Tajdida

Dakwah Kultural ala Muhammadiyah

3 Mins read

Melakukan dakwah kepada masyarakat memerlukan strategi kultural. Dakwah kultural menjadi jitu untuk mengajak umat berlomba-lomba meraih kebaikan (fastabiqul khairat) dan menjauhi kemungkaran.

Proses ini membutuhkan kekuatan ubudiyyah sekaligus pijakan sosial yang kuat. Juga ditopang dengan keistiqamahan warga persyarikatan Muhammadiyah.

Anjuran memahami masyarakat dari sudut pandang kearifan lokal sebagai salah satu realitas masyarakat dapat menjadi pintu masuknya. Di dalamnya terdiri dari sifat dan karakter komunitas sosial yang ada. Dakwah model ini mampu melihat masyarakat awam secara kemampuan spiritual dan intelektual.

Dakwah Kultural

Ada tiga cara dakwah yang bisa dilakukan dalam mendukung strategi kultural. Pertama, dakwah bi al-lisan yakni mengajak melalui lisan dengan cara-cara ceramah, diskusi, nasihat dan pidato.

Kedua, dakwah bi al-hal yakni melalui keteladanan yang konkrit, seperti sekolah-sekolah, pondok pesantren dan pelayanan kesehatan.

Ketiga, dakwah bi al-qalam yakni menggunakan kemampuan akal untuk menuliskan ide-ide sehingga mampu dipahami khalayak umum.

Metode dakwah bi al-lisan, bi al-hal dan bi al-qalam mampu dianyam oleh Muhammadiyah ke dalam dakwah kultural guna menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan. Tentu dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhuk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang islami.

Pandangan Rahmatan lil Alamin

Potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya berarti memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, simbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu serta hidup subur dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman itu dibingkai oleh pandangan rahmatan lil alamin.

Sebagaimana di terangkan dalam  QS al-Anbiya’ ayat 107 :

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

Tafsir rahmat dalam surat al-Anbiya’ adalah ajaran Islam secara subtansial terwujudkan oleh akhlak mulia Nabi Muhammadi. Keniscayaan ini menandakan Islam mampu memenuhi hajat batin umat manusia untuk meraih ketenangan, ketentraman, serta pengakuan atas wujud, hak dan fitrahnya sebagaimana terpenuhi juga hajat keluarga kecil dan besar.

Baca Juga  Masa Depan dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Hal ini menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan. Saling penghormatan, jangankan manusia, binatang dan tumbuhan pun memperoleh rahmatNya.

Muhammadiyah dan Budaya dalam Sejarah

Jejak sejarah persyarikatan Muhammadiyah sejak awal telah memiliki kearifan lokal (local genious) yang tinggi. Karakter budaya Jawa juga tercermin secara nyata. Terlihat dari komposisi tujuh dari sembilan pendirinya merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta. Yang mana, dalam keseharianya, abdi dalem sangat menghayati dan mengaplikasikan budaya Jawa..

Fakta inilah kemudian yang mendorong Muhammadiyah menjadikan Kauman sebagai area dakwahnya. Dalam buku Warisan Islam Nusantara: Tafsir al-Qur’an, Carakan dan Narasi Reformisme, disebutkan bahwa Muhammadiyah melakukan dakwah kultural melalui lisan (bi al-lisan) dan tulisan (bi al-qalam).

Selain bahasa Jawa yangmenjadi salah satu medium syi’ar. Aksara carakan juga di pakai mengajar orang-orang sekitar Kauman. Bahasa Jawa dan aksara carakan digunakan sebagai media tulis pengajaran teks-teks ajaran Islam.

Para tokoh Muhammadiyah awal menjelma menjadi audience design yang mengubah cara berkomunikasi sesuai dengan situasi dan konteks di mana mereka berada. Keputusan dakwah menggunakan tulisan dan bahasa lisan para pendiri Muhammadiyah menjadi salah satu cara menghormati budaya sekaligus mempermudah dakwah kepada warga setempat.

Kenyataan yang ada pada tubuh Muhammadiyah menandakan bahwa tradisi bukan suatu substansi dan bukan pula material. Melainkan suatu proses yang menyatu dengan keberadaan atau eksistensi manusia. Bahwa manusia akan selalu berdiri dalam tradisi.

Keterlibatan atau partisipasi pada warisan budaya yang meliputi sesuatu yang akan dipahami merupakan prakondisi untuk tercapainya pemahaman. Warga persyarikatan saat bersentuhan langsung dengan kearifan lokal dapat melibatkan diri dan warga setempat sekaligus melakukan dakwah.

Cara ini mampu meleburkan antar masyarakat setempat untuk memerankan dakwah kultural yang rahmatan lil alamin. Cara demikian memiliki dinamika yang cukup serius. Sebab watak dasar manusia bersifat dinamis agar bisa selaras dengan kondisi lingkungan umat manusia yang didakwahinya.

Baca Juga  Agama dan Budaya Tak Dapat Dipisahkan!

Muhammadiyah Dekat dengan Kultur Lokal

Fungsi dakwah sendiri adalah mengharapkan pada perubahan yang lebih baik, seperti diungkapkan dalam QS. ar-Rum ayat 30 :

فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ 

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah: tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyak manusia tidak mengetahui

Selain pijakan sejarah organisasi, pijakan riwat pendidikan KH. Ahmad Dahlan yang  pernah mengenyam pendidikan tradisional juga mempengaruhi dakwah kultural Muhammadiyah. Bersama pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, mereka berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah. Kiai Dahlan juga pernah mengaji pada KH. Abdul Hamid  Lempuyangan, Yogyakarta serta  KH. Mas Mansur di Tremas, Pacitan.

Menurut Azyumardi Azra, jejak KH. Ahmad Dahlan melakukan pencarian ilmu di pesantren menjadi salah satu institusi awal yang mendidik pionir Muhammadiyah. Menjadi tak bijaksana jika kader Muhammadiyah menafikan peran pesantren dari pribadi para founding father­-nya.

Sejarah sudah mencatat, bahwa Muhammadiyah tidak berjauh-jauhan dengan kultur lokal dalam melakukan dakwahnya. Ia berdampingan seolah tak ada sekat di antara agama dan kebiasaan setempat. Modal ini dapat dijadikan pijakan Muhammadiyah masa kini dalam mengelola masyarakat saat proses dakwah.

***

Seyogyanya, Muhammadiyah muda juga menyelami kitab-kitab klasik atau yang familiar di sebut kitab kuning. Ia menjadi salah satu jendela intelektual peradaban Islam masa lampau dibarengi kitab putih agar mampu mengembangkan dakwah kultural.

Membangun kultur dialogis untuk merangkul bukan memukul. Sehingga Muhammadiyah muda mampu serawung dengan berbagai lapisan sehingga menampilkan kesan melayani bukan mriyayeni.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Baca Juga  Anushtakin Darazi dan Sekte Druze di Suriah
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds