Review

Demokrasi Taqwa: Sebuah Pemikiran Politik Buya Hamka

8 Mins read

Demokrasi Taqwa. Sebuah pemikiran politik hasil dari refleksi dan pergulatan aktivitas Buya Hamka di pentas kebangsaan Indonesia. Pemikiran Demokrasi Taqwa Buya Hamka, diulas secara apik dan komprehensif di bukunya “Buya Hamka: Pemikiran dan Perannya di Pentas Nasional” yang ditulis oleh Dr Ahmad Khoirul Fata, seorang Dosen IAIN Gorontalo, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Doktoralnya di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau teman saya sewaktu nyantri di Pesantren Ar-Raudlatul Ilmiyah (YTP) Kertosono, Nganjuk.

Buku tersebut merupakan hasil riset disertasi Khoirul Fata, yang mengkaji bidang politik Islam sekaligus fokus berusaha memahami gagasan Buya Hamka tentang politik dan kebangsaan Indonesia. Kemudian sisi prilakunya sebagai aktor politik di pentas nasional.

Buku yang Menarik

Buku ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 berisi pendahuluan yang mengungkap latar belakang dan signifikansi dari kajian pemikiran politik Buya Hamka. Bab 2 berisi tentang diskursus politik Islam modern, yang mengkaji terkait transformasi politik Islam di era modern, dinamika politik Islam di Indonesia, dan watak politik Islam Indonesia. Bab 3 berisi riwayat hidup Buya Hamka, yang mengkaji profil latar belakang dan sosiologi pengetahuan seorang Buya Hamka, yang kemudian menjadi karakter dan mempengaruhi pemikiran dan aktivitas politiknya di pentas Nasional Indonesia.

Bab 4 berisi pemikiran politik dan kebangsaan Hamka. Mengkaji terkait beberapa pemikiran Buya Hamka, yaitu tentang hubungan agama-negara, gagasan kebangsaan Indonesia, demokrasi Taqwa dan respon terhadap konsep politik Barat modern. Bab 5 berisi tentang aktivitas politik Buya Hamka di pentas politik nasional. Diungkap mulai dari aktivitas di Masyumi, perjuangan di Konstituante, di era Orde Lama Presiden Soekarno, dan di era Orde Baru Presiden Soeharto. Bab 6 berisi kesimpulan.

Buku ini sangat menarik, karena penulis mampu mengungkap dan menyajikan sisi lain dari seorang tokoh Buya Hamka. Penulis secara apik dan runtut mengungkap sisi lain seorang Buya Hamka sebagai pemikir dan aktivis politik nasional.

Sebab, secara mafhum selama ini sosok Buya Hamka lebih dikenal publik sebagai seorang Ulama dan Sastrawan dan jauh dari image pemikir atau aktivis politik di Indonesia.

***

Mengutip pendapat Syafi’i Ma’arif, Buya Hamka adalah sebagai pengarang, pemikir bebas, sastrawan, sejarawan publik dan mufasir. James R Rush menempatkan Buya Hamka sebagai seorang cendekiawan publik. Menurut Gus Dur, Hamka bukan sebagai aktor penting dalam konteks politik nasional.

Adapun sisi kehebatan Hamka adalah terletak pada kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia bukan secara manipulatif, melainkan karena ia melakukan sikap yang positif dan konstruktif. Sehingga menjadi tokoh penghubung bagi semua pihak. (h.2)

Berangkat dari latar tersebut, buku ini berusaha memberi gambaran lain sosok Buya Hamka sebagai pemikir dan tokoh politik yang masih kurang dikenal masyarakat luas. Sehingga Buya Hamka layak disandingkan sejajar dengan para tokoh politik Islam Indonesia, seperti Moh. Natsir, Moh. Roem, Kasman Singodimedjo, Syafruddin Prawiranegara sebagai pemikir dan tokoh politik nasional Indonesia.

Penempatan tersebut tidaklah berlebihan, mengingat sejak muda Buya Hamka telah terlibat di dunia pergerakan. Ayah Buya Hamka adalah seorang tokoh pembaharu di Indonesia terutama di daerah Sumatera. Buya Hamka pernah nyantri pada HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim dan sering mengikuti kegiatan Sarekat Islam (SI) dan Jong Islamieten Bond (JIB). (h.i)

Selain itu Buya Hamka juga seorang wartawan dan penulis, sehingga sangat tidak mungkin dia tidak peduli pada kondisi politik yang terjadi pada saat itu. Setidaknya dia pernah membuat tulisan yang mengomentari peristiwa politik yang terjadi. (h.i).

