
Masjid – masjid besar sebagai pusat kegiatan Islam mulai menutup diri. Di Jawa Timur, sebut saja masjid Al-Falah, masjid Sunan Ampel Surabaya, tidak lagi mengadakan shalat 5 waktu dan shalat Jumat. Mungkin juga masjid – masjid lainnya melakukan hal serupa.
Otomatis, masjid – masjid yang biasanya mengadakan kajian Islam dan kegiatan berbasis masjid, sementara waktu harus ditiadakan. Masyarakat yang biasanya mendengarkan taklim, kini harus berdiam di rumah saja. Bagaimana nasib beberapa waktu ke depan?
***
Saat ini masjid belum bisa diandalkan sebagai tempat menimba ilmu, atau melakukan kegiatan spiritual. Untuk kumpul – kumpul pun harus diminimalisir, sebagai bentuk pencegahan, bukan pelarangan. Pasien penderita Virus Corona (Covid – 19) kian hari semakin beringas. Per Ahad 28/3, penderitanya sudah ada 1.285 Kasus dan 114 yang meninggal. Bukan bilangan yang kecil.
Melihat rumah sakit dan kondisi hari ini, kemungkinan besar pasien ke depan akan semakin bertambah dan melebar ke daerah – daerah kabupaten. Terlebih otoritas kekuasaan juga lamban menangani. Imbas yang lain, masjid – masjid ke depan harus absen mengadakan agenda – agenda keumatan.
Namun, setelah membaca karya monumental Kuntowijoyo yang berjudul Muslim Tanpa Masjid, setidaknya pesimistis saya tentang masjid tidak bisa lagi dijadikan pusat kegiatan tidak berkepanjangan. Masih ada jalan.
Dahulu, Kuntowijoyo menggambarkan orang – orang “Muslim Tanpa Masjid” adalah mereka para umat Islam yang sedari kecil belajar Islam bukan berbasis masjid atau sekolah Islam. Mereka mendapatkan pelajaran Islam dari pembinaan organisasi Islam kampus, dari kaset, VCD, tentang ceramah – ceramah keagamaan. Sepertinya istilah “Muslim Tanpa Masjid” tersebut, dalam konteks sosial yang lebih sederhana, bisa digunakan sebagai sarana mencari pembelajaran Islam di luar masjid selama masjid menutup diri.
***
Tadi malam salah seorang teman menyarankan agar saya ikut kajian online melalui aplikasi Zoom. Ada dua kajian, satu diadakan organisasi keislaman, satu diadakan masjid besar. Semuanya tanpa berbayar. Hal itu ia tawarkan setelah saya curhat, sekarang banyak masjid yang dulu mengadakan majelis taklim harus ditiadakan. Tanpa berpikir panjang, saya kepincut ikut. Jadilah saya ikut dua kajian online.
Setelah mengikuti, memang tidak sesempurna ikut kajian secara langsung. Ada yang terasa ganjal, juga terkadang sulit fokus. Namun setidaknya sedikit – sedikit bisa belajar. Menambah ilmu pengetahuan.
Lain waktu, iseng – iseng melihat Instagram, nyatanya beberapa hari ini juga ada kajian live tanpa tatap muka. Pengisinya ustadz cukup terkenal: Ada Gus Miftah, ada Ustadz Bachtiar Natshir, atau di akun lain ada Ustadz Abdul Somad. Saat mereka menyampaikan ceramah, banyak juga yang nimbrung. Ada ribuan orang yang mengikuti kajian.
Ruang – ruang maya ini bisa dipergunakan masyarakat untuk menimba ilmu saat masjid tidak bisa diandalkan sementara waktu. Selain itu, ada juga youtube dan radio yang selalu siap saji. Memang tidak semua bisa mengakses ruang maya, seperti mereka yang karena faktor umur, gaptek teknologi, akses ikut. Namun, selayaknya mereka yang punya ruang akses harus memberi informasi dan fasilitas kepada mereka yang membutuhkan.
Editor: Arif