Perspektif

Dari Saleh Ritual ke Saleh Sosial Saat Corona

4 Mins read

Meski mengajarkan kita untuk bergerak dari saleh ritual ke saleh sosial, namun corona tetap menjadi momok paling menakutkan di seluruh belahan dunia. Tak pandang bulu, ia menjangkiti siapa pun yang dikehendakinya. Ada yang mampu keluar dari cengkeraman mautnya, juga ada banyak yang meregang nyawa karenanya.

Ia mampu melumpuhkan dunia nyaris dalam sekejap mata. Kota-kota besar di seluruh dunia kini menjadi sunyi, nyaris tak berdenyut, serupa kota-kota mati tak berpenghuni. Lalu-lalang makhluk bernama manusia tak seramai dulu, sebelum Korona menyerang.

Ia juga memporak-porandakan tatanan sosial dan ekonomi yang sudah lama dibangun umat manusia sejak berabad-abad tahun yang lalu. Ia benar-benar mengancam segala lini kehidupan umat manusia. Dengan begitu cepatnya ia menular dari satu jasad ke jasad yang lain.

Salat di Rumah Saat Corona

Untuk memutus mata rantai penularannya, pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang (mungkin) memberatkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Di antaranya, social distancing, physical distancing: jauhi kerumunan, jaga jarak.

Termasuk yang paling ditentang oleh sekelompok orang yang mengaku religius adalah mengosongkan masjid dari salat Jumat, salat jamaah, dzikir, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya yang berpotensi mengumpulkan massa.

Sebagian dari mereka berasumsi bahwa, himbauan meniadakan salat Jumat dan salat jamaah di masjiddan mengosongkannya dari kegiatan-kegiatan lainnya adalah bentuk dari usaha menjauhkan umat dari agama dan Tuhan. Dan ini dipandang sebagai bagian dari rekayasa non-muslim, supaya umat Islam tidak lagi dekat dengan masjid dan Tuhannya.

Sungguh, ini bukan saja pandangan yang keliru dan mengada-ada, tetapi juga sesat lagi menyesatkan. Sulit memang memberikan pemahaman kepada tipe umat yang macam begini. Umat yang ekslusif, juga ngeyel. Mengaku paling benar dari yang lain (truth claim). Sudahlah, biarkan mereka mabuk dengan asumsinya sendiri.

Baca Juga  Sejarah Kelam Politisasi Agama Islam

Padahal bukan itu, sebagaimana mereka asumsikan, niat pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan tersebut. Tetapi semata-mata demi menjaga kesehatan dan keselamatan bersama dari ganasnya korona. Sebab sebagaimana kita mafhum bahwa, ia akan cepat menular jika kita melakakuaknkontak dengan orang lain atau berdekatan, terlebih lagi di kerumunan.

Corona tidak mau tahu, apakah kita sedang salat jumat, berjamaah, atau berdzikir dan mengikuti tabligh akbar, tidak. Semua tak berbeda di hadapannya, kita punya potensi yang sama dijangkitinya. Kecuali di antara kita yang mematuhi aturan dan standar kesehatan pemerintah, mungkin potensinya lebih kecil.

Sebagian yang lain (mungkin) merasa  tidak punya kesempatan besar lagi beribadah dan melakukan kesalehan kepada Tuhan, jika harus meniadakan salat jumat dan mengosongkan masjid dari kegiatan-kegiaatan kegamaan. Saya ber-husnudzan saja (positive thinking) pada mereka. Padahal beribadah tidak melulu harus di masjid dan soal tahlilan, melainkan di tempat lain dan dengan bentuk ibadah yang lain juga bisa.

Saleh Ritual ke Saleh Sosial

Istilah “saleh ritual, saleh sosial” ini dipopulerkan Gus Mus melalui bukunya “Saleh Ritual, Saleh Sosial: Kulitas Iman, Kualitas Ibadah, Kualitas Akhlak Sosial, Diva Press, (Yogyakarta: 2016). Hari ini saya ingin meminjam istilah ini, karena kontekstualisasi kedua istilah ini terasa amat penting di tengah wabah corona. Juga terkait paniknya sebagian umat Islam atas imbauan ditiadakannya salat Jumat dan jamaah di masjid beserta ritual-ritual keagamaan lainnya yang berbasis massa.

Sebagaimana kita mafhum bahwa, saleh ritual adalah ibadah atau penghambaan kepada Tuhan yang bersifat mahdhah (bersentuhan langsung dengan Tuhan) dan seremonial. Seperti halnya salat, wiridan, dzikiran, yasinan, tahlilan dan ritual-ritual keagamaan lainnya.