Baca Juga  Mengulik Masa Silam, Mengumpulkan yang Terkelam

Riwayat Hidup Buya Hamka

Karakter pemikiran dan aktivitas politik Buya Hamka tidak terlepas dari latar belakang hidupnya dalam dinamika pergulatan problematika masyarakat Indonesia.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkat (HAMKA), lahir tanggal 16 Februari 1908 di Kampung Tanah Sirah, Sumatera Barat. Jalur nasabnya Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) bin Syekh Muhammad Amrullah (Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh (Tuanku Syekh Guguk Batur). 

Abdullah Saleh adalah murid dan menantu dari Syekh Abdullah Arif (Tuanku Pariaman) seorang tokoh perjuangan Perang Paderi. Ibunya bernama Syafiah adik dari Istri pertama (Raihanah) dari Ayahnya yang dinikahi pasca meninggal dunia. (h.42)

Pada tanggal 5 April 1929, Buya Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan kemudian meninggal dan menikah lagi dengan Siti Kadijah.

Anak-anak Buya Hamka berjumlah 9 orang, yaitu Rusydi Hamka Irfan, Hamka Aliyah Hamka, Afif Hamka Hisyam, Hamka Husna Hamka, Fathiyah Hamka-Vickri Helmi Hamka Syakib, Arsalan Hamka, Azizah Hamka Fachry, Hamka Zaki Hamka. Dari nasab di atas menunjukan bahwa keluarga Buya Hamka merupakan pejuang dan tokoh agama.

Aktivitas Intelektual Buya Hamka

Perjalanan intelektual Buya Hamka di mulai dari keluarga dan surau. Karakter dan kapasitas keilmuan Islam terbentuk kuat dari proses belajar dari ayahnya (Haji Rasul) yang disebut “laksana lautan yang tidak pernah kering airnya”. Selain dari ayahnya, Buya Hamka pertama belajar Al Qur’an dan doa-doa shalat kepada Kakaknya Fatimah.

Pada usia 7 tahun, Buya Hamka belajar di Sekolah Desa di Guguk Malintang Padang Panjang dan belajar di Diniyah School pada tahun 1916. Setelah itu melanjutkan ke Sumatera Thawalib. Pada usia 12 tahun, ia belajar kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek. (h.45)

Buya Hamka banyak belajar secara otodidak. Sewaktu belajar di El Yunusy, ia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di penyewaan buku milik gurunya. Di usia belasan tahun, Buya Hamka sudah membaca buku berbahasa Melayu asli dan terjemahan dari bahasa asing. Seperti Hikayat Bakhtiar, Hikayat Si Miskin, dan Hikayat Panji Semirang, serta karya Shakespeare, Musthafa Luthfi Al Manfaluthi, Shadiq ar Rafi, Zaki Mubarok, Hafiz Rahman dan Khalil Mathran. (h.46)

Ayahnya memperkenalkan pemikiran Syekh Muhammad Abduh dan Tafsir Al Manar sejak Buya Hamka masih muda. Pengaruh pemikiran ayahnya sangat kuat pada karakter pemikiran keislaman Hamka. Ciri pemikiran yang terbuka, rasional, mandiri, dan tidak terikat pada pendapat tokoh tertentu (taklid) diwariskan ayahnya hingga Hamka dewasa. Walaupun ia tetap menghargai pemahaman teks. (h.46)

Selain itu, pengaruh pemikiran kaum muda mendorong Buya Hamka mengkaji karya-karya pembaharu Islam dari Timur Tengah. Gagasan Syekh Muhammad Abduh, Jalaludin Al Afghani, Rasyid Ridha tampak mewarnai tulisan-tulisanya. Pengaruh tersebut terlihat pada tafsirnya Al Azhar. (h.48)

Aktivitas Politik Hamka

Aktivitas sosial politik Buya Hamka di mulai ketika kembali dari Jawa. Buya Hamka terlibat dalam pendirian Tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang bersama Kakak Iparnya, AR. Sutan Mansur.

Aktivitas Buya Hamka di Muhammadiyah terus berkembang dan puncaknya pada Kongres ke 32 di Purwokerto tahun 1953. Beliau terpilih sebagai anggota pimpinan pusat Muhammadiyah dan terpilih kembali pada Kongres Di Palembang, Yogyakarta, Makasar dan Padang. Pada kongres di Makassar tahun 1971, ia tidak bersedia lagi karena alasan kesehatan dan usia, namun Hamka diberi jabatan penasehat Muhammadiyah hingga wafat. (h.52)

Baca Juga  Islamisme Kelas Menengah NU: Pergeseran dari Moderatisme ke Post-Islamisme

Selain aktif di Muhammadiyah, Buya Hamka juga terlibat dalam kelompok diskusi Ikhwanus Shafa yang terdiri dari para intelektual Medan seperti Zainal Arifin Abbas, Rahim Haitami dkk. Serta terlibat dalam Lembaga Bahasa Indonesia. (h.51)

Aktivitas politiknya terus melebar, Buya Hamka juga terlibat aktif partai Masyumi dan di Front Pertahanan Nasional (FPN) sebagai ketua. Posisi ini menjadikan Buya Hamka berkeliling daerah terutama wilayah Sumatera untuk membangkitkan semangat juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan.

Aktivitas politiknya di Masyumi semakin intens. Pada pemilu tahun 1955, Buya Hamka mewakili daerah Jawa Tengah dan terpilih sebagai anggota Konstituante. Keaktifan di Masyumi menjadikan dia mundur sebagai PNS di Departemen Agama.

Pada tahun 1964, Buya Hamka ditangkap dan menjadi tahanan politik pemerintahan Orde Lama (Presiden Soekarno) hingga tahun 1966.  Setelah keluar AKTIV berdakwah di Masjid Al Azhar dan kembali menerbitkan Majalah Panji Masyarakat tahun 1967.

Pada tahun 1975-1981, Hamka diangkat menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun sebelum masa jabatannya habis tanggal 18 Mei 2981, Buya Hamka mengundurkan diri dari ketua MUI akibat peristiwa fatwa haram bagi umat Islam yang mengikuti perayaan Natal. Pasca itu, Buya Hamka akhirnya dipanggil keharibaan Allah tepat pada tanggal 24 Juli 1981. (h.52)

Karya-Karya Buya Hamka

Jejak literasi Buya Hamka di mulai sejak 1925, ketika menerbitkan Khatibul Ummah, Majalah Kemauan Zaman th 1929. Hamka mendirikan majalah Al Mahdi th. 1931-9133, korespondensi Majalah Pembela Islam, Seruan Islam, Nibras, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah dan Pimred majalah Pedoman Masyarakat Medan th. 1936-1942. Beliau juga menerbitkan majalah Panji masyarakat bersama KH. Faqih Usman th. 1959, namun diberhentikan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960. Kemudian menerbitkan Gema Islam pada 1962.

Buku karya Buya Hamka diantaranya: Tenggelamnya Kapal Van Dee Wick, Tasawuf Modern, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Dibandingkan Ombak Masyarakat, Negara Islam, Merdeka (1946), Islam dan Demokrasi (1946), Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di lembah Sungai Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Sejarah umat Islam (4 jilid), Kenang-kenangan Hidup (4  jilid), Empat Bulan di Amerika (2 jilid) dan Magnum opus-nya adalah Tafsir Al Azhar (30 Jilid).

Atas dedikasi dan karya-karya intelektualnya, Buya Hamka diberi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir.

Demokrasi Taqwa: Sintesis Islam dan Demokrasi

Demokrasi Taqwa merupakan sintesis dari Islam dan demokrasi. Pemikiran ini di mulai dari pembacaan kritis Buya Hamka terhadap realitas atau praktek politik di dunia Eropa Barat, yang diterapkan dari hasil pemikir Barat Abad 17-18 M seperti JJ. Rousseau, Montesquieu, Voltaire yang hendak melepaskan akal dari belenggu Gereja dan menentang persekutuan elit Gereja yang sering melakukan penindasan.

Para pemikir di atas memang hidup pada konteks Eropa yang didominasi praktik politik monarki absolut dengan agama sebagai basis legitimasinya. Saat itu sistem monarki absolut menjadi solusi atas kondisi Eropa yang kacau, sehingga dianggap menjadi jalan keluar untuk mewujudkan tertib sosial politik saat itu. Namun, ternyata justru malah melahirkan pemerintahan yang tiran.

Praktek tersebut kemudian dikritik sekaligus menawarkan ide politik alternatif yang mendorong pada perlindungan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan. Kontrak sosial dan pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan menjadi solusi bagi negara untuk melindungi kebebasan dan hak individu. Prinsip-prinsip tersebut menjadi landasan normatif dalam sistem demokrasi.

Bagi Buya Hamka, meskipun demokrasi dipopulerkan oleh Barat Modern. Namun ada nilai dan memiliki akar yang kuat dalam Islam, baik secara teologis maupun empiris.

Baca Juga  Philips J Vermonte: Indonesia Harus Manfaatkan Presidensi G20

Pemahaman Buya Hamka terhadap demokrasi Barat, tentu tetap ada catatan dan perbedaan prinsip dasar. Gagasan tersebut menjadi populer, yang kemudian disebut demokrasi Taqwa, sebuah sistem demokrasi yang berakar pada Islam.

Secara teologis, konsep demokrasi Taqwa berangkat dari penafsirannya terhadap posisi manusia sebagai khilafah Allah di muka bumi. Sementara secara empiris, sistem demokrasi pernah dipraktekkan pada masa pemerintahan para Khulafaur Rasyidin. Namun kemudian berhenti ketika pemerintahan Muawiyah, yang menunjuk putranya Yazid bin Muawiyah sebagai gantinya. Dari sinilah kemudian sistem demokrasi berganti menjadi dinasti atau monarki Islam.

Tiga Prinsip Demokrasi Taqwa Hamka

Terdapat tiga prinsip dalam bangunan demokrasi Taqwa Buya Hamka, yaitu penafsiran terhadap manusia sebagai khilafah, musyawarah dan masyarakat yang bertaqwa.

Pertama, Manusia sebagai Khilafah Allah di Bumi

Bagi Hamka, penafsiran tentang manusia sebagai khilafah di muka bumi pada Q.S Al Baqarah 30, adalah landasan normatif utama akan sistem demokrasi dalam Islam.

Sebagai Khilafah, manusia mempunyai posisi istimewa yang seringkali disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk berkuasa secara absolut dan bertindak sewenang-wenangnya. Seperti praktik sistem negara monarki dan theokrasi.

Bagi Hamka, posisi Khilafah itu bukanlah sebuah legitimasi bagi sebagian orang untuk bertindak sewenang-wenang atas nama Tuhan terhadap orang lain. Sebab posisi Khilafah bukan satu orang atau golongan tertentu, tetapi seluruh umat manusia adalah khilafah Allah di muka bumi. (h.96)

Artinya, semua umat manusia memiliki posisi yang sama. Tidak ada keunggulan satu orang atas orang lain, dari situlah tidak boleh seseorang mengklaim berkuasa atas nama Tuhan.

Menurut Hamka, konsep ini adalah dasar dari pemerintahan Islam sebagai bagian dari nilai demokrasi bahkan lebih beradab daripada sistem demokrasi Barat.

Demokrasi Barat lebih bersifat diskriminatif, masih suka menjajah kepada yang lemah. Hal ini didasarkan karena demokrasi Barat tidak berdasarkan tauhid.

***

Kedua, Musyawarah Pondasi Bermasyarakat.

Musyawarah (Shura) merupakan pondasi dasar yang diajarkan di Al Qur’an dalam proses pembentukan jama’ah sampai negara. (h.102).

Musyawarah menjadi point’ penting dalam demokrasi Taqwa, karena  Hamka membagi urusan agama menjadi 2, yaitu ta’abuddi (murni agama), pada wilayah ini umat Islam tidak ada ruang diskusi harus patuh dengan ketentuan yang ada. Kemudian ta’aqulli (urasan yg bisa di musyawarahkan). Pada poin pertimbangannya adalah maslhah dan mafsadah termasuk dalam mengelolah negara.

Musyawarah adalah prinsip dasar politik Islam, sementara bentuk dan tata caranya diserahkan kepada umat Islam sesuai kesepakatan. Bisa bentuk DPR, MPR, Parlemen dan sebagainya.

Ketiga, Takwa sebagai Landasan Moral Masyarakat.

Bagi Hamka, ketakwaan merupakan pembeda antara demokrasi Barat dengan demokrasi Islam. Dalam prakteknya, demokrasi Barat masih sering melakukan pola diskriminasi ras kulit hitam, seperti di Amerika Serikat (AS,) atau kawasan Afrika. Sementara prinsip demokrasi Islam tidak memandang harta, suku, warna kulit, keturunan semua sama statusnya, punya hak yang sama, yang membedakan adalah kualitas akhlaqnya (ketaqwaan). (h.108)

Gagasan demokrasi Taqwa Buya Hamka sangat menarik jika dielaborasikan ke ranah teoritis keilmuan politik Islam kontemporer. Apalagi dijadikan pola praksis dalam kanca perpolitikan di Indonesia oleh partai politik Islam yang ada.

Harapan besar kita umat Islam kepada para pemimpin politik Islam saat ini adalah agar mereka terus mengkaji dan menjadikan pemikiran-pemikiran tokoh politik umat Islam sebagai referensi dalam berpolitik. Mewujudkan politik Islam Indonesia yang kembali berjaya.

Editor: Saleh

Sholikh Al Huda
14 posts

About author
Direktur Institut Studi Islam Indonesia (InSID), Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jatim, Dosen Pascasarjana UMSurabaya
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds