Di Bawah Lindungan Ka’bah – Tahun baru adalah pemaknaan harapan. Pemaknaan harapan itu jatuhnya bukan pada bagaiamana cara kita merayakannya, tetapi bagaiamana cara memaknainya. Pun dalam berbagai perjalanan hidup tahun sebelumnya bisa menjadi renungan ke belakang untuk menelanjangi kesalahan dan membaca apa-apa yang belum berhasil kita capai.
Pembacaan harapan kata orang-orang seringkali menghibur adalah “masa depan seperti tempe, tidak ada yang tahu.”
Sekalipun tidak ada yang mengatahui bagaiamana masa depan, beberapa orang memaknai harapan sebagai ketakutan yang penuh misteri. Karena harapan terkadang hadir tidak sesuai dengan kenyataan.
Seperti halnya seorang perempuan atau lelaki yang mengharapkan balasan cinta. Ketakutan akan ditolak atau diterima cinta itu menjadikan seseorang mengenal konsep pendekatan. Cinta dekat dengan pendekatan. Meskipun pendekatan itu hanya sebatas saling komentar status WhatsApp.
Memang dengan mudah bagaimana cara kerja cinta itu di masa sekarang. Cinta bekerja melantukan syair jail yang kadang bercanda. Teknologi menyediakan apa yang kita kenal sebagai emoticon-sebagai simbol ekspresi yang mewakili perasaan dalam fitur WhatsApp.
Konsep pendekatan itu menjadi lebih mudah dan cepat dalam era teknologi. Entah mudah diterima atau ditolak, setidaknya balasan pesan WhatsApp ada kalanya dimaknai sebagai tolok ukur seberapa besar peluang balasan cinta itu.
Berbicara tentang cinta, apalagi cinta seorang perempuan kepada laki-laki atau sebaliknya, kadang cinta itu membawa bahagia tetapi cinta terkadang menjelma menjadi duka. Beberapa tokoh terkemuka telah mendefinisikan cinta dengan berbagai kisah dan kata-kata. Agaknya bagi sebagian orang cinta bukan sesuatu yang perlu dikatakan, tetapi dibuktikan.
Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Sejalan dengan novel berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka. Novel ini mengajak pembaca untuk memahami bagaimana efek samping cinta perempuan dan laki-laki. Betapapun Sujiwo Tejo mengatakan bahwa cinta itu tanpa karena, mungkin kata itu tepat ketika orang itu sudah benar-benar cinta. Jadi tidak butuh imbuhan kata karena. Tetapi jika seseorang baik laki-laki atau perempuan itu tidak mengenal sebelumnya, cinta hanya sebatas rupa.
Melalui novel ini sepertinya pembaca benar-benar diberikan pelajaran bagaimana pentingnya menyampaikan sesuatu. Terutama menyampaikan rasa cinta kepada seseorang yang kita cintai.
Apalagi perasaan cinta kepada lawan jenis. Jika perasaan cinta itu tidak kunjung diucapkan akan menimbulkan tanya. Pertanyaan-pertanyaan akan cinta itulah yang menimbulkan otak dan hati seringkali tidak sejalan. Apalagi perasaan cinta terhadap lawan jenis.
Rasa kantuk pembaca seakan-akan hilang. Selain beberapa gigitan nyamuk yang sedikit mengganggu kenyamanan pembaca, ada yang lebih membuat mata pembaca kembali terbuka.
Tokoh Hamid dan Zainab yang diceritakan Buya Hamka membuat pembaca merasa ingin masuk ke dalam cerita dan memberitahu kepada Hamid bahwa Zainab sebenarnya juga mencintainya.
“Cinta itu adalah jiwa. Antara cinta sejati dengan jiwa tak dapat dipisahkan, cinta pun merdeka sebagaimana jiwa. Ia tidak memperbedakan di antara derajat dan bangsa, di antara kaya dan miskin, mulia, dan papa.” Hlm. 30
Dari kutipan di atas pembaca diberikan pendidikan bahwa cinta tidak mengenal gengsi. Melihat realitas sekarang, cinta masih saja dimaknai sebagai rasa yang sangat eksklusif.
Bagaimana cinta cocok jika dijalin oleh dua pasangan cantik dengan tampan, cantik kaya dengan tampan kaya, polisi dengan perawat, ustadz dengan ustadzah, umur antara perempuan dan laki-laki ideal dan segala macam cocok dalam pengertian umumnya.
Tokoh Hamid dalam novel ini sudah terjebak dengan pengertian umum seperti pembaca jelaskan di atas. Ketakutan-ketakutan untuk mengutarakan cinta kepada Zainab-perempuan yang dicintainya kini ibarat kasih tak sampai.
***
Sebelum mengetahui bagaimana perasaan Zainab, Hamid sudah lebih dulu putus asa dan dihantui ketakutan serta kekhawatiran. Andai Hamid lebih berani sedikit. Semoga tidak ada Hamid-Hamid yang lain pada masa sekarang ini.
Pembaca sebenarnya sudah melihat isyarat perasaan cinta itu sudah saling diketahui oleh keduanya. Namun semuanya hanya simbol.
Gugup, gemetar, tenang, nyaman, dan rindu harus disadari manusia sebagai efek samping dari cinta. Jangan karena wanita seperti Zainab dan laki-laki seperti Hamid-seseorang menyiksa diri sendiri dengan perasaan cinta yang dipendam karena saling menunggu.
Meskipun Buya Hamka memasukan tokoh-tokoh dalam memaknai rasa cinta kepada pembaca, tetapi pembaca yakin ada makna lain yang hendak diucapkan secara tersirat.
Seperti dalam pendidikan misalnya, jangan karena kita merasa sebagai orang serba kekurangan harta akhirnya mengurungkan rasa cinta untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan hingga terjebak dalam keputusan yang fatal.
Selain itu, Buya Hamka memberikan isyarat kepada pembaca bagaimana jiwa manusia sama dihadapan Allah SWT. Cinta manusia kepada Allah SWT tidak diwujudkan dengan banyaknya harta di dunia, tetapi bagaimana cara kita mengekspresikan perasaan cinta kepada-Nya. Jangan sampai kita menunggu masa tua untuk menyatakan dan mengekspresikan rasa cinta kita kepada Allah SWT.
Terakhir, pembaca merasa perlu menyampaikan bahwa novel ini cukup ringan dan releven dengan realitas asmara anak muda sekarang. Pentingnya memaknai cinta disampaikan secara jelas dan dikemas dengan kata-kata yang mudah untuk dipahami. Selamat membaca.
Judul Buku | : Di Bawah Lindungan Ka’bah |
Penulis | : Buya Hamka |
Penerbit | : Gema Insani |
Kota Terbit | : Jakarta |
Cetakan, Tahun Terbit | : 2017 |
Tebal Buku | : x + 94 hlm, 20,5 cm |
ISBN | : 978-602-250-417-7 |
Editor: Yahya FR