Perspektif

Di Luar Negeri Akademisi Tidak Perlu Scopus

1 Mins read

Baru baca Tempo edisi terbaru (30 Januari 2021) tentang “Wajah Kusam Kampus“. Untuk menggenjot ranking kampus dan kenaikan pangkat, saya baca ada yang merogoh kocek hingga belasan juta untuk bisa terbit di jurnal terindeks Scopus. Ini baru dengar, cerita beginian. Saya gak tahu, apa ini langkah maju atau sebaliknya.

Setahu saya, kampus-kampus di luar negeri tidak meributkan dan mewajibkan akademisinya untuk nulis di jurnal berindeks Scopus. Scopus juga tidak menjadi syarat kenaikan pangkat atau rangking keren-kerenan lainnya. Padahal, tulisan-tulisan ilmuwan dan akademisi ini juga bertebaran di jurnal-jurnal yang terindeks Scopus tadi.

Sepengalaman saya di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapore, Centre d’etudes Sociologiques et Politiques Raymond Aron (CESPRA), EHESS Paris, dan sekarang di Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon, France, peneliti, akademisi, dan mahasiswa doktor didorong untuk meneliti, menulis, dan menerbitkan karyanya dengan bertanggung jawab, supaya impactfull, berdampak luas bagi dunia akademik dan ilmu pengetahuan.

***

Saya mulai menulis di lapak akademik internasional sejak 2018. Prosesnya tidak instan; perlu riset, baca, dan peer review ketat. Satu commentary (1000 kata) bisa seminggu-dua minggu baru diterbitkan. Untuk tulisan jurnal atau book chapter bisa tahunan prosesnya. Bolak-balik revisi sana-sini oleh reviewers adalah periode yang menguras energi. Tapi, saat tulisan atau karya, akhirnya, terbit, kepuasan batiniah menggelegak.

Sejak mahasiswa di Jogja, saya menulis di koran nasional dan lokal. Tujuannya, sederhana, untuk bertahan hidup. Lumayan, menulis satu kolom dan opini di koran nasional pada 2003 misalnya bisa dapat uang jajan 150-450 ribu rupiah. Sekarang, tentu lebih besar daripada itu. Karena menulis itulah, saya tak perlu minta kiriman bulanan dari orang tua lagi. Sekarang, saya tidak tahu berapa jumlahnya. Mungkin, nanti, saya akan tagih tulisan-tulisan saya sejak 2012 yang pernah terbit ke bendahara redaksi media-media nasional. Itung-itung nabung. Lumayan.

Baca Juga  Gus Ulil: Agar Kita tidak Terjerat Tipuan Dunia

Maka, bagi saya yang menjadikan dunia tulis menulis sebagai “mata pencaharian”, membaca laporan dan kabar seorang dosen di sebuah PTN sanggup merogoh kocek 13 juta rupiah untuk jurnal predator yang di-scopuskan, adalah sebuah absurditas. Belum lagi tingkah polah plagiarisme sebagian akademisi kampus untuk menangguk jabatan akademik atau politik. 

Semoga, rejim peringkat apapun itu tidak menjadikan dunia pendidikan di Indonesia terperangkap dalam “sihir surealis” atau “simulakra” abrakadabra. Dunia seolah-olah. Dunia imaji. Untuk memajukan mutu pendidikan di tanah air, kata para ahli pendidikan, kerja keras, jujur, bertanggung jawab itulah kuncinya. Bukan budaya instans dan polesan. 

Tapi siapa yang mau menekuni dunia akademik yang sunyi, sepi, dan melelahkan ini?

Editor: Yahya FR

Avatar
11 posts

About author
Santri S3 Filsafat dan Epistemologi, Ecole Normale Superieure (ENS) de Lyon, France; Staf Pengajar Ilmu Qur'an dan Tafsir (IQT), Universitas Muhammadiyah Surakarta; Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta; Associate Research Fellow, Institute of Defence and Strategic Studies, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University of Singapore
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds