Tafsir

Makna Sebenarnya Diinul Qayyim

4 Mins read

Diinul Qayyim

Diinul Qayyim (Qs. Al-Bayinah: 5) adalah agama yang tegak dan adil, atau maknanya agama yang lurus lagi pertengahan (wasatiyah). Ada tiga golongan yang ditembak ayat ini, yaitu orang kafir, ahli kitab, dan orang musyrik. Tiga golongan ini menentang keras dakwah Rasulullah. Mereka minta bukti-bukti nyata. Setelah bukti nyata itu datang, mereka tetap tidak beriman.

Adapun yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, sedangkan orang-orang musyrik adalah para penyembah berhala dan api. Baik dari kalangan bangsa Arab maupun bangsa ‘Ajam (non-Arab). Mujahid mengatakan bahwa mereka tidak mau berhenti alias tidak mau meninggalkan agama mereka sebelum jelas bagi mereka perkara yang hak.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Dalam ayat ini, Allah meluruskan konsep terhadap Ahlul Kitab. Allah memerintahkan kepada mereka melalui Rasulullah dan umatnya agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan beragama yang lurus. Allah memerintahkan agar mendirikan shalat dan membayar zakat. Dua hal itulah yang disebut beragama yang lurus (Diinul Qayyim).

***

Jabaran ideal yang diharapkan Allah adalah keseimbangan antara dunia akhirat. Sebagaimana dalam Qs. Qashash: 77, ada empat jabaran dari Diinul Qayyim yang harus dicari itu, yaitu: kebahagiaan negeri akhirat, kenikmatan dunia, dan berbuat baik kepada orang lain, serta jangan berbuat kerusakan di bumi.

Dalam Qs. Hud: 15-16, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dengan balasan sempurna di dunia dan tidak dirugikan. Tetapi apa yang mereka usahakan itu di akhirat akan lenyap sia-sia.

Sehubungan dengan ayat ini, Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya orang-orang yang suka riya’ (pamer dalam amalnya), maka pahala mereka diberikan di dunia ini.

Demikian itu karena mereka tidak dianiaya barang sedikit pun. Ibnu Abbas mengatakan, “Barang siapa beramal saleh untuk mencari keduniawian, seperti melakukan puasa, atau shalat, atau bertahajud di malam hari, yang semuanya itu ia kerjakan hanya semata-mata untuk mencari keduniawian, maka Allah berfirman, ‘Aku akan memenuhi apa yang dicarinya di dunia, ini sebagai pembalasannya, sedangkan amalnya yang ia kerjakan untuk mencari keduniaan itu digugurkan, dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi’.” (Tafisr Ibnu Katsir).

Baca Juga  Makna Istiwa' dalam Ta'wil Mutawalli asy-Sya'rawi

Dalam surat Al-Isra’: 19 Allah menjanjikan kepada sesiapa saja yang menghendaki kehidupan akhirat, berusaha ke arah itu, serta dia mukmin, Allah akan memberi balasan yang baik yakni tidak dirugikan dan tidak akan lenyap.

Inti dari Diinul Qayyim

Inti dari Diinul Qayyim adalah ikhlas. Hakikat ikhlas itu, kata Imam Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumidiin jilid 9 halaman 69 mengatakan, “Secara global, setiap keuntungan dari keuntungan dunia itu jiwa merasa senang kepadanya, sedikit atau banyak apabila ia berjalan kepada amal, maka karunia-Nya menjadi kotor dengannya dan keikhlasannya hilang.”

Oleh karena itulah, barangsiapa selamat dari umurnya sekejap dengan ikhlas beribadah karena wajah Allah, maka ia selamat dari api neraka. Demikian itu karena kemuliaan ikhlas dan sulitnya membersihkan hati dari campuran-campuran duniawi.

Orang kalah adalah orang yang menyangka bahwa dirinya sudah beramal sebaik-baiknya. Padahal amalnya itu hancur karena ketidakikhlasannya seperti bukit es yang meleleh terkena panas matahari.

Sahl RA berkata, “Ikhlas adalah tenang dan gerakan-gerakannya karena Allah ta’ala secara khusus”. Ruwaim berkata, “Ikhlas dalam amal adalah bahwa pelakunya tidak menghendaki imbalan atas perbuatannya itu pada dua negeri.”

Imam Ghazali mengatakan, “Orang yang beramal untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan nafsu syahwat adalah orang-orang yang sakit. Adapun orang-orang yang beramal karena mengharap surga dan takut neraka, maka dia adalah orang-orang yang ikhlas jika dibandingkan dengan keuntungan yang segera. Kalau tidak, maka mereka dalam mencari keuntungan perut dan farji.

Ada orang mengatakan, “Manusia tidak bergerak kecuali dengan keuntungan. Dan terlepas dari keuntungan-keuntungan adalah sifat ketuhanan.” Barangsiapa mendakwahkan demikian adalah orang kafir.”

***

Imam Ghazali berkisah: pada masa lalu, ada seorang ‘abid menyembah Allah dalam masa yang lama, lalu suatu kaum datang, lantas mereka berkata, “Sesungguhnya di sini terdapat suatu kaum menyembah pohon, tidak menyembah Allah.”

Baca Juga  Tiga Alasan Islam Selalu Relevan dengan Berbagai Ruang dan Waktu

Maka ‘abid marah, ia mengambil kapaknya dan menuju ke pohon itu untuk memotongnya. Lalu iblis dalam bentuk seorang syekh menyambutnya, dan bertanya, “Ke mana kamu hendak pergi? Mudah-mudahan Allah memberkatimu.”  Abid itu menjawab, “Saya hendak memotong pohon itu.”

Iblis bertanya, “Apa masalahmu dengan pohon itu? Kamu telah meninggalkan ibadahmu, kesibukan dirimu, dan kamu mengosongkan dirimu?”

Maka Abid menjawab, “Sesungguhnya ini bagian dari ibadahku.”

Iblis berkata, “Saya tidak akan membiarkanmu” Lalu iblis memeranginya. Lantas Abid menangkap Iblis dan membanting ke tanah dan ia duduk di atas Iblis.

Lalu Iblis berkata, “Lepaskan, izinkan saya berbicara kepadamu.” Lalu Abid berdiri. Iblis berkata, “Hai orang! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggugurkan memotong pohon ini darimu dan tidak mewajibkannya atasmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai para nabi di seluruh penjuru bumi. Jikalau Dia berkehendak, maka Dia mengutus nabi itu kepada penduduk bumi dan Dia menyuruh mereka untuk memotong pohon itu.”

Maka Iblis berkata lagi kepada ‘Abid, “Ini pohon saya. Tapi apakah kamu mempunyai keputusan tentang suatu perkara kita ini yang lebih baik dan lebih berguna bagimu?”

Abid itu berkata, “Lalu, apa itu?”

Maka Iblis berkata kepadanya, “Kamu itu orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Sesungguhnya kamu adalah beban manusia yang lain menanggungmu. Apakah kamu tidak dan ingin melebihi saudara-saudaramu, dan membantu tetangga-tetanggamu, kamu kenyang dan tidak memerlukan manusia.”

Abid itu menjawab, “Ya.”

***

Iblis berkata, “Kembalilah dari urusan ini. Saya akan meletakkan di dekat kepalamu setiap malam dua dinar, bangun tidur maka mengambilnya. Lalu kamu belanjakan untuk dirimu dan keluargamu. Kamu dapat bersedekah kepada saudara-saudaramu.” Maka demikian itu lebih berguna bagimu dan bagi kaum muslimin daripada kamu memotong pohon itu. Memotongnya tidak akan mendatangkan bahaya sedikitpun kepada mereka. Kamu memotong pohon itu tidak akan membawa manfaat bagi saudara-saudaramu yang mukmin”.

Baca Juga  Kota Cordoba, Pusat Peradaban Islam di Eropa

Maka, Abid itu berpikir tentang maksud perkataan Iblis. Ia berkata, “Syekh, itu benar. Saya bukan seorang nabi, mengapa saya harus memotong pohon ini dan Allah tidak menyuruhku agar memotongnya, lalu saya durhaka dengan memotongnya. Dan apa yang kamu sebutkan itu lebih banyak manfaatnya.”

Maka, Iblis berjanji kepadanya untuk menepati janjinya tersebut dan bersumpah baginya. Lalu Abid itu kembali ke tempat ibadahnya lantas ia bermalam. Ketika pagi-pagi, maka ia melihat dua dinar di dekat kepalanya, lalu mengambilnya. Begitu pula keesokan harinya, kemudian pada pagi hari yang ketiga dan seterusnya, maka ia tidak melihat apa-apa.

Maka Abid itu marah dan mengambil kapaknya di atas pundaknya, lalu Iblis menyambutnya dalam bentuk seorang syekh, lalu bertanya kepadanya, “Ke mana?”

***

Abid itu menjawab, “Saya akan memotong pohon itu.” Iblis berkata, “Kamu berdusta, demi Allah kamu tidak mampu berbuat demikian dan tidak ada jalan bagimu kepadanya,”

Lantas Abid itu memegangnya, terjadi perkelaian seperti yang telah dilakukan pertama kali.

Iblis berkata, “Amat jauh.” Lalu Iblis menangkapnya dan membantingnya. Abid lalu pingsan di antara kedua kakinya. Iblis itu duduk di atas dadanya seraya berkata, “Berhentilah dari urusan ini atau saya menyembelihmu?”

Maka, Abid itu melihat, tidak ada kemampuan baginya untuk mengalahkannya. Ia berkata, “Hai Syeh, ini kamu telah mengalahkanku, maka lepaskanlah aku dan beritahukanlah kepadaku bagaimana saya mengalahkanmu pertama dan kamu mengalahkanku sekarang.

Iblis menjawab, “Sesungguhnya kamu pertama marah karena Allah dan hatimu adalah akhirat, lalu Allah menundukkanku bagimu. Dan kali ini kamu marah karena dirimu dan karena dunia. Lalu saya banting kamu.

Editor: Yahya FR    

Avatar
77 posts

About author
Majelis Pustaka PCM Semin
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds