Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read

Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas menggali literatur hukum Islam pra-modern untuk menerangkan parameter semantik dan legal dari istilah ini. Dalam literatur populer maupun ilmiah, jihad umumnya diasumsikan sebagai konsep monovalen dalam arti “peperangan bersenjata/ militer”, sebagaimana pengertian yang dominan dalam literatur hukum dan pemerintahan pada abad ke-2 H/ 8 M.

Setidaknya asumsi ini menopang pembahasan mengenai jihad sebagai istilah dengan makna universal yang hampir baku dan terceraikan dari ragam konteks sosio-politik yang mengemuka dari waktu ke waktu. Jika dirunut ke belakang, asal-usul kata jihad beserta penggunaannya jauh dari kesan militeristik/ peperangan fisik. Sabda Nabi SAW yang paling masyhur mengatakan bahwa makna jihad yang sesungguhnya adalah mengendalikan hawa nafsu. Itulah jihad yang paling akbar.

Jika mengacu pada hadis Nabi tersebut, kita akan menangkap pesan kuat bahwa sesungguhnya makna jihad lebih kepada perjuangan spiritual tentang bagaimana seseorang mampu mengontrol dirinya dan meninggalkan keakuannya. Kesan kuat itu semakin menemukan titik relevansinya di era modern ini. Berbagai ketegangan global dan lokal dimulai dari persoalan pengendalian diri. Seandainya masing-masing orang atau bangsa menyadari akan hal itu, mustahil bagi mereka untuk saling memerangi, membunuh, dan saling menghabisi satu sama lain.

***

Oleh karenanya, ekspansi Islam di masa awal sama sekali tidak dimulai dengan kekerasan. Sebaliknya, Islam dimulai sekaligus dideklarasikan sebagai proklamasi damai tentang ajaran Tauhid, sebuah ajaran yang menitikberatkan tentang keesaan Tuhan yang mutlak Muhammad (sekitar tahun 610 M) di kota Mekkah yang didominasi oleh kaum pagan.

Surah-surah (bab-bab) awal Al-Quran juga menyatakan pesan dasar ini: “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah, Yang Kekal. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” (Q.S. al-Ikhlas [112]: 1-4). Awalnya, Nabi Muhammad diperintahkan untuk sekadar menyampaikan pesan ini kepada keluarga terdekat dan sahabat karibnya, bersama dengan sejumlah orang buangan sosial dan budak, membentuk komunitas Muslim asli.

Baca Juga  Mengapa Agama Mudah untuk Dipolitisasi?

Dalam rentang beberapa tahun, Nabi dan para pengikutnya mendapati diri mereka semakin dianiaya karena keyakinan mereka oleh para elit Quraisy (suku yang mendominasi Mekkah) tentang ajaran baru yang kelak disebut agama Islam. Kemudian, pada suatu waktu Nabi mendapat perintah untuk berhijrah dan menyebarkan dakwah Islam di antara para anggota suku oasis Yatsrib, sekitar 150 mil di utara Mekkah, yang kelak Islam berkembang pesat di daerah ini. Pada tahun 622, ia bersama dengan umat Muslim lainnya berhijrah ke oasis ini, yang kemudian disebut Madinah.

***

Sejarah umat Muslim dimulai dengan hijrah—hijrahnya Muhammad ke Madinah (meskipun masih ada masalah besar yang belum terselesaikan terkait historisitas peristiwa yang diceritakan di bawah ini mengenai kehidupan Nabi Muhammad dan penaklukan pertama). Madinah bukanlah kota dalam pengertian konvensional, melainkan kumpulan desa dan benteng kecil yang tersebar di oasis tersebut, yang secara politik terbagi di antara dua suku Arab pagan—Aws dan Khazraj—dan tiga suku Yahudi yang lebih kecil: Banu Qaynuqa, Banu al-Nadir, dan Banu Qurayza. Nabi Muhammad dan umat Muslim mendirikan komunitas mereka di Madinah, dan selama kurun waktu lima tahun mereka “mengonversi” agama suku Arab yang menduduki wilayah tersebut.