Dan di tengah wabah corona ini, tidak ada seorang pun yang melarang kita melaksanakan ibadah atau kasalehan ritual ini, termasuk pemerintah. Kita tidak usah panik dan tidak sepantasnya menuduh yang lain tipis iman dan tak bertakwa. Justru kita belajar untuk melakukan semua jenis kesalehan, dari saleh ritual ke saleh sosial.

Baca Juga  Buya Syafi'i Ma'arif Guru Bangsa

Kita bebas beribadah dan melakukan kasalehan ritual semacam salat dan wiridan sepanjang tidak di tempat kerumunan dan tempat yang berpotensi mendatangkan massa, sebagaimana masjid. Karena hal itu akan berpotensi lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat, yaitu penularan korona dengan begitu cepatnya.

Celakanya, kita beranggapan hanyalah salat, wiridan, yasinan dan tahlilan yang disebut kesalehan. Padahal di samping ada kesalehan ritual, juga ada kesalehan sosial, yang dalam teks keagamaan acapkali disebut hablum min an-nas(hubungan antar manusia). Kesalehan sosial ini lah yang acapkali luput dari amatan kita selama ini. Padahal ini tidak kalah urgennya dibandingkan kesalehan ritual yang kita idamkan itu.

Saleh sosial adalah kesalehan atau ibadah yang berkaitan langsung dengan kepentingan umat manusia. Dalam kesalehan sosial ini sarat akan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Contoh paling kongkrit adalah membantu sesama dalam hal kebaikan.

Kesalehan Tak Terpisahkan

Saleh ritual dan saleh sosial adalah satu kesatuan, tak terpisahkan, ibarat dua mata uang. Sebab menurut Gus Mus, kesalehan dalam Islam hanya satu, yaitu kesalehan muttaqi (hamba yang bertakwa), atau dengan istilah lain, mukmin yang beramal saleh. Kesalehan yang mencakup sekaligus ritual dan sosial.

Jika saleh secara ritual, maka juga harus saleh secara sosial. Saleh secara sosial adalah konsekuensi dari saleh secara ritual. Jika salatmu baik, maka ia akan mencegahmu dari kemungkaran. “Inna as-shalata tanhaanil fahsyai wal mungkar.” Begitulah pesan Tuhan pada kita.

Nah, bagi kita yang merasa pahala ibadahnya (ritual) terancam berkurang disebabkan adanya imbauan ditiadakannya salat Jumaat dan jamaah di masjid dan ritual-ritual lainnya, maka kesalehan sosial bisa menjadi oase di tengah hausnya kita akan pahala dan harapan masuk surga.

Baca Juga  Menyoal Kemuhammadiyahan UAH

Dalam konteks mewabahnya corona, saleh sosial itu bisa kita terjemahkan ke dalam saling membantu dan turun tangan dalam melawan corona guna memutus mata rantai penyebarannya. Di antaranya dengan mematuhi himbauan pemerintah yang berupa social dan pyshical distancing dengan berdiam diri di rumah, hindari keramaian dan kerumunan, termasuk tiadakan dulu salat Jumaat dan salat jamaah di masjid.

Jika mampu, bantulah tetangga dan sanak saudaramu meski dengan sehelai masker atau sebotol hand sanitizer, guna menjauhkannya dari jaungkauan korona. Tetapi jika tidak, cukup membantu pemerintah mengedukasi publik ihwal corona. Mengingat masih banyak publik kita di akar rumput yang awam akan hal itu.

Jadi kita tidak boleh berkecil hati dan takut pahala berkurang, sehingga harapan masuk surga menjadi buyar karena tidak salat Jumat, berjamaah di masjid atau pengajian akbar. Karena dengan menaati himbauan pemerintah berarti kita telah melakukan kesalehan sosial yang pahalanya (mungkin) sama atau malah lebih besar dari sekadar kesalehan ritual.

***

Tetapi untuk ihwal pahala dan surga kita tidak perlu risau bin galau, karena ini menjadi hak prerogatif Tuhan. Tak ada yang boleh menggugatnya. Jangan sok ngatur-ngatur Tuhan, apalagi merasa paling pantas masuk surganya ketimbang yang lain.

Tugas kita hanyalah berikhtiar dan menghamba kepadanya dengan cara apapun, di manapun dan kapanpun, baik saleh ritual atau pun saleh sosial. Gotong-royong dalam kebaikan adalah amanat Tuhan kepada kita melalui firmannya “wa ta’awanu ala al-birri wa at-taqwa.”

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Direktur Eksekutif di Lembaga Kajian Islam Progresif (LKiP) Madura Raya, Alumnus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk, Madura.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds