Perspektif

Dasar-dasar Kreativitas dalam Islam yang Perlu Dipahami

3 Mins read

Pada artikel sebelumnya, penulis pernah mengutip pendapat al-Karasneh dan Jubran (2021) dalam Islamic Perspective of Creativity terkait pentingnya kajian tentang kreativitas dalam konstelasi pemikiran keislaman. Kedua peneliti ini pernah menjelaskan  bahwa tinjauan literatur hasil penelitian menunjukkan bahwa kreativitas memiliki dasar-dasar yang kuat dalam Al-Qur’an.

Di samping itu, penulis lain melihat masalah ini dari perspektif historis. Perspektif historis menyelidiki orang-orang Muslim yang kreatif pada tahun-tahun awal Islam. Perspektif lainnya adalah mempelajari masalah ini dari perspektif Barat tanpa memberikan membedakan fitur-fitur Islam. Corak penelitian akhirnya menyajikan warna lain dari ragam hasil kajian.

Teori dan pengembangan kreativitas memang banyak dikaji oleh pemikir Barat. Namun, ada satu hal yang dapat dijadikan landasan yaitu Islam telah mendorong manusia untuk menggunakan akal agar mereka kreatif dalam membangun peradaban.

Dasar-dasar Kreativitas dalam Islam

Terkait hal ini, ada pertanyaan yang bisa diperhatikan, yaitu apa saja dasar-dasar kreativitas dalam Islam seiring dengan asumsi bahwa Islam mendorong manusia untuk kreatif? Dengan menjadikan Islam sebagai sumber utama pemikiran, kreativitas dalam perspektif ini akan memiliki beberapa dasar dari sumber-sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw.

Keikhlasan

Kreativitas dalam Islam harus karena Allah. Semua perbuatan umat Islam akan menjadi ibadah, jika dilakukan dengan tulus. Para cendekiawan Muslim yang kreatif harus menyadari niat mereka dalam mempraktikkan kreativitas. Mereka merasa bahwa melakukan hal ini untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk memenuhi tugas mereka sebagai khalifah di bumi. Mereka juga harus berniat untuk meningkatkan pengetahuan dan memperkuat hubungan dengan Allah dengan mencari kebenaran.

Kesesuaian dengan Syariah

Pembentukan kreativitas dalam pemikiran Islam mengikuti pedoman Islam. Pedoman tersebut menjamin bahwa “produk kreatif tidak tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau dasar-dasar Islam.” Hal ini disinggung oleh al-Mazeeidi (1993) dalam An Introduction to the Methodology of Creativity: An Islamic Point of View. Semua produk kreatif harus sesuai dengan syariah Islam.

Baca Juga  5 Cara Wujudkan Kerja Sama Internasional Dunia Islam

Kemaslahatan

Hasil kreativitas harus bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Mereka harus membawa kebaikan bagi masyarakat atau setidaknya mengurangi keburukan di dalamnya. Islam tidak mengakui produk kreatif apa pun yang yang memiliki pengaruh negatif terhadap masyarakat atau membahayakan umatnya.

Penggunaan Sarana yang Sah

Kreativitas dalam Islam tidak memperbolehkan penggunaan cara-cara yang tidak sah untuk menciptakan sesuatu, meskipun itu untuk kebaikan masyarakat. Semua cara atau prosedur yang digunakan dalam proses kreatif harus diakui dalam Islam.

Sistem Etika dan Moral

Kreativitas dalam Islam memiliki landasan moral. Semua produk kreatif pun harus didasarkan pada sistem etika dan moral Islam. Ini berarti bahwa apa pun yang akan dibuat harus harus dapat diterima secara etis. Selain itu, orang-orang kreatif harus menampilkan sifat-sifat Islam seperti kesederhanaan dan kerendahan hati. Dengan memiliki sifat-sifat seperti itu, dan mengetahui mengetahui bahwa kreativitas itu tanpa batas, para cendekiawan muslim yang kreatif akan dapat menciptakan lebih banyak dan lebih banyak lagi. Hal ini juga akan meningkatkan peran sebagai model atau contoh bagi orang lain untuk menjadi kreatif dengan cara yang sama.

Penolakan terhadap Peniruan

Peniruan adalah antitesis dari kreativitas, atau sebagai penghalang kreativitas. Hal ini dapat diperhatikan dalam Al-Qur’an. Allah Swt menyebutkan orang-orang negatif yang hanya meniru orang-orang sebelum mereka dalam menyembah selain Dia. Al-Qur ‘an menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim AS ketika berbicara kepada kaumnya, “(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menjadi para penyembahnya” Dia (Ibrahim) berkata, “Sungguh, kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Anbiya: 52-54).

Baca Juga  Perjanjian Najran dan Perang Khaibar: Bukti Rasulullah Menjamin Hak Non Muslim dalam Bernegara

Ini adalah pernyataan umum tentang orang-orang kafir yang tidak berpikir dengan bijak atau menggunakan kemampuan intelektual dan indera mereka untuk mencari kebenaran. Dalam ayat lain disebutkan: ” Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti sesuatu yang Allah turunkan dan (mengikuti) Rasul,” mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (QS. al-Ma’idah: 104).

Ijtihad

Ijtihad merupakan upaya keras dalam mencari solusi untuk sesuatu yang tidak disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an atau sunnah. Ijtihad merupakan metodologi yang telah diakui oleh para ulama. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (QS. an-Nisa: 59)

Dalam hal ini, mengembalikan masalah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah untuk kepentingan ijtihad dalam rangka mendapatkan solusi untuk situasi yang baru. Hal ini dianggap sebagai metodologi yang baik untuk meningkatkan kreativitas di kalangan umat Islam.

Dengan cara yang sama, Nabi Saw mendorong orang-orang yang cakap untuk berinovasi dan memastikan bahwa pendapat mereka didasarkan pada dasar-dasar Islam. Beliau menyatakan bahwa: “Jika seorang melakukan ijtihad dengan benar, dia akan mendapatkan dua pahala dan jika dia salah, dia akan mendapatkan satu pahala.” (HR. al-Bukhari). Keduanya diberi pahala karena mereka berusaha untuk kebenaran.

Baca Juga  Posisi Akal dan Wahyu: antara Imam Al-Ghazali & Harun Nasution

Editor: Soleh

Avatar
38 posts

About author
Pembelajar Keislaman, Penulis Beberapa buku, Tim Pengembang Kurikulum PAI dan Diktis
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds