Mayoritas umat Islam memandang aliran keislaman Sunni dan Syi’ah sebagai dua kutub aliran keislaman yang berbeda. Bahkan kerap diposisikan sebagai aliran keislaman yang saling berlawanan satu sama lain. Warisan sejarahlah yang memproduksi dan mengkonstruksi paradigma tersebut di tengah masyarakat muslim hari ini. Itu pula yang mengakibatkan umat muslim saat ini terjebak dalam kubangan sentimen keislaman yang merasa paling benar menurut kelompoknya masing-masing.
Membuminya dua kutub keislaman itu tak lepas dari peran negara-negara di Timur Tengah sebagai cikal bakal paham tersebut berasal. Iran diyakini hingga kini sebagai negara yang paling getol menyebarkan paham Syi’ah ke seluruh daratan muslim di dunia. Sementara paham Sunni disebarkan oleh Arab Saudi sebagai negara yang getol menggeliatkan paham tersebut.
Di masing-masing negara tersebut garis demarkasi antara Sunni dan Syi’ah begitu jelas terlihat. Yang jadi Pertanyaan, bagaimana pengaruh kedua paham tersebut bagi muslim di wilayah lain terutama di Indonesia, apakah terpengaruhi sunni atau syiah?
Sunni-Syiah
Sebelum melihat pengaruh Sunni dan Syi’ah di Indonesia, terlebih dahulu kita mesti mengetahui siapa itu Sunni dan siapa itu Syi’ah. Secara garis besar para sejarawan Islam mengatakan bahwa Sunni itu adalah mereka yang secara  aliran teologis menganut paham Asy’ariyah-Maturidiyah. Sedangkan secara aliran fikih mengacu pada empat imam mazhab yaitu mazhab Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedangkan Syi’ah adalah mereka yang meyakini bahwa tampuk kepemimpinan umat islam pasca Rasul wafat harus diserahkan pada imam (imamah). Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam pertama pasca Rasul wafat.
Umat islam di Indonesia sebagaimana yang kita lihat mayoritas adalah beraliran dan berpaham Sunni, karena secara teologis banyak menganut paham Asy’ariyah-Maturidiyah. Salah satu ajarannya yaitu tentang sifat-sifat Allah yang dibagi pada tiga sifat yaitu sifat wajib, zaid, dan mustahil bagi Allah Swt. Sementara dalam praktek ibadah, umat Islam Indonesia banyak mengadopsi paham empat imam mazhab di atas terutama paham mazhab Syafii yang paling banyak dianut.
Walaupun mayoritas beraliran Sunni, namun pengaruh tradisi atau paham Syi’ah juga mendapatkan tempat di Indonesia. Akan tetapi hal ini jarang disadari dan seolah-olah itu adalah tradisi keislaman  kelompok Sunni semata. Oleh karena itu, di negara Indonesia terjadi suatu dialog Sunni dan Syiah yang berbeda dengan negara-negara muslim di Timur Tengah. Jika dialog Sunni dan Syiah di negara Timur Tengah penuh ketegangan, terutama karena masalah politik, di negara Indonesia dialog Sunni dan Syi’ah dalam beberapa tradisi keagamaan relatif damai walau dalam hal politik juga sedikit bersitegang.
Dialog Dalam Tradisi Keagamaan
Menurut Al Hadar, yang dikutip oleh Taufani, dkk (2018 : 24) dalam buku Merawat Kewarasan Publik, Sunni di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Syi’ah. Hal tersebut ditunjukan dengan beberapa hal berikut:  Pertama, banyak penghormatan pada ahlul bait (keturunan Nabi Muhammad melalui garis pernikahan Ali Bin Abi Thalib dengan Fatimah).
Penghormatan tersebut  misalnya dalam bentuk maulidan, shalawatan, dan tawassul. Selain itu, penggunaan nama gelar dalam masyarakat muslim Indonesia seperti gelar habib, sayyid, syarifah kepada mereka yang memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad juga merupakan bentuk penghormatan yang biasa dilakukan kelompok syiah.
Kedua, tradisi pemuliaan kepada mereka yang telah meninggal maupun kuburannya. Terlebih jika yang meninggal tersebut adalah para ulama. Yaitu melalui tradisi ziarah kubur, tahlil, haul, dan sebagainya.
Ketiga, menilai lawan dan keturunannya Ali (dalam hal ini adalah Muawiyah dan Yazid) sebagai kafir. Hadar menyebutkan bahwa tradisi tersebut sangat kental terutama di beberapa daerah. Seperti di daerah masyarakat Aceh (Hikayat Soydina Usen), Madura (Caretana Yazid Calaka), Jawa (Serat ‘Ali Ngapiyah Mateni Yazid), dan Sunda (Wawacan Yazid).
Merekatkan Kelompok Keislaman
Terlepas dari poin ketiga di atas, dialog Sunni dan Syiah dalam tradisi keagamaan tersebut menurut penulis merupakan modal dasar. Modal ini dapat digunakan untuk mempersatukan kembali kelompok keislaman yang selama ini terpecah belah. Karakter Islam sebagai agama yang menghargai perbedaaan harus punya tempat dalam negeri ini. Apalagi jika hanya berbeda dalam paham keagamaan. Mestinya sebagai saudara seiman tidak perlu saling menyalahkan atau mengkafirkan saudaranya.
Pesan penting untuk menghargai perbedaan pendapat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Hujurat ayat 13 adalah supaya saling mengenal dan bersilaturahmi antar suku, ras, warna kulit atau peradaban. Ironinya, umat Islam di negara kita terlalu ketakutan jika ada orang yang mempunyai paham keislaman yang berbeda dari mayoritas.
Hal tersebutlah yang mengakibatkan di negara kita sedikit melahirkan cendekiawan muslim yang mendunia. Karena, ketika ada orang yang memproduksi pemikiran keislaman yang berbeda sedikit saja sudah banyak yang mencela atau menghujat, bukan dihargai.
editor: Yusuf R Y