Opini

Di Bawah Bayang-Bayang Sharp Power

4 Mins read

Seorang warga negara Tiongkok yang berstatus sebagai penduduk tetap di Australia ditangkap polisi di Canberra pada awal bulan ini. Ia menjadi tersangka atas dugaan kasus “foreign interference.” Menurut pemberitaan resmi, kasus ini adalah kasus yang ketiga yang terjadi di negeri kanguru.

Menurut otoritas Australia, berdasarkan dakwaan awal, disebutkan bahwa yang bersangkutan diduga secara sembunyi-sembunyi mengumpulkan informasi tentang organisasi keagamaan yang dilarang di Tiongkok, yakni Asosiasi Buddhis Guan Yin Citta Dharma cabang Australia.

Ia diduga menyuplai informasi untuk Biro Keamanan Publik Tiongkok. Karenanya, perkara ini dilaporan telah melanggar pasal “intervensi asing” (reckless foreign interference, sebagaimana diatur dalam section 92.3 of the Criminal Code Act 1995) dengan ancaman pidana 15 tahun lamanya.

Sejauh informasi publik yang tersedia, asosiasi yang dikategorikan “terlarang” oleh otoritas Tiongkok, dan didirikan oleh seorang tokoh kelahiran Shanghai penganut Buddhisme Mahayana, Lu Jun Hong, tidak berkaitan langsung dengan masalah “keamanan dan pertahanan nasional.” Selain itu, Hong juga tidak terlibat dalam dinamika politik praktis di Tiongkok.

Namun, justru hal ini menjadi penting diamati. Kasus ini dapat dipahami sebagai indikasi bahwa Partai Komunis Tiongkok sangat berkepentingan terhadap komunitas diaspora Tiongkok di Australia.

Bahkan, mereka menjalankan operasi yang tampaknya melanggar hukum Australia, demi mengawasi komunitas tersebut sesuai kepentingan Beijing. Mereka menerapkan kebijakan kontrol ideologi dan agama di dalam negeri Tiongkok, namun berdampak lintas negara.

Operasi Sharp Power

Kasus ini sering digunakan oleh para analis untuk menjelaskan bagaimana rezim politik tertentu menggunakan “sharp power” untuk lebih dari sekadar mengumpulkan informasi. Rezim politik tersebut juga mengawasi, menekan, dan mengendalikan komunitas-komunitas yang jauh di luar wilayah kedaulatan mereka.

Sharp power seringkali dipahami sebagai ekspansi pengaruh ke negara lain secara rahasia dengan metode yang tertutup dan tersembunyi. Hal ini berbeda dengan hard power dan soft power.

Jika mengukur kekuatan suatu negara dari segi ekonomi dan militer, seperti berapa banyak tentara atau kapal perang yang dimiliki, inilah hard power. Hal ini berkaitan dengan kemampuan memaksa negara lain untuk bertindak sesuai keinginan suatu negara melalui kekuatan militer dan dominasi ekonomi.

Baca Juga  Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

Jenis kekuatan ini tampak sekali ketika Presiden AS, Donald Trump, menekan negara-negara lain agar menerima perjanjian dagang yang timpang. Atau, ketika Rusia mengancam melakukan perang nuklir terhadap Eropa.

Sementara itu, beberapa negara juga menggunakan soft power untuk mendapatkan simpati masyarakat di negara lain. Misalnya, meski punya sejarah kolonialisme, Jepang pascaperang memegang kendali soft power yang besar di Asia dan dunia, berkat promosi kebudayaan yang dilakukannya. Hal yang sama dilakukan Korea, terutama melalui penyebaran masif Korean Pop (K-Pop), drama Korea dan kulinernya.

***

Sedangkan sharp power, hal ini mampu mengubah informasi yang sampai ke publik, lalu diam-diam membentuk cara pandang dan pilihan, sambil membuat orang berpikir dan merasa bahwa itu keputusan mereka sendiri.

Ini adalah penggunaan taktik tersembunyi, manipulatif, dan sering kali emosional untuk memengaruhi cara berpikir, mengambil keputusan, dan bertindak negara lain yang seringkali tanpa disadari oleh pihak yang dipengaruhi. Yang mengkhawatirkan, sharp power kadang memakai wajah yang tampak tidak berbahaya, seperti drama TV atau sinetron.

Seorang intelektual kritis, Joseph Nye, berpendapat bahwa perbedaan antara soft power dan sharp power terletak pada kebenaran dan keterbukaannya. Misalnya, ketika kantor berita resmi Tiongkok, Xinhua, beroperasi secara terbuka di negara lain, itu termasuk soft power. Tapi ketika China Radio International diam-diam mendanai 33 stasiun radio di 14 negara, hal itu dapat dikategorikan sebagai sharp power.

Ketika Rusia mencoba memengaruhi pemilu AS melalui kampanye disinformasi, itu juga dapat disebut sebagai operasi sharp power. Sementara itu, operasi sharp power juga dijalankan oleh India, yang berusaha menggerakkan para pendukungnya di Kanada untuk menentang pihak-pihak yang mendukung tuntutan kemerdekaan kelompok Sikh. Di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa menggunakan drama TV yang mengeksploitasi Kekaisaran Ottoman untuk mengekspor Islamisme dan otoritarianisme ke negara-negara mayoritas Muslim lain.

Baca Juga  Demokrasi Indonesia Merindukan Buya Syafii

Jadi, sharp power berfungsi membentuk narasi publik, mendorong polariasi, dan melemahkan kemampuan suatu negara untuk mengambil keputusan secara independen. Dalam konteks ini, komunitas diaspora kini menjadi medan baru dalam perebutan pengaruh.

Pelajaran dari Australia

Kasus yang terjadi di Canberra, menunjukkan bagaimana Beijing dapat beroperasi membentuk opini dengan menyusup ke organisasi lokal Tionghoa. Mereka juga bisa mengendalikan informasi dan menggerakkan orang-orang biasa untuk mendukung kepentingan politiknya.

Hal ini mengungkap bagaimana kekuatan tersebut menganggap diaspora yang memiliki kesamaan etnis, agama, atau budaya, sebagai bagian dari komunitas nasional mereka, dan berupaya memengaruhi mereka.

Universitas-universitas di Australia juga menjadi sasaran operasi sharp power ini. Akademisi yang mengkritik penindasan terhadap warga Tibet, Muslim Uighur, dan aktivis pro-demokrasi, mendapat tekanan dari kelompok-kelompok mahasiswa yang mendukung kepentingan sharp power.

Media berbahasa Mandarin di Australia pun semakin dipengaruhi oleh narasi sharp power. Media-media yang dulu independen, kini menerbitkan ulang konten-konten dari media yang dikendalikan negara, sehingga mempersempit keberagaman pandangan bagi warga Australia yang berbahasa Mandarin.

Melihat pola dari berbagai contoh tadi, menunjukkan bahwa kasus Canberra hanyalah satu bagian dari gambaran yang lebih besar. Ini bagian dari strategi yang disengaja dan terus berkembang yang digunakan berbagai kekuatan tangan besi.

Bagi masyarakat multikultural seperti Australia, tantangannya adalah merespons serangan sharp power otoriter secara tegas, namun tanpa menyisakan masalah bagi keterbukaan dan keberagaman, dua poros utama demokrasi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sepertinya belum memiliki instrumen hukum khusus, sebagaimana Criminal Code Act 1995 yang dimiliki Australia untuk menangani kasus campur tangan asing.

Selama ini, basis hukum yang memungkinkan digunakan untuk menangani masalah ini adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme.

Baca Juga  Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

Melalui keduanya, Badan Intelijen Negara (BIN), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki wewenang untuk memantau dan mencegah operasi pihak asing yang dianggap mengancam kedaulatan negara.

Di samping itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga memiliki mandat untuk memantau masalah disinformasi, propaganda digital, dan serangan siber yang punya potensi intervensi asing.

Masalahnya adalah, kedua regulasi hukum tersebut hanya menangani ancaman keamanan konvensional, bukan operasi pengaruh terselubung (covert influence operations), yang sifatnya manipulatif tapi tidak selalu berupa tindakan pidana. Akibatnya, sharp power yang bergerak senyap seringkali tidak terjangkau oleh pasal-pasal yang ada.

Demikianlah, Indonesia tampaknya memerlukan rencana besar yang konsisten untuk menghadapi masalah ini. Tentu saja, adanya instrumen hukum yang khusus akan lebih baik dan bersifat preventif.

*Artikel opini ini ditulis bersama dengan Tim Riset tentang Sharp Power, yakni Ihsan Yilmaz (Deputi Direktur di The Deakin Institute for Citizenship and Globalisation (ADI), Deakin University, Australia), Ana-Maria Bliuc (Associate Professor di bidang psikologi sosial, University of Dundee), John Betts (Dosen Senior di Monash University), dan Nicholas Morieson (Research Fellow di Deakin University).

Avatar
2 posts

About author
The Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation (ADI), Deakin University, Australia
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *