Penghargaan kita terhadap keberagaman terasa masih sangat minim. Bahkan yang lebih parah, perilaku kita kadang ‘terkesan’ risih dengan perbedaan. Alih-alih menjaganya, kita malah memusushinya. Kita mudah menaruh curiga dan prasangka terhadap mereka yang berbeda. Padahal kalau kita menyadari, rasa curiga dan prasangka itu adalah penyakit. Penyakit bagi keberagaman dan keutuhan kita. Sebab hal itulah yang menjadikan hubungan kita tidak harmonis dan selalu saling menatap dengan sinis.
Kita melihat beberapa perilaku yang merusak keberagaman kita. Hal itu di antaranya penyerangan terhadap mereka yang tidak mengambil pilihan yang sama dengan kita. Ambillah Ahmadiyah sebagai contoh. Di bumi pertiwi, cukup banyak berita mengenai tindakan diskriminasi terhadap kelompok ini. Rumah mereka dan tempat ritual mereka dihancurkan. Menjadi Ahmadiyah seakan sebuah aib. Karenanya siapa pun yang menjadi Ahmadiyah, maka bersiaplah untuk menjadi sosok yang “terancam”. Sebegitu menyeramkannya menjadi seorang Ahmadiyah di Indonesia.
Di tengah-tengah penyerangan terhadap Ahmadiyah itu, muncul seorang cendekiawan muslim untuk membela mereka dan hak-hak mereka. Cendekiawan muslim itu bernama Dawam Rahardjo. Ia adalah cendekiawan yang begitu getol dalam membela Ahmadiyah, bahkan hingga akhir hayatnya. Ia membela Ahmadiyah di saat cendekiawan muslim lainnya memilih bungkam dan beberapa ulama memberikan legitimasi atas penyerangan tersebut.
Perjalanan Intelektual Dawam Rahardjo
Dawam dikenal sebagai cendekiawan multidimensi. Pasalnya, selain dikenal sebagai pemikir Islam, ia juga dikenal sebagai seorang ekonom, sarjana sosial, budayawan dan pegiat LSM. Dawam lahir di Solo pada 20 April 1946. Mendapatkan gelar sarjananya dari Universitas Gajah Madha tahun 1969 pada Fakultas Ekonomi. Kemudian pada tahun 2000 mendapat penghargaan gelar Doctor Honoris Causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas sumbangsinya di bidang pemikiran ekonomi Islam (Wardani: 2017).
Dawam merupakan Guru Besar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang dan pernah menjadi Rektor Universitas 45 Bekasi. Selain itu, Dawam juga pernah memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya ialah menjadi Direktur LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekomoni Sosial), Ketua LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) periode 2015-2020, dan masih banyak lagi jabatan lainnya.
Semasa hidupnya, Dawam dikenal sebagai penulis yang produktif dan telah melahirkan beberapa karya. Di antaranya ialah: Esai-Esai Ekonomi Politik (1983), Pertumbuhan Ekonomi dan Krisis (1987), Deklarasi Mekah: Menuju Ekonomi Islam (1991), Etika dan Ekonomi Manajemen (1990), Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (1999), Arsitektur Ekonomi Islam (2015), dan juga Ensiklopedi Al-Qur’an (2000).
Dibenci Karena Mengawal Pluralisme
Satu hal yang selalu terbayang di benak saya ketika mendengar nama M. Dawam Rahardjo; pengawal pluralisme sejati dan penganjur kebebasan berpikir. Konsistensinya dalam mengawal pluralisme membuatnya dibenci banyak orang, khusususnya oleh kalangan Islam konservatif.
Ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme, Dawam adalah orang yang berada di garda terdepan dalam menentangnya. Karena bagi Dawam, pengharaman pluralisme sama saja dengan melarang kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Untuk negara seperti Indonesia, mengamalkan pluralisme adalah niscaya. Sebab, pluralisme bukan hanya sekadar mengetahui dan menyadari akan kondisi yang plural, tapi lebih jauh dari itu, pluralisme menginginkan agar setiap orang atau kelompok yang berbeda bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan. Mengamalkan pluralisme akan menimimalisir terjadinya konflik dan beragam tindakan intoleransi. Sebaliknya, mengabaikan pluralisme hanya akan membuat kemajemukan yang seharusnya dijaga menjadi terancam.
Adapun terkait kebebasan berpikir, Dawam adalah orang yang betul-betul mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. Dalam banyak kesempatan, ia adalah orang yang paling tidak setuju jika ada pikiran dibungkam. Hamid Basyaib, mantan Kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Solo, menceritakan tentang hal ini. Ketika mereka sama-sama bekerja di koran Republika, Hamid mendapat tekanan dari beberapa ormas Islam atas tulisannya mengenai meninggalnya penyanyi Nike Ardilla. Saat itu, Dawam membelanya dan mengatakan kepadanya, “Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi hak Anda untuk mengungkapkan pendapat itu akan saya bela sampai mati.”
Menemani Ahmadiyah Hingga Akhir Hayat
Sebelum Ahmad Najib Burhani (cendekiawan muda Muhammadiyah), sosok yang saya kenal begitu teguh dalam membela dan menemani Ahmadiyah adalah M. Dawan Rahardjo. Saya mendengar cerita ini dari ayah saya saat SMA. Ayah saya mengatakan kalau Dawam Rahrdjo adalah orang yang “dikeluarkan” dari Muhammadiyah karena terlalu sering membela Ahmadiyah. Dan sebenarnya bukan hanya Ahmadiyah yang sering dibela Dawam, tapi juga kelompok minoritas lainnya seperti Lia Edan, Syiah, dan Kristen.
Saat MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah dan Lia Edan, Dawam membantahnya dan mengatakan kalau mereka tidak sesat. Karena mereka, terang Dawam, dengan jelas mengatakan bahwa mereka bukan bagian dari Islam. Sebuah sikap yang berani. Dan begitulah Dawam. Ia tidak akan berhenti memperjuangkan apa yang diyakininya benar, kendatipun harus membuatnya bertentangan arus utama umat Islam.
Atas kiprahnya yang itu, tidak heran jika saat ia meninggal pada tahun 2018 kemarin, jema’ah Ahmadiyah adalah salah satu di antara kalangan yang merasa sangat kehilangan. Mereka kehilangan pembelanya. Kandali Achmad Lubis, Sekretaris Bidang Luar Negeri JAI (Jemaah Ahmadiyah Indonesia) mengatakan, “Kita benar-benar kehilangan seorang putra bangsa yang selalu menjunjung tinggi sikap toleransi dalam perbedaan.”
Berkat jasanya dalam memperjungkan nilai-nilai pluralisme itu, Dawam pada tahun 2013 akhirnya mendapat penghargaan Yap Thiam Hien.
Editor: Yahya FR