Menjelang perayaan Idul Adha dan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-74, terselip milad persyarikatan Muhammadiyah ke-110 (8 Dzulhijjah 1330 H) menurut penanggalan hijriyah. Pada awal kelahiran, Muhammadiyah diakui sebagai gerakan pembaruan dalam Islam. Akan tetapi sejak dekade 1980-an pencandraan itu mulai dipersoalkan, bukan saja oleh pengamat luar, pun dari internal persyarikatan sendiri.
Pergeseran penilaian ini menarik untuk didiskusikan lebih mendalam. Apakah peneropongan mutakhir itu benar-benar sesuai dengan realitas sosial yang berlangsung di kancah? Artinya, Muhammadiyah benar-benar mengalami kemandegan karena kehabisan energi pembaruan. Atau, bisa jadi, sebetulnya masih melakukan gerakan pembaharuan, akan tetapi para analis sosial kurang cermat dalam mengamati, sehingga denyut pembaharuan yang terjadi tidak tertangkap.
Bukan perkara mudah dalam menimbang dua pencandraan yang sepintas lalu saling bersebrangan. Memilih salah satu dari dua pandangan di atas, tanpa disertai data-data memadai, tentu bukan sikap yang bijak. Langkah awal yang paling tepat adalah menyusun suatu indikator yang dapat dijadikan alat ukur yang relatif objektif. Bertitik tolak dari indikator pada urutannya penilaian yang mendekati kenyataan dapat disusun.
Secara sederhana pembaruan (tajdid, renewal) dapat dipahami sebagai upaya individual ataupun kelompok, pada kurun waktu tertentu, untuk mengadakan perubahan konsepsi (pemahaman) dan praktik keislaman yang telah mapan menuju kepada pemahaman dan pengamalan baru. Rumusan ringkas inipun dapat menjadi indikator pembaharuan dalam Islam. Adakah perubahan pemahaman dan pengamalan keislaman “baru” yang diperkenalkan Muhammadiyah sejak dasawarsa 1980-an?
Arena Pembaruan Muhammadiyah
Meminjam kerangka referensi Deliar Noer, dalam karya monumental berjudul Gerakan modern dalam Islam di Indonesia, secara garis besar dapat dijumpai dua bidang utama yang menjadi arena dan sasaran gerakan pembaruan, yakni bidang sosial dan pendidikan di satu pihak, dan bidang politik di pihak yang lain. Dalam kategorisasi Deliar Noer, arena dan garapan utama Muhammadiyah sangat jelas, yakni bidang sosial dan pendidikan, bukan politik.
Berpijak pada indikator pembaharuan yang telah dirumuskan dan arena yang menjadi bidang garapan, berikut ditampilkan denyut perubahan pemikiran dan praktik pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah sejak dasawarsa 1980-an. Sebagaimana disinggung di atas, sejak kurun waktu 1980-an Muhammadiyah dinilai mengalami kemandegan dan kehilangan identitas dirinya sebagai gerakan pembaharuan.
Perlu ditambahkan, sebenarnya arena dan bidang garapan Muhammadiyah bukan hanya menangani pendidikan, tetapi juga bidang sosial dan kesehatan. Hanya saja dalam kertas yang terbatas ini, tidak tersedia ruang yang cukup untuk memperbincangkan seluruhnya. Oleh karena itu, data-data yang ditampilkan berikut terbatas pada bidang pendidikan. Pun, tidak semua dipaparkan, tetapi dicukupkan pada hal-hal yang dinilai relatif menonjol dan dapat dilihat secara kasat mata oleh publik.
Dari teropong sosio-historis dapat diketahui bahwa, munculnya gerakan pembaharuan dipicu oleh kebuntuan konsepsi dan praktik-praktik lama yang tidak memadai lagi untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul. Oleh karena itu, masalah yang berkembang tidak dapat diurai dan semakin lama bertambah menumpuk. Satu-satunya jalan untuk memecahkan ialah menemukan kembali konsepsi dan praksis baru sebagai jalan keluar atas kebuntuan konsepsi dan praktik-praktik lama yang telah usang.
Sebagai ilustrasi, perlu menengok sekilas sejarah kelahiran Muhammadiyah, 8 Dzuhijjah 1330 H/bertepatan 18 Nopember 1918 M. Masalah kritis yang dihadapi pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan dan teman-teman, ialah sempitnya konsepsi dan praktik pendidikan Islam yang terbatas pada pengajaran al-Quran dan pesantren. Padahal, pada awal abad ke-20 dengan semboyan politik etis pemerintah kolonial Belanda gencar memperkenalkan sistem persekolahan.
Karena keterbatasan konsepsi dan praktik pendidikan Islam, mayoritas pemuka Islam berpandangan bahwa sistem sekolahan bukan termasuk lembaga pendidikan Islam, bahkan dianggap sistem kolonialis dan kafir yang diharamkan dan ditolak. Kebuntuan inilah yang coba dicari jalan keluarnya oleh Kiai Ahmad Dahlan, yakni dengan cara mencangkok sistem sekolah dan mengintegrasikan ke dalam taman pendidikan Islam.
Sebagai langkah lanjutannya, pada bulan Desember 1911, satu tahun sebelum persyarikatan Muhammadiyah berdiri, Kiai Dahlan bereksperimen mendirikan “sekolah agama modern”. Eksperimen perintisan sekolah Islam model baru inilah yang pada perkembangan di belakang hari, bahkan hingga saat sekarang inipun, menjadi prototipe sekolah Muhammadiyah.
