Perspektif

Dampak Buruk Jika Ormas Keagamaan Ikut Bermain Tambang

4 Mins read

Baru-baru ini, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Melalui aturan tersebut, organisasi masyarakat atau ormas keagamaan dapat diprioritaskan sebagai penerima penawaran izin tambang (baca: konsesi tambang). Keputusan presiden yang diteken pada 30 Mei 2024 menghentak publik dan menuai banyak kontroversi.

Tentu, aturan tersebut dapat memperdalam, memperuncing dan mendekonstruksi peran ormas keagamaan sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan, di samping keagamaan. Meskipun ada sisi positifnya, akan tetapi dampak horizontalnya begitu mengerikan, terutama berhadap-hadapan dengan umatnya sendiri.

Problematika Tambang di Indonesia

Sejumlah persoalan tambang di Indonesia menghantui keberlangsungan alam dan peradaban manusia. Studi Richard M. Auty dalam Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis membuktikannya. Buku yang mengulas tentang kutukan sumber daya alam (the resource curse) atau paradoks keberlimpahan (the paradox of plenty or the poverty) yang terjadi pada enam negara pengekspor bijih (yaitu Peru, Bolivia, Chili, Jamaika, Zambia, dan Papua Nugini), menggambarkan kondisi destruktif bagaimana keenam negara tersebut semakin terpuruk dan tertinggal.

Dalam buku itu, Auty secara khusus memparadokskan bahwa negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam terutama energi non terbarukan, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi lambat dalam jangka panjang dibarengi wujud pembangunan yang terpuruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.

Di antara sejumlah problematika tersebut adalah konflik tambang, lubang bekas tambang, korupsi izin, broker tambang, ekspor ilegal produk tambang, manipulasi AMDAL, dan sebagainya. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat sepanjang 2014-2019 setidaknya ada 62 konflik tambang yang melibatkan masyarakat (adat)-perusahaan, masyarakat-pemerintah dan sesama masyarakat. Tercatat 269 orang menjadi korban kriminalisasi akibat konflik.

Tidak berhenti di situ, catatan akhir tahun 2018 Jatam menyebutkan ada 3.092 lubang batubara yang belum direhabilitasi. Korban meninggal akibat tenggelam di kubangan bekas tambang sebanyak 140 orang. Yang teranyar, dalam laporan sepanjang 124 halaman, “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim,” Climate Rights International mewawancarai 45 narasumber yang tinggal di dekat kegiatan peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera. Penduduk lokal menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, telah menyerobot lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk dan Masyarakat Adat, yang tengah menghadapi ancaman serius terhadap cara hidup tradisional mereka. 

Baca Juga  Kisah Air yang Tak Seelok Dahulu

Kasus rempang, wadas, menjadi bukti untuk itu. Jika ormas keagamaan ikut mengajukan konsesi tambang atau Izin Usaha Pertambangan (IUP), maka patut diragukan perannya dalam mengentaskan penderitaan rakyat dan melestarikan lingkungan hidup.

Banalitas Ormas Keagamaan

Bobroknya moralitas elit politik makin memperkuat tesis klasik EF Schumacher dan Fritjof Capra, krisis ekonomi, sosial, politik dan lingkungan hidup berakar dari krisis moralitas bangsa itu sendiri. Juga adagium politik yang dilontarkan Lord Action, power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Melihat realitas ini, idealitas terwujudnya clean governance – dan termasuk clean social community organizations – sebaiknya dilupakan (atau bahkan dikesampingkan) sejenak.

Yang terpenting adalah bagaimana agar pimpinan ormas dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk berebut mengantri siraman “remah-remah” konsesi tambang agar dapat memenuhi kebutuhan pendanaan organisasi. Tentu worldview tersebut tidak dipukul merata semua ormas, akan tetapi bibit-bibit itu tidak dapat dinafikan adanya.

Pengajuan IUP atau konsesi tambang yang dilakukan ormas justru semakin menabalkan perannya sebagai organisasi yang concern pada pemberdayaan umat dan pelestarian lingkungan. Apalagi IUP yang dibagikan oleh pemerintah adalah bekas (eks) penciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan bekas-bekas lainnya. Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan jatah WIUPK yang akan diberikan kepada ormas keagamaan merupakan hasil dari penciutan lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

***

Hasil Bahtsul Masail dan Keputusan NU tentang Sumber Daya Alam mengharamkan aktivitas eksploitasi SDA, konversi lahan produktif, dan segala aktivitas yang terkait dengannya. Bahkan keputusan NU itu menyebutkan pemerintah wajib melakukan moratorium terhadap semua izin perusahaan berskala besar di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir, serta meninjau ulang semua kebijakan dan izin yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam bidang SDA. Yang cukup menghentak adalan rekomendasi Muktamar ke-34 NU di Lampung, 23 Desember 2017 yang berbunyi: “Kalau PBNU ikut menambang berarti mengkhianati hasil muktamar NU ke-34”.

