Hari-hari ini seharusnya merupakan momentum terbaik untuk merenungi hakikat kemerdekaan Indonesia, akan tetapi justru ternodai dengan segelintir elit politik yang mencoba menerobos palang merah konstitusi demi mengakomodir kepentingannya sendiri. Belum lama ini kita menyaksikan anggota DPR tengah berakrobat menyusun revisi UU Pilkada yang menganulir putusan MK.
DPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan kehendak rakyat semestinya menghayati betul dasar-dasar bernegara yang mengedepankan nilai kebenaran, kebaikan dan kepentingan rakyat dan negara dibanding kepentingan politik kekuasaan semata. DPR tidak semestinya berseberangan, berbeda dan menyalahi putusan MK dalam masalah persyaratan calon kepala daerah (cakada) dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024.
Apa yang dilakukan DPR tersebut, meskipun pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada berakhir batal, tetap saja menandai terjadinya pembusukan demokrasi Indonesia yang dimulai dari lembaga negara seperti halnya DPR, dan tidak menutup kemungkinan lembaga-lembaga serupa.
Dekonsolidasi Demokrasi
“Wakil rakyat seharusnya merakyat, Jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, demikian lirik bait lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” karangan Iwan Fals. Lirik lagu ini ternyata cukup menggambarkan mayoritas perilaku banal DPR selama ini. Bagaimana tidak, sejumlah Undang-Undang penting yang mencakup hajat hidup rakyat lahir dari tangan-tangan kotor mereka, justru banyak berpihak terhadap bandar, cukong dan oligarki. Mungkin ada baiknya DPR dibubarkan saja.
Salah satu Undang-Undang ‘gelap’ yang coba disahkan adalah RUU Pilkada, setelah UU Cipta kerja berhasil disahkan. Meskipun pengesahan RUU Pilkada dibatalkan karena tidak memenuhi kuorum, akan tetapi masuknya pembahasan RUU ini yang nantinya menganulir putusan MK merupakan bukti nyata adanya pembangkangan konstitusi. Bukan hanya terang-terangan menabrak norma pembentukan perundang-undangan, DPR dan Pemerintah juga sudah putus urat malunya lagi mengangkangi dan melanggar konstitusi demi kepentingan politik kekuasaan.
Sebelum disahkannya pun, UU Ciptaker dan RUU Pilkada 2024 misalnya menuai polemik berkepanjangan. Berbagai kritik, demo dan gerakan rakyat sipil mengkritik agar UU tersebut dibatalkan karena semakin menyengsarakan dan tidak mengakomodir kepentingan wong cilik. Dalam konteks ini, yang dipertontonkan mayoritas elit di senayan menunjukkan gerak mundur demokrasi (dekonsolidasi demokrasi).
Dalam ungkapan lain, perjalanan demokrasi mengalami – meminjam istilah Masdar Hilmy – dekonsolidasi atau penguraian kembali simpul-simpul demokrasi yang telah terpintal dan teranyam sedemikian rupa rapi, rancak dan apik. Ironisnya, penguraian kembali simpul demokrasi bukan dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, melainkan oleh elit partai politik – dan termasuk presiden – sebagai representasi wakil mereka.
***
Masih ingatkah kita beberapa waktu lali akan respons Bambang Pacul tatkala diminta memproses dan mengesahkan UU Perampasan Aset oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, “tolong dong Undang-Undang Perampasan Aset dijalanin?, kata Pacul. “Republik di sini ini gampang pak senayan ini, lobinya jangan di sini pak, nih korea-korea semua di sini nurut sama bosnya (ketum parpol) masing-masing, di sini boleh ngomong galak pak. Bambang Pacul ditelpon ibu? Pacul berhenti, siaap”, ujar Pacul.
Jawaban Bambang Pacul, Ketua Komisi III DPR dari PDIP, secara tidak langsung, mencerminkan realitas politik bagaimana sebuah keputusan politik dibuat, dibahas, dan disahkan oleh wakil rakyat di senayan. Ternyata, sebagian dari mereka – untuk tidak mengatakan semuanya – selama ini bersandiwara mengambil hati rakyat demi memuluskan kepentingan partai bukan kepentingan rakyat di atas segalanya. Sebuah gambaran paripurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri nasib yang dikehendakinya.
Otoritarianisme Kekuasaan
Bagaimana otoritarianisme yang belakangan ini menjelma sebagai aturan kekuasaan di negeri ini semakin menunjukkan taringnya, nyaris suara-suara oposisi diredam dan dikonsolidasi sedemikian rupa untuk menopangnya. Ditambah panggung penegakan hukum kita belum menggambarkan idealitas yang diinginkan bersama sekaligus belum berkontribusi bagi pendewasaan demokrasi yang berarti.
Dalam sejarahnya, otoritarianisme memerlukan penopang dalam proses kendali pembentukan dan tentu saja berkonsekuensi melemahkan posisi lembaga-lembaga negara, sekalipun semua prosesnya berteduh di balik narasi “hukum” dan bahkan “konstitusional”. Ini yang disebut Gunther Frankenberg sebagai konstitusionalisme otoriter.
Hukum bukan lagi tak digunakan, melainkan dipinjam sesaat secara manipulatif cum hipokrit. Setidaknya ada empat tipologi menurut Herlambang, pakar hukum dari UGM; pertama, dipinjam dengan cara palsu, berbentuk norma tanpa substansi. Kedua, dipinjam secara selektif, menggunakan sebagian dari normanya. Ketiga, dipinjam kontekstualnya, norma sengaja ditransplantasikan ke dalam konteks dengan latar belakang kondisi yang beragam. Keempat, dipinjam secara banal, dalam arti tanpa tujuan, norma antidemokrasi digunakan kembali untuk mencapai tujuan yang berlawanan.
Dalam hemat penulis, peminjaman secara manipulatif ini menegaskan adanya kartelisasi hukum dan lembaga peradilan. Seperti yang diketengahkan Mustofa, hukum dan pengadilan dapat digunakan oleh sang otoritarian untuk mengonsolidasikan dan menentang demokrasi itu sendiri. Fenomena inilah yang disebut judisialisasi politik otoriter (judicialization of authoritarian politics).
Tanggungjawab Bersama
Meskipun pembusukan hukum tengah membabi buta, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak pernah tinggal diam. Sayup-sayup suara kritis itu hampir pasti tidak pernah padam. Rakyat sudah cerdas, rakyat sudah tidak bisa dibodohi lagi. Bahwa ada sebagian diguyur bansos lalu manggut-manggut, mau diarahkan untuk memilih salah satu paslon benar adanya, tetapi menggeneralisir seolah-olah mayoritas rakyat bisa dikibulin adalah kefatalan yang luar biasa.
Sampai di sini, rasanya sulit menampik kenyataan dan fakta bahwa demokrasi kita tengah mengalami titik nadir. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan “anarkis” wakil rakyat yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga negara.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan demokrasi mestinya tidak perlu terjadi seandainya “tidak ada dusta di antara kita”. Tidak perlu pula mahasiswa turun ke jalan dan rakyat turun tangan seandainya setiap jengkal tahapan berdemokrasi kita tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Yang terpenting, rakyat harus tetap mengawal jalannya demokrasi karena vox populi, vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Gerakan perlawanan harus dimulai dari semua elemen masyarakat seperti ulama, tokoh agama, LSM, elit politik, civitas akademika kampus, mahasiswa, dan semuanya tanpa terkecuali. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat, pengerdilan, pendistorsian dan pereduksian atas nama demokrasi dan atas nama rakyat akan terus terjadi di panggung politik kita.
Editor: Soleh