Dalam konteks inilah jihad muncul, dan kampanye untuk mendapatkan pengikut dan menguasai wilayah menjadi fokus aktivitas komunitas tersebut selama sembilan tahun terakhir kehidupan Nabi. Setidaknya Nabi Muhammad tercatat telah berpartisipasi dalam setidaknya 27 kampanye (peperangan) dan menugaskan sekitar 59 lainnya—rata-rata tidak kurang dari sembilan kampanye setiap tahunnya.

Kampanye-kampanye atau peperangan ini dapat dibagi menjadi empat kelompok: pertama, Lima pertempuran “tematik” Badar (624), Uhud (625), Khandaq (627), Mekkah (630) dan Hunayn (630), yang dilakukan dengan tujuan mendominasi tiga wilayah pemukiman utama di Hijaz: Mekkah, Madinah, dan al-Taif. Kedua, serangan terhadap suku Baduy, yang dilakukan untuk memaksa suku lokal untuk mendukung—atau setidaknya tidak menyerang—kaum Muslim. Ketiga, serangan terhadap suku-suku Yahudi untuk mengamankan oasis tempat mereka tinggal. Keempat, dua serangan terhadap Bizantium di al-Muta (629) dan Tabuk (631) dan kampanye yang dipimpin oleh Usama b. Zayd (632) melawan Syria, yang meskipun kurang berhasil, menandai dimulainya penaklukan Muslim pada tahun-tahun setelah wafatnya Nabi pada tahun 632.

Baca Juga  QS Al-Baqarah 183: Cara Meraih Predikat Takwa

***

Perlu dipertegas, peperangan di atas sama sekali bukanlah atas inisiatif Nabi Muhammad sendiri, melainkan dipicu oleh kelompok kafir Quraisy dan bangsa Arab lain sehingga peperangan yang dilakukan oleh Nabi dan kelompok Muslim saat itu tidak lebih hanya sekadar mempertahankan agama dan eksistensi kemanusiaan. Tidak untuk saling membunuh dan menghabisi. Bahkan, Nabi telah membuat semacam norma (SOP) aturan yang rigid untuk mencegah lebih banyak korban jiwa dengan melimitasi wilayah geografis arena peperangan, tidak boleh merusak sumber mata air dan infrastruktur publik, jaminan perlindungan kepada orang rentan, kaum minoritas, wanita, lansia adalah mutlak, dan aturan-aturan lainnya.

Di samping itu, prinsip Nabi – sekaligus ajaran Islam yang dibawanya – selama bisa diselesaikan dengan perdamaian dan kemanusiaan, itu lebih baik dan lebih utama daripada peperangan fisik/ militer. Inilah yang perlu menjadi renungan kita bersama sebagai Muslim dalam menyikapi berbagai persoalan dalam kehidupan ini.

Editor: Soleh

Avatar
32 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Tafsir

QS Al-Waqi'ah Ayat 75-77: Allah Bersumpah Atas Ciptaannya

3 Mins read
Keindahan gaya bahasa Al-Qur’an telah menarik perhatian para ulama sepanjang masa. Hampir tidak ada satupun segi kebahasaan Al-Qur’an yang luput dari pembahasan…
Tafsir

QS Al-'Ankabut Ayat 46: Landasan Dialog Lintas Agama

4 Mins read
Di Indonesia, dialog lintas agama telah menjadi solusi yang cukup efektif di samping upaya-upaya pemerintah dalam menangani isu-isu antarumat beragama. Dialog lintas…
Tafsir

Makna Istiwa' dalam Ta'wil Mutawalli asy-Sya'rawi

3 Mins read
Kecenderungan menyimpang dalam ber-aqidah merupakan bencana yang besar. Salah satu penyimpangan tersebut adalah aqidah tasybih (menjadikan sifat Allah SWT sama dengan sifat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds