Tafsir

Darwis Abu Ubaidah dan Kitab Tafsir Al-Asas

3 Mins read

Latar Belakang Penulisan Kitab

Alasan Darwis Abu Ubaidah dalam menulis kitab tafsirnya adalah murni keinginannya sendiri yang diambil dari pengalaman empiris Darwis sebagai dai ketika masih beranjak di bangku Sekolah Menengah Pertama. Darwis lebih memilih sebuah metode “tafsir” karena pada saat itu masyarakat anti dengan hal-hal yang berbau aqidah, maka disusunlah sebuah tafsir Al-Asas yang lebih “lues” dan mengena.

Mengenai asal-usul namanya, Darwis memberi nama karya tafsirnya dengan judul “Tafsir Al-Asas”. Secara bahasa Al-Asas adalah dasar atau sendi, juga berarti pondasi, yang dengannya sebuah bagunan akan berdiri dan tegak. Di dalam menyusun kitab tafsir ini Darwis sangat berhati-hati dalam memilih ayat dan memasukkan dalam karyanya. Hal ini dilakukan oleh Darwis untuk menghindari sifat “subjektivitas” dari penulis walaupun hal itu tidak bisa dihindari. (Tafsir Al-Asas, 2012, h. 7)

Biografi Darwis Abu Ubaidah

Darwis bin Abdur Razaq atau lebih populer dengan panggilan Darwis Abu Ubaidah merupakan pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rahmah dan Al-Jami’yatul Husna Desa Sekijang, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Riau. Lahir pada Rabu 25 Februari 1966, dari pasangan H. Abdur Razaq dan Hj. Musni di Sekijang, sebuah desa kecil dan bersahaja, berjarak kurang lebih 150 km dari kota Pekanbaru Riau.

Pendidikan yang ditempuh oleh Darwis sebagai berikut; Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib pada tahun 1982-1987. Setelah itu melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kuok pada tahun 1986. Setelah menamatkan sekolah di MTSN Kuok kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri Pekanbaru pada tahun 1989.

Usai menamatkan sekolahnya, beliau merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Dakwah Islam (LPDI) Jakarta pada tahun 1989-1990. Pada tahun yang sama, ia juga belajar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, dengan mengambil program bahasa.

Baca Juga  Repetisi Ayat dalam Al-Qur'an (1): Pengertian, Pendapat Para Ulama dan Ragamnya

Kemudian melanjutkan pendidikan strata satu di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta. Ia berhasil menyelesaikan strata satu pada tahun 1999 Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin. Kemudian pendidikan strata dua dilanjutkan di Universitas Islam 45 (UNISMA) lulus pada tahun 2009 Program Magister Manajemen Islam. Kemudian melanjutkan pendidikan strata tiga di Universitas Ibn Khaldun Bogor lulus pada tahun 2013.

Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Al-Asas

Berikut penulis sedikit uraikan sistematika penulisan yang digunakan Darwis dalam menyusun kitab tafsir Al-Asas. Pertama, pembahasan kitab ini terdiri dari tiga belas bagian, lalu diakhiri dengan penutup. Kedua, tiap-tiap bagian terdiri dari beberapa poin, dan pada tiap poin mengandung sub-sub bahasan yang memberikan penjabaran atau penjelasan terhadap penyampaian materi yang dimaksud.

Sumber, Metode, dan Corak Penafsirannya

Berkaitan dengan sumber-sumber penafsiran di dalam kitab Al-Asas. Darwis menggunakan sumber bil-iqtirani, yaitu memadukan antara sumber bi al-ma’tsur dan sumber bi al-ra’y. Di antaranya yaitu; Al-Qur’an, Hadis, perkataan Sahabat, dan tafsir Tabi’in.

Berdasarkan metodologi tafsir, Tafsir Al-Asas termasuk dalam golongan tafsir bi al-iqtirani jika dilihat dari sumber penafsirannya. Karena dalam penafsirannya ia menggunakan perpaduan antara sumber riwayat tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’y.

Kemudian corak penafsiran dalam kitab tafsir Al-Asas bisa diketahui ketika Dawis banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan corak fiqhi. Corak fiqhi merupakan corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan-pembahasan fiqih atau tafsir yang berorientasi dengan ayat-ayat hukum. (Memahami al-Qur’an perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin, 18)

Contoh Penafsirannya

Ketika membahas “puasa dan beriktikaf” dalam surah al-Baqarah 183-187, pada bagian wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa apakah menqadha (puasa dengan puasa) atau dengan membayar fidyah. (Tafsir Al-Asas, 223) Mengenai hal tersebut di dalam penjelasan hadis Rasulullah tidak ditemukan, namun hadis yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil atau menyusui dibebaskan dari puasa.

Baca Juga  Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

Para ulama masih berbeda pendapat dalam penetapan hukum apa yang seharusnya dilakukan oleh perempuan tersebut, apakah cukup dengan mengqadhakan saja, membayar fidyah saja, atau dengan cara mengqadha dan membayar fidyah sekaligus.

Darwis memaparkan perbedaan hukum yang tidak dijelaskan oleh Nabi, perbedaan tersebut antara lain; Pertama, Qadha dan fidyah. Merujuk kepada Imam Sufyan, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Hanya Imam Malik yang mengatakan untuk perempuan yang hamil, hanya meng-qadha saja.

Kedua, Qadha saja. Pendapat ini merujuk kepada Abu Ubaid, Abu Tsur, Ad-Dhahak, Rabi’ah, Hasan Basry, Atha’, An-Nakha’i, Az-Zuhri, At-Tsauri dan Ibnu Mundzir. Ketiga, Fidyah saja. Ini pendapatnya Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Qais bin Saib, Abu Hurairah dan Abu Dawud.

Berdasarkan dari penjelasan di atas Darwis berpendapat, bahwa demi menjaga kehati-hatian maka ia memilih pendapat yang lebih adil, yaitu qadha saja atau fidyah saja, dengan maksud sebagai berikut:

Pertama, qadha saja dengan dasar: diqiyaskan kepada orang yang sakit, yang masih diharapkan kesembuhannya dan orang musafir yang diharapkan kembalinya. Kedua, fidyah saja. Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah berusaha untuk mengqadha puasanya pada hari-hari yang lain, telah mereka coba dengan baik, ternyata tidak memungkinkan juga, apakah karena anaknya yang tidak kuat atau karena kemampuanya yang tidak ada, maka pilihan terakhir adalah membayar fidyah.

Editor: Soleh

Hazmi Ihkamuddin
4 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *