Inspiring

Berpolitik dengan Luwes ala Gus Dur

3 Mins read

Pada tanggal 17 Desember 2022, saya dan teman-teman berangkat menuju acara Haul ke 13 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Meski acara tersebut terbatas untuk umum, kami berlima termasuk salah satu teman dari Filipina berhasil masuk dan duduk di depan panggung. Banyak TV Swasta meliput acara tersebut. Ada sebuah cerita menarik dari Gus Yahya Ketua Umum PBNU, Gus Yahya menjuluki Gus Dur sebagai Wali ke-10 tanah Jawa ketika Gus Yahya ‘sowan’ ke kediaman Gus Dur pada tahun 2000 an. Menurut Gus Yahya saat ini hal itu telah terjadi. Para penziarah Wali Songo hampir bisa dipastikan menziarahi makam Gus Dur di Tebuireng Jombang setelah melakukan ziarah ke sembilan wali.

Kemasyhuran Gus Dur di berbagai kalangan sudah tidak bisa diragukan lagi. Kita masih sama-sama ingat, bagaimana cerita Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan kala itu. Gus Dur mengultimatum agar masa dari Nahdlatul Ulama’ (NU) dan para simpatisan Gus Dur untuk tidak merapat ke Istana negara melakukan aksi masa. Bagi Gus Dur, jabatan presiden tidak layak dibandingkan dengan tetesan darah yang keluar dari rakyat Indonesia. Sebab, suasana genting saat itu berpotensi menimbulkan kerusuhan yang besar. 

Politik Luwes ala Gus Dur

Ketika di pesantren dulu, cerita tentang Gus Dur sudah sering saya dengar. Dari cerita tentang pencapaian akademiknya yang luar biasa hingga cerita supranatural bernuansa magis. Terlepas dari itu semua, saya lebih tertarik dengan model pemikiran yang terbuka ala Gus Dur. Gus Dur memiliki hobi membaca dan semangat belajar yang luar biasa. Bahkan Gus Dur tidak hanya belajar dan menguasai turots (kitab klasik) keislaman belaka, tetapi juga mempelajari pemikiran Barat. Gus Dur mampu mengkoneksikan antara budaya tradisionalis dan modernis serta memformulasikannya.  Kemampuan ini menjadikan Gus Dur mendapatkan sebutan Neo-Modernis (Barton 1997).

Baca Juga  Berkurban untuk Kepentingan Politik: Ketika Kampanye Politik Berkedok Agama

Berbicara mengenai politik, saya teringat ucapan Harold Dwight Lasswell yang dikutip dalam buku Muslim Politics karya Dale F. Eickelman dan James Piscatori bahwa sistem politik adalah tentang siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan (Eickelman, Dale F. 1996). Saya membayangkan apa sebenarnya yang didapatkan oleh Gus Dur dari cara politiknya? Jawaban ini sebenarnya dengan mudah dapat dilacak pada tulisan karya ilmiah para sarjanawan. Tetapi, saya berasumsi bahwa yang didapatkan oleh Gus Dur adalah kepercayaan dari masyarakat. Ketika saya menghadiri acara Haul Gus Dur yang Ke 13. Banyak perwakilan dari ormas Islam dan lintas agama yang memberikan testimoni mengenai peran Gus Dur pada kemanusiaan semasa hidup. 

Kepercayaan merupakan inti bagaimana sebuah otoritas dibentuk. Gus Dur sebagai sosok yang memiliki otoritas dari semasa hidup hingga pasca wafat tetap menjadi inspirasi dan teladan bagi banyak orang. Gus Dur membentuknya tanpa menggunakan unsur paksaan agar orang lain mengakuinya. Ini yang menyebabkan Greg Barton menjuluki Gus Dur sebagai sosok yang kompleks dan penuh paradoks. Gus Dur senantiasa menampilkan kesederhanaan namun memiliki pemikiran yang cemerlang dan tentunya kharismatik (Barton 2002).

***

Pada arsip tulisan Gus Dur tahun 1978, Gus Dur menyebut moralitas Islam adalah sebuah rasa keterlibatan moral sesama manusia (humanity) (K. H. A. Wahid 1978). Rasa kemanusian sesama manusia selalu menghiasi pemikiran Gus Dur. Bagaimanapun, moralitas adalah nilai universal yang berlaku di manapun di belahan dunia. Sebagai contoh, perbuatan mencuri hak orang lain, membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya merupakan tindakan amoral di manapun berada. Oleh karena itu, salah satu diktum yang paling terkenal dari Gus Dur adalah “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.

Baca Juga  Menimbang Gagasan Pendidikan Semesta Moch. Sholeh YAI

Aspek humanis Gus Dur juga tertuang dalam tulisannya dalam buku Ilusi Negara Islam. Gus Dur membagi manusia menjadi dua kategori. Pertama, manusia yang memiliki pribadi yang tenang dan damai. Kedua, manusia yang dipenuhi dengan hawa nafsu (K. H. A. Wahid 2009). Berdasarkan sebuah hadis Rasullullah pasca perang Badr. Rasullullah bersabda bahwa jihad paling besar adalah melawan Hawa Nafsu. Bagi Gus Dur, yang paling utama adalah manusia yang telah berhasil melawan hawa nafsunya. Sedangkan manusia yang masih terbelenggu hawa nafsu dapat dilihat dimana kehadirannya akan selalu membawa keresahan sosial dan menjadi sumber masalah bagi siapapun.

Sembilan Ajaran Inti Gus Dur

Ajaran inti Gus Dur dirangkum menjadi 9 Nilai Utama meliputi Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kesatriaan, dan Kearifan Tradisi (Nur Kholik Ridwan 2019). Dari 9 Nilai tersebut, dapat dipahami bawa menjaga moral sudah menjadi landasan kuat bagaimana Gus Dur menjalankan Poltik Moralnya. Cara-cara tersebut senantiasa Gus Dur kedepankan dalam menghadapi permasalahan. Rasa cinta Gus Dur terhadap kemanusiaan dapat kita lihat jika berkunjung ke makam Gus Dur yang tertulis “Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan”.

Pada masa jayanya, Gus Dur bisa duduk dan bercengkrama dengan semua kalangan. Meskipun kekuasaannya direbut paksa secara politis kala itu, Gus Dur membebaskan diri dari rasa dendam dengan memafkannya. Kita dapat lihat ucapan tersebut saat Gus Dur mengisi acara Kick Andy. Kita juga dapat belajar dari Gus Dur menjadi manusia adalah tentang mengalahkan hawa nafsu yang ada pada diri. Tidak membatasi diri terhadap Ilmu Pengetahuan baik dari Barat maupun Timur. Serta senantiasa mampu menghubungkan konteks masa lalu dengan saat ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Baca Juga  Gus Sholah: Riwayat dan Perjuangan Hidup

*Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID

Editor: Yahya FR

Rifqi Nurdiansyah
3 posts

About author
Dosen IAIN Kerinci I Kandidat Ph.D Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *