Inspiring

Siti Munjiyah, Perempuan Aisyiyah yang Menjadi Aktor CPPA dan Kongres Perempuan Pertama

3 Mins read

Pada awal abad ke-20, kasus prostitusi dan perdagangan anak pernah mencuat ke publik. Sejumlah tokoh pergerakan nasional yang prihatin menggalang kekuatan dari berbagai elemen masyarakat untuk menekan kasus-kasus tersebut. Mereka adalah Siti Munjiyah (‘Aisyiyah), Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa), Ny. Soekonto (kongres perempuan), AD Hanie (Wal Fajri—afiliasi Muhammadiyah), dan lain-lain yang menginisiasi pembentukan Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA) pada awal bulan Juni 1930 di Mataram (Yogyakarta). Tweede Blad De Koerier nomor edisi 54, 6 Juni 1930, menurunkan berita singkat sebagai berikut:

***

Jogja. Pada Senin malam, atas inisiatif Panitia Pembantrasan Perdagangan Anak-anak, diadakan rapat umum di rumah Bapak Djajadipoera. Tak kurang dari 35 paguyuban dari berbagai denominasi terwakili, sementara sekitar 1.500 orang memenuhi pendopo yang luas itu. Perwakilan dari Biro Urusan Pribumi dan Biro Pemberantasan Perdagangan Perempuan juga hadir. Setelah ketua Ny. Dr. Soekonto, pertemuan telah dibuka, dengan ucapan terima kasih kepada yang hadir dan permintaan untuk mendukung tindakan Panitia semaksimal mungkin, sekretaris mulai menceritakan tentang asal-usul C.P.P.A. (Panitia Pembantrasan Perdagangan Anak – anak), yang sudah kami sampaikan beberapa hal sebelumnya. Ada 22 Asosiasi berpartisipasi dalam pembentukan Komite ini.

Kemudian Ny. Siti Munjiyah dalam sebuah wacana panjang memaparkan tentang kedudukan mulia yang dimiliki manusia di antara makhluk Tuhan. Pembicara kemudian menggambarkan posisi yang tidak manusiawi di mana perempuan dibawa oleh perdagangan perempuan, perawatan gigi, dan lain-lain. Adalah tugas kita yang paling suci, kata pembicara, untuk melakukan segala kemungkinan untuk membuat perdagangan yang merendahkan ini menjadi tidak mungkin.

Bagaimana gadis itu sampai ke tangan pedagang atau pedagang? Pertama, dengan penculikan. Kedua, dengan cara lain adalah bahwa orang tua sendiri, biasanya karena kekurangan uang, menyerahkan gadis itu kepada kreditur mereka atau kepada pedagang semacam itu. Ketiga,  kemungkinan ketiga adalah bahwa gadis itu sangat bejat sehingga dia secara sukarela menyerahkan dirinya kepada penjahat.

Bapak Maharaja Sayuti Loebis juga mengemukakan gagasannya. Tuan AD Hanie berbicara tentang cara yang menurut C. P. P. A. akan digunakan: 1) komite akan berlaku untuk semua asosiasi pribumi di seluruh Indonesia dengan permintaan untuk mengambil tindakan terhadap perdagangan yang merendahkan ini, 2) komite akan berusaha untuk membangkitkan dan memelihara kepentingan umum dalam hal ini melalui pers, 3) panitia akan menyebarkan tulisan tentang hal ini ke mana-mana untuk mendapatkan kerjasama dari masyarakat.

Di sela-sela acara, panitia menggelar retribusi yang mendatangkan f 39,54. Setelah itu, RM. Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara, tokoh sekolah Taman Siswa merancang sarana untuk mengangkat posisi perempuan. “Wanita adalah ukuran kayuhuran (keagungan atau kesopanan) suatu bangsa. Saya tidak bisa memanggil orang yang belum tahu bagaimana menghormati wanita.”

Pembicara kemudian mulai berbicara tentang perjuangan melawan perdagangan perempuan di Eropa dan bagaimana pertarungan ini diatur secara internasional. “Saya malu,” lanjut pembicara, “bahwa kita tertinggal dari bangsa lain dalam praktik kautaman (kebajikan). Perdagangan anak perempuan yang tidak manusiawi hanya dapat berhasil diberantas jika seluruh bangsa bekerjasama di dalamnya. Oleh karena itu, patut disambut bahwa, C.P.P.A. telah mengambil inisiatif terpuji untuk melawan perdagangan semacam ini dengan sekuat tenaga.”

“Saya juga harus menunjukkan, kata Pengantar, peran bersalah yang dimainkan beberapa surat kabar dengan mengambil iklan yang mempromosikan pil atau artikel lain yang akan digunakan untuk tujuan tidak bermoral. Saya sangat senang bahwa asosiasi-asosiasi itu tidak hanya peduli dengan politik, tetapi juga terlibat dalam bidang sosial. Tentunya salah satu kegiatan terbaik di bidang sosial adalah mengangkat derajat perempuan, yang bertanggung jawab atas pendidikan generasi muda, harapan tanah air. Saya berharap para politisi yang memperjuangkan kemerdekaan tidak akan mencapai tujuannya sampai masyarakat tahu bagaimana menghormati perempuan,” pungkas Ki Hadjar Dewantara.

***

Pembentukan CPPA

Inisiatif pembentukan Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA) sebenarnya tidak bisa lepas dari kondisi sosial kaum bumiputra yang terhimpit oleh sistem politik kolonial. Salah satu program politik etis adalah memperbaiki sistem pengairan dalam rangka peningkatan hasil pertanian. Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan produktif untuk kepentingan ekspor, muncul dampak sosial bawaan seperti lahirnya kelompok buruh dari luar kota/daerah.

Baca Juga  Berpolitik dengan Luwes ala Gus Dur

Kehidupan para buruh perkebunan sangat miris, terutama bagi mereka kaum perempuan. Karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi, mereka memilih jalan kehidupan sebagai sundal. Tulisan Martin Sitompul, “Prostitusi di Perkebunan Deli” (2019) cukup jelas menggambarkan bagaimana proses para buruh perempuan beralih profesi menjadi pelacur.

Maraknya prostitusi tidak hanya terjadi di kota Deli Serdang (Sumatra Utara), tetapi hampir merata di kota-kota besar di Pulau Jawa seiring dengan lahirnya kelas elite baru dari kalangan bumiputra dalam struktur masyarakat kolonial sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hal inilah yang menjadi keprihatinan pemrakarsa CPPA, sehingga dalam rapat akbar pada Senin malam memberikan himbauan agar pemerintah meninjau kembali kontrak yang berkaitan dengan para buruh perempuan di Deli.

Siti Munjiyah, Aktor CPPA dan Kongres Perempuan Pertama

Sangat menarik membaca fakta historis ini bahwa peristiwa pembentukan Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA) adalah dua tahun pasca penyelenggaraan Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta (Mataram, 22-25 Desember 1928). Tepatnya pada Senin malam (2 Juni 1930), di tempat yang sama (nDalem Djojodipoeran). Sebuah perhelatan akbar kembali mengukir sejarah lewat pembentukan Comité Pemberantasan Perdagangan Anak-anak (CPPA) ini.

Jika dalam Kongres Perempuan Pertama para aktornya terdiri dari kaum hawa dari berbagai kalangan, maka perhelatan akbar kali ini menghadirkan aktor dari kaum laki-laki dan perempuan. Dan khusus aktor perempuan yang cukup mewarnai jalannya proses pembentukan CPPA adalah perempuan yang ternyata turut mewarnai jalannya Kongres Perempuan Pertama. Perempuan itu bernama: Siti Munjiyah (Sitti Moendjijah). Dalam Kongres Perempuan Pertama Siti Munjiyah menyampaikan gagasan brilian tentang “Derajat Perempuan” yang lebih politis, sedangkan dalam pembentukan CPPA, adik kandung Haji Fachrodin ini menyampaikan gagasan tentang “Kemuliaan Perempuan” yang lebih humanis.

Baca Juga  Sosok Kartini: Potensi yang Terbenam di Kubangan Budaya Feodal

Editor: Saleh

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *