Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-48, saya teringat apa yang pernah saya ikut lakukan untuk mengembangkan Muhammadiyah. Tidak kurang dari 20 tahun, saya merasa ikut berjuang di organisasi Islam ini, baik sebagai pengurus maupun sebagai pejabat di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam kepengurusan organisasi, saya tidak kurang dari 10 tahun menjadi Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Daerah dan juga sebagai anggota Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah. Di antara hal yang mengesankan bahwa aktif di kegiatan Muhammadiyah, tidak terasa sebagai bekerja. Tetapi lebih sebagai berjuang. Antara bekerja dan berjuang dapat dibedakan dengan mudah.
Antara Bekerja dan Berjuang
Istilah bekerja dapat diartikan sebagai melakukan kegiatan untuk mendapatkan uang, upah, imbalan, atau gaji. Hubungan antara pekerja dan lembaga tempat melakukan pekerjaan itu seperti buruh dan majikan.
Para pekerja diharapkan bekerja secara maksimal, agar mendapatkan produk yang tinggi. Sehingga lembaganya mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan itu adalah berjuang. Berjuang adalah melakukan sesuatu tanpa didorong untuk mendapatkan apa-apa, kecuali agar bisa memberi sesuatu yang terbaik.
Dalam tulisan pendek ini, saya tidak mungkin mengungkapkan banyak hal tentang apa saja yang pernah saya lakukan selama 20 tahun tersebut. Pada tulisan berikut, saya hanya akan mengungkapkan beberapa hal saja yang saya anggap terasa penting dalam berjuang di organisasi Muhammadiyah, dan kemudian, mungkin berguna. Saya bandingkan dengan suasana bekerja di instansi pemerintah.
Bekerja di Muhammadiyah vs di Instansi Pemerintah
Sebelum lulus IAIN, sekitar tahun 1975, saya diajak oleh Prof Masyfu’ Zuhdi, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, untuk menjadi tata usaha di kampus yang sedang ia pimpin.
Ketika itu, keadaan perguruan tinggi tersebut masih sangat kecil, berada di jalan Bandung 1, yang sekarang digunakan untuk gedung Pascasarjana. Bangunannya juga masih sederhana sekali. masih berlantai satu dan digunakan secara bersama-sama dengan sekolah tingkat menengah Muhammadiyah.
Setelah beberapa lama kemudian, yaitu pada tahun 1983, terjadi perubahan kepemimpinan. Saya ditunjuk sebagai Wakil Rektor I yang sebelumnya menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Penunjukkan saya pada jabatan itu sama sekali bukan didasarkan oleh karena keistimewaan. Misalnya karena saya memiliki keunggulan atau kewibawaan akademik, yang mana, saya masih sangat junior untuk itu.
Melainkan, hanya karena saya memiliki semangat dan kesanggupan bekerja tekun dan keras. Bekerja di kampus ini dilakukan sepanjang waktu dari pagi, sore, hingga malam hari. Sekalipun begitu, tidak ada istilah lembur, sebab semangatnya adalah berjuang dan bukan sekadar bekerja.
Muhammadiyah Enterpreneurship, Pemerintah Birokratis
Suasana batin bekerja di Muhammadiyah, memang berbeda dengan di instansi pemerintah sebagai PNS. Sekalipun kedua-duanya, misalnya, adalah lembaga yang bernapaskan Islam. Berjuang di Muhammadiyah, semangatnya adalah memberi dan melakukan sesuatu yang terbaik.
Ukuran keberhasilannya adalah kemajuan yang bisa dilihat dari waktu ke waktu. Sedangkan di birokrasi pemerintah, ukuran keberhasilan itu agaknya lebih sederhana. Yaitu keharusan adanya tertib sekalipun dengan itu tidak menguntungkan dan bahkan rugi.
Berjuang di lingkungan Muhammadiyah terasa ada jiwa entrepreneur yang harus dikembangkan dan hal itu sangat berbeda yang terjadi di instansi pemerintah. Bekerja di Muhammadiyah, selain dituntut ikhlas, adalah juga harus produktif.
Istilah menghabiskan anggaran sebagaimana selalu terdengar di instansi pemerintah, di Muhammadiyah tidak dikenal. Sebab, anggaran itu harus dicari sendiri dan juga dibelanjakan sendiri untuk pengembangan amal usaha Muhammadiyah. Sekalipun tidak ada anggaran, maka kegiatan dan kemajuan harus diperoleh dari tahun ke tahun.
Orientasi tersebut sangat berbeda dari yang berlaku di instansi pemerintah. Pada setiap awal tahun, anggaran di pemerintah sudah ditetapkan jumlahnya. Besarnya selain didasarkan pada penyerapan tahun sebelumnya, juga atas pertimbangan usulan yang telah diajukan sebelumnya.
Hal demikian itu secara psikologis tidak akan menumbuhkan suasana berjuang, melainkan keharusan bekerja agar penyerapan anggaran bisa dilakukan secara tepat. Keharusan menyerap anggaran, dianggap lebih penting daripada sekadar menghasilkan produk yang banyak, murah, dan berkualitas. Di instansi pemerintah suasananya sangat birokratis, dan sebaliknya, di Muhammadiyah sangat entrepreneurship.
Penggunaan Dana Anggaran
Berikut adalah contoh sederhana dalam penggunaaan anggaran yang saya lakukan di Muhammadiyah. Sebagai Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, ketika memiliki anggaran sebesar Rp 100 juta untuk pembelian buku perpustakaan, maka dengan uang sebesar itu, akan saya dapatkan buku seharga Rp 150 juta.
Penambahan nilai Rp 50 juta itu adalah dari diskon pembelian itu. Pembelian buku dalam jumlah besar pasti bisa didiskon hingga 35 persen. Diskon itu saya minta dirupakan dalam bentuk buku. Padahal diskon 35 persen dari harga buku itu, juga akan mendapatkan diskon lagi, dan seterusnya. Akhirnya, dana Rp 100 juta akan mendapatkan buku seharga Rp 150 juta tersebut.
Hal seperti itu sangat berbeda dengan pengadaan di instansi pemerintah. Dana Rp 100 juta di insnatsi pemerintah hanya akan bisa dirupakan buku sekitar 75 persen saja. Selebihnya adalah untuk membayar pajak, panitia pengadaan, panitia lelang, dan belum lagi yang lain-lain yang kadang lebih besar lagi.
Pemborosan seperti itu masih dibenarkan oleh pihak pengawas keuangan asalkan dilakukan dengan tertib. Dalam soal penggunaan anggaran, bagi instansi pemerintah, yang dipentingkan adalah tertib, dan bukan pada nilai keuntungan.
Sekalipun mahal, asalkan tertib, maka disebut baik, dan sebaliknya, sekalipun lebih beruntung tetapi kurang tertib sedikit saja, maka akan dianggap salah.
Muhammadiyah bisa mewujudkan berbagai kegiatan usaha, seperti mendirikan dan mengembangkan berbagai jenjang lembaga pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi, pelayanan kesehatan, dan lain-lain, adalah oleh karena di sana dikembangkan jiwa entrepreneurship dan jiwa perjuangan itu.
Sementara di instansi pemerintah lebih dikembangkan jiwa birokratis hingga terasa kaku. Padahal birokrasi itu di mana saja, tatkala hanya mengedepankan tertib administrasi, akan terjerumus pada budaya formalisme dan justru sangat dimungkinkan terjadi banyak kebocoran dan manipulasi.
Atas dasar kenyataan dan pandangan itu, saya berkali-kali mengusulkan agar di lingkungan pemerintah dikembangkan entrepreneur birokrasi. Tapi, sayangnya, usul itu tidak pernah mendapatkan respons.
Dampak yang Positif
Apa yang saya lakukan dalam memimpin kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selama menjabat rektor sehingga dianggap ada dinamika dan perkembangan dari waktu ke waktu, baik dari aspek fisik, kelembagaan, ketenagaan, dan lain-lain, adalah karena sedikit banyak saya kembangkan pendekatan entrepreneur birokrasi.
Namun, lagi-lagi, seringkali saya sebagai pimpinan mendapatkan teguran dan atau dianggap salah, oleh karena ditemukan ada hal-hal yang dinilai kurang disiplin dan tertib, sekalipun diakui bahwa sebenarnya dengan pendekatan itu menjadi lebih maju dan berkembang. Wallahu a’lam.
.