Pembaruan Pendidikan Islam
Dari paparan ringkas tersebut dapat diketahui bahwa, Kiai Dahlan dengan gerakan Muhammadiyah-nya telah mempelopori pembaharuan pendidikan Islam. Saat itu lembaga pendidikan Islam identik dengan sistem pendidikan pribumi, untuk membedakan dengan sistem sekolah Belanda. Oleh karena itu, Muhammadiyah bukan hanya gerakan pembaharuan Islam, tetapi juga gerakan kebangsaan yang berupaya mencerdaskan kehidupan rakyat pribumi melalui praksis pendidikan yang menggembirakan.
Setelah proses pembaharuan berjalan sekitar dua dasarwarsa, pihak-pihak yang awalnya menentang kemudian secara bertahap mulai bisa menerima. Karel A. Steenbrink (1994: 62-72) melukiskan gejala ini dengan kalimat sastrawi; menerima dan mencontoh di Jawa, menolak sambil mengikuti di Minangkabau.
Persis pada titik ini, suatu anomali gerakan pembaharuan terjadi. Yakni, ketika kalangan yang awalnya menolak, tetapi kemudian pelan-pelan mereka bersedia menerima dan mengikuti. Di satu sisi, merupakan gejala keberhasilan gerakan pembaharuan, karena mampu meyakinkan pihak-pihak yang dulu menentang. Tetapi, di sisi lain, gagasan pembaruan menjadi usang dan tidak dirasakan lagi getarannya.
Oleh karena itu, pada dekade 1980-an bermunculan kritik ataupun otokritik yang dialamatkan Muhammadiyah. Beberapa kritik yang mengemuka antara lain; Muhammadiyah seperti gajah gemuk yang kesulitaan merespon perubahan sosial yang terjadi, struktur organisasi terlalu kaku-formalistik sehingga kurang luwes/fleksibel, terakhir, Muhammadiyah telah menjelma menjadi gerakan tradisional karena terjebak pada pembaruan yang dibawanya sendiri.
Di balik kritik ataupun otokritik yang demikian gencar, sebenarnya menyiratkan sebuah pesan penting bahwa, mereka menagih Muhammadiyah untuk memunculkan energi pembaharuan dalam rangka menjawab tantangan zaman baru. Karena konsepsi dan praksis baru yang dulu dianggap sebagai suatu pembaharuan, kini telah menjadi usang dan tidak dapat digunakan memecahkan masalah pendidikan yang dihadapi umat Islam.
Masalah mendasar yang dihadapi umat Islam pada dekade 1980-an adalah adanya krisis atau kelangkaan ulama. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi krisis ulama, lahir konsepsi baru, berupa “pesantren universitas”. Sejak awal, ciri khas pembaharuan Muhammadiyah bercorak praksis. Oleh karena itu, tidak lama berselang berdiri Pondok Hajjah Nuriyah Shobron yang berada dalam lingkungan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 1982.
Eksperimen baru ini relatif berhasil. Oleh karena itu, sejak akhir dekade 1990-an model pesantren universitas mulai diperluas ke Pergurauan Tinggi Muhammadiyah lain, sehingga hampir semua Universitas Muhammadiyah saat ini telah memiliki pondok dalam lingkungan kampus yang dikenal dengan Pesantren Mahasiswa (Pesma).
Dalam perkembangannya, konsep pesantren universitas juga diterapkan di (STAIN) UIN Maliki Malang sejak tahun 2000. Di sebelah lain, pun muncul konsep universitas pesantren, yakni suatu pesantren besar yang mampu melahirkan universitas. Konsep universitas berbasis pesantren ini dirintis oleh Universitas Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur sejak 2013.
Dari paparan data di atas dapat diketahui bahwa, konsep dan praktik universitas pesantren, atau pesantren universitas, dapat disebut eksperimen baru yang dilakukan Muhammadiyah sejak dekade 1980-an. Hanya saja proses pembaharuan pendidikan tinggi ini demikian halus dan sunyi, sehingga denyut pembaharuannya tidak begitu terasa.
Muhammadiyah Boarding School
Fenomena serupa juga terjadi pada tingkat sekolah menengah (SMP-SMA). Kehadiran Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School Yogyakarta, lebih dikenal dengan Muhammadiyah Boarding School (MBS), pada tahun 2008 merupakan suatu corak pembaruan. Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, tidak sedikit SMP-SMA Muhammadiyah yang meredup, bahkan gulung tikar. Dalam situasi demikian, hadirnya MBS menjadi angin segar dan energi baru untuk menata kembali sekolah menengah Muhammadiyah.
Eksperimen MBS dinilai sukses dan menjadi best practices yang dalam waktu satu dekade mampu menginspirasi daerah-daerah lain di Jawa. Bahkan, telah menembus pulau-pulau diluar Jawa. Mereka mengakui keberhasilan MBS dan berusaha mencangkok dan menanam kembali, tentu disesuaikan dengan kondisi Muhammadiyah masing-masing daerah yang demikian beragam.
Tentu masih banyak lagi prakarsa pembaharuan yang tumbuh dari bawah di mana untuk mengidentifikasinya memerlukan riset serius. Lebih dari itu, paparan dua fenomena pembaruan Muhammadiyah dalam kurun waktu sejak dekade 1980-an, pesantren universitas dan MBS, sudah dapat dijadikan petunjuk awal bahwa denyut pembaruan Muhammadiyah bukan berhenti, tetapi masih terus berlangsung.
Petunjuk awal ini memiliki makna mendalam, strategis, dan berdimensi luas. Sebab, gejala demikian mencerminkan Muhammadiyah, meski telah berusia seratus tahun lebih, masih memiliki energi pembaruan yang prima. Hal ini menunjukan bahwa persyarikatan Muhammadiyah merupakan suatu organisme yang hidup dan tumbuh, bukan monumen ataupun benda-benda purbakala yang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dimasukkan ke dalam musium sejarah.