Kita tahu, Muhammad Arkoun adalah salah satu tokoh sarjana muslim yang banyak mempengaruhi diskursus atau wacana Islam kontemporer. Ia adalah sarjana muslim yang berasal dari Al-Jazair, tetapi kemudian tinggal dan mengajar di Sorbonne Prancis sampai meninggal.
Muhammad Arkoun tentu saja memang tokoh dan pemikir yang kontroversial di Timur Tengah dan di dunia Islam. Ia dikenal khalayak karena mengenalkan teori tentang “dekonstruksi” atau penerapan teori dekonstruksi yang berasal dari filsafat postmodernisme di Perancis dalam studi Islam.
Bagaimana Praktek Dekonstruksi Islam Arkoun?
Lalu bagaimana praktek dekonstruksi Muhammad Arkoun di dalam mengkaji Islam? Menurut Arkoun, Islam sebagai peradaban, sejarah, dan ajaran sebetulnya berjalan dengan melalui tahapan-tahapan. Setiap tahapan dibentuk dan ditandai oleh satu cara berpikir tertentu yang disebut dengan “episteme”. Adalah sebuah bahasa yang dipakai oleh Michel Foucault (tokoh sekaligus filsuf Prancis dan kritikus sastra).
Dalam hal ini, ketika zaman berubah, maka episteme juga berubah. Itu artinya, kalau kita mau memahami suatu praktek tahapan sejarah, maka kita harus memahami episteme. Dan, episteme dalam perjalanannya mengalami perpotongan-perpotongan. Jelasnya, jika zaman berubah, maka terpotonglah episteme lama dan muncul episteme yang baru, dan begitu seterusnya. Ia ibarat lapisan-lapisan yang setiap lapisannya selalu ada warna baru.
Demikian juga, sekiranya kita memahami suatu ajaran dan sejarah dalam agama. Kita tidak akan bisa melepaskan diri dari episteme. Praktek dan pemikiran suatu agama (kultur keagamaan) juga tidak bisa dipisahkan dari episteme.
Sebuah Kritik Atas Ortodoksi
Yang menjadi masalah, kata Arkoun, kalau kita menganggap bahwa sejarah itu tidak terkait dengan episteme, maka sejarah itu adalah sesuatu yang sifatnya non historis. Sejarah agama misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang supra historis, dalam pengertian agama dipraktekkan tanpa melihat dan tanpa terkait dengan episteme yang berkembang pada zaman itu.
Beginilah cara pandang kelompok-kelompok agama fundamentalis. Mereka memandang agama sebagai kategori yang supra historis. Kata mereka, sejarah itu tidak mempengaruhi apa-apa, praktek agama, pemikiran agama, peradaban agama, termasuk agama Islam murni dibentuk oleh doktrin, dan doktrin itu berasal dari Tuhan, Tuhan itu mengatasi sejarah sehingga agama itu tidak mengenal sejarah (ekstra dan supra historis).
Atas dasar ini, Arkoun kemudian mengenalkan teori dekonstruksi, yang tentu saja secara tidak langsung juga dikenal dengan teori mengenai kritik keras terhadap ortodoksi Islam. Ia mencoba mengkritik cara-cara pandang keagamaan yang berkembang di dalam Islam yang anti sejarah.
Dan kita tahu bahwa kecenderungan kelompok-kelompok fundamentalis Islam mempunyai ciri khas yaitu, pemikiran yang anti historis (anti sejarah). Baginya, sejarah itu seolah-olah tidak ada, Islam sejak zaman Nabi sampai sekarang itu sama, kalaupun tidak sama harus diubah supaya sama dengan zaman Nabi.
Teori Episteme Arkoun
Namun, yang demikian ini bagi Arkoun sangat tidak tepat. Hingga akhirnya Arkoun mengkritik tendensi pemikiran semacam ini dengan mengenalkan teori episteme. Bahwa masing-masing zaman mempunyai episteme-nya sendiri, dan praktek keagamaan tentu saja dipengaruhi oleh episteme.
Jelasnya, pemikiran Arkoun ini sebetulnya mengenalkan suatu pemikiran yang dinamis dan progresif. Artinya, bagi Arkoun pemikiran dan pemahaman itu harus maju sesuai dengan zaman yang episteme-nya juga bergerak secara terus-menerus. Episteme zaman modern berbeda dengan episteme zaman pertengahan. Ringkasnya, sekiranya kita memahami Islam dilepaskan dari episteme yang sekarang, sudah pasti sangat berbahaya. Ini sebenarnya inti pemikiran Muhammad Arkoun yang berharga.
Masih tentang Muhammad Arkoun. Rupa-rupanya metodologi dam pendekatan yang dilakukan oleh Arkoun, sedikit banyak telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada. Yaitu tradisi pemikiran budaya Timur Tengah Kuno yang memiliki tempat khusus di dalam pemikiran Yunani, dan tradisi pemikiran monoteisme yang dibawa oleh para Nabi. Sehingga, Arkoun mengemukakan bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingintahuannya secara modern. Karena metodologi ini nilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mistis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama.
Dengan demikian, menurut Arkoun, saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah, bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mistis dengan perspektif epistemologis yang baru. Dan, tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru di bidang studi perbandingan terhadap budaya melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai produk sosial sejarah.
Ini yang menjadi penyebab Arkoun kemudian mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis dengan tidak menghilangkan betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis. Dan pendekatan yang dilakukan oleh Arkoun ini bertujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan dalam Islam.
Metode Arkoun ini disebut sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Dan strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. Dengan demikian, nalar kritis seseorang harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang mengikat, membatasi kebebasan dan memenjarakannya. Terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani.
Syahda, di dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang dianggap Arkoun memiliki otoritas. Sebab hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam dan mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam bahasa lain, agar kita dapat mengartikulasi visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa memberikan pada komunitas. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Soleh