Baca Juga  “Quo Vadis Ulil?” (4): Kritik Terhadap "Iqtishadiyah"-nya Ulil

Seirama dengan itu, peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Ahmad Rahma Wardhana, selaku penulis Buku Fiqh Energi Terbarukan, menyebut bisnis tambang ormas Nahdlatul Ulama (NU) nantinya hanya akan menghambat transisi energi di Indonesia. Ahmad merupakan salah satu dari 68 warga NU atau Nahdliyin alumni UGM yang menolak pemberian izin tambang atau konsesi kepada ormas keagamaan. Ia berpendapat, bisnis tambang NU akan membuat para pengusaha batubara urung menarik diri dari upaya bersama melanjutkan transisi energi yang dikampanyekan Pemerintah RI sendiri menjelang G-20 lalu.

Paradoks Keberagamaan

Apa yang bisa ditangkap dari fenomena pembusukan skandal konsesi tambang negeri kita, pada dasarnya adalah sebuah kenyataan terjadinya sebuah paradoks keberagamaan. Pertanyaannya, apakah keterlibatan mereka (sebut saja NU, misalnya dan ormas lain) akan mampu meredam kutukan sumber daya alam, sekaligus berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan, terutama di sekitar lokasi proyek pertambangan?

Ini agak sulit dipahami dan dicerna mengingat dari perspektif apapun mengingat lingkaran pertambangan dihuni cukup banyak “pendosa politik” yang justru dikenal agamis dan menyisakan “neraka horizontal” bagi masyarakat adat, masyarakat dan lingkungan sekitar yang telah mendiami lahan tersebut secara turun-temurun. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana bisa menarik benang merah atau korelasi positif antara tingkat kesalehan seseorang dengan perbuatan dosa yang diperbuat?

Jika pesan imperatif dan kritis konstruktif itu tidak ditegakkan di lapangan, tentu memantik sejumlah resource-curse atau paradoks keberlimpahan. Meminjam riset PWYP Knowledge Forum (PKF) yang dilansir Publish What You Pay (PWYP) pada 2020, mengonfirmasi, kekayaan alam yang dieksploitasi masif dengan tujuan memperoleh manfaat bagi segelintir pemodal oligarki acapkali tidak equal dengan dampak negatif ditimbulkan proses eksploitasinya. Simplifikasinya, akan muncul kerusakan alam, lingkungan secara masif, konflik sosial yang berkepanjangan, serta dampak lain yang melingkupinya, tak terkecuali disparitas ekonomi dan keadilan.

Baca Juga  Membela Kelompok Minoritas: Mereka Wajib Nyaleg!

***

Semestinya para elit ormas keagamaan tidak mengemis dan merengek, tetapi bagaimana pengelolaan sumber daya alam ekstraktif itu mampu menekan kutukan sumber daya alam. Atau seharusnya mereka sudah melampaui itu semua dengan memikirkan langkah solutif semisal bagaimana menemukan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan tanpa menimbulkan cost mahal yang mencekik umat, bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan mencetaknya sebagai profesional handal dalam mengelola sektor energi dan langkah-langkah konstruktif-solutif lainnya. Bukan malah menengadahkan tangan sembari berharap belas kasihan penguasa kepada ormas (baca: elit ormas).

Dalam konteks ini, penolakan kritis dan pertimbangan hati-hati dalam menyikapi untuk masuk dunia pertambangan oleh sejumlah ormas keagamaan, sebut saja Muhammadiyah, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan ormas-ormas yang sejalan dengan mereka, patut diapresiasi secara positif.

Setidaknya, masuknya ormas keagamaan ke sektor pertambangan akan mengkooptasi mereka ke dunia ekstraktif yang sarat akan “pendosa politik” yang diternakkan dalam lingkaran kekuasaan. Langkah afirmatif yang digadang-gadang justru beralih bagai api dalam sekam. Sewaktu-waktu penguasa butuh dukungan politik – terlebih berpihak untuk kepentingan oligarki –, dapat “dimainkan” sewaktu-waktu. Kekhawatiran ini cukup beralasan dikarenakan terjeratnya para elit ormas terkait kasus korupsi dan tekan-menekan kasus hukum menjadi bukti untuk itu. Tentu kita tidak menginginkan hal tersebut. Justru kita semua dan masyarakat menginginkan agar peran ormas keagamaan semakin berdaya guna dan memiliki daya endurance (ketahanan) yang kokoh demi kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dan tugas ormas didesain hanya untuk itu.

Editor: Soleh

Avatar
33 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds