Ramadhan 1443 H sebentar lagi akan kita jumpai. Dalam rangkaian pelaksanaan ibadah Ramadhan, kita kembali diingatkan tentang kewajiban membayar zakat. Zakat merupakan bagian dari arkanul iman yang keempat. Ia bagian dari ibadah mahdhah di antara ibadah mahdhah lainnya, yaitu shalat, puasa, dan haji.
Ciri khas dari ibadah mahdhah adalah memiliki aturan yang jelas, yaitu berdimensi ruang dan waktu. Misalnya, shalat. Shalat bukan sekedar ibadah yang dipersembahkan oleh makhluk kepada Sang Khaliq, melainkan di dalam shalat berjamaah terkandung ajaran yang sangat bijak, yaitu leadership dan followership.
Shalat juga dipahami sebagai suatu ibadah yang berdimensi sosial. Kita tahu bahwa di dalam leadership dan followership shalat berjamaah ada aturan main menyangkut ruang dan waktu yang demokratis, rapi, dan diatur amat jelas.
Begitu pula dengan zakat. Zakat jelas bukan merupakan ibadah yang hanya bersifat vertical (hablum minallah), melainkan memiliki dimensi horizontal (hablum minannas). Manfaat penunaian zakat yang baik secara vertical akan tercipta pribadi yang bertakwa dan memiliki iman yang kuat.
Sedangkan, manfaat secara horizontal yaitu terciptanya akhlak yang baik kepada sesama manusia. Zakat yang kita bayarkan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu. Itu artinya, menunaikan zakat telah menumbuhkan kepekaan sosial dalam diri kita.
Mahabesar Allah yang telah mengatur dengan jelas tata cara menunaikan zakat. Ia memerintahkan kepada kita untuk menunaikan zakat dengan ketentuan yang sudah pasti dan tidak menyusahkan kita.
Kewajiban Membayar Zakat
Bagi muslim yang dewasa, mampu dan sudah memenuhi nishabnya maka wajib membayar zakat. Baik itu zakat fitrah, zakat profesi, zakat mal, zakat pertanian, ataupun zakat perdagangan.
Untuk zakat fitrah, di Indonesia, bahan makanan pokok dikonversi ke dalam bentuk beras karena makanan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Seiring perkembangan zaman, pembayaran zakat dengan beras dikonversi kembali ke dalam bentuk uang seharga beras pada masa itu.
Di era milenial ini, beberapa amil zakat bahkan telah me-launching aplikasi zakat online menyesuaikan dengan e-commerce, misalnya Zakatpedia, Zaki, dan Lazismu.
Zakat yang telah terkumpul tersebut kemudian diberikan oleh lembaga amil zakat kepada delapan penerima yang telah ditentukan Allah, yaitu Faqir (orang yang tidak memiliki harta), Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), Riqab (hamba sahaya atau budak), Gharim (orang yang memiliki banyak hutang), Mualaf (orang yang baru masuk Islam), Fisabilillah (pejuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan), Amil (panitia penerima dan pengelola dana zakat).
Sholeh Spiritual dan Sholeh Sosial
Allah sering menggandengkan perintah shalat sebagai bentuk kesholehan spiritual dengan zakat sebagai bentuk kesholehan sosial, seperti dalam ayat berikut.
… dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan (Al-Baqoroh: 110).
Maka ini menunjukan bahwa kesholehan sosial akan berjalan bersamaan dengan kesholehan spiritual. Jadi, sangat tidak mungkin bagi siapa yang terus meningkatkan kesholehan spritualnya kepada Allah, namun kesholehan sosial terhadap sesama manusia masih kurang. Lalu di mana letak kesalahannya?
Ketika kita melaksanakan ibadah-ibadah ritual yang hubungannya langsung kepada Allah, serangkali kita menganggap hanya sebagai kewajiban saja yang akibatnya kita hanya melakukan formalitas dalam ibadah kepada Allah.
Seperti kita shalat dan membaca Al-Qur’an seringkali kita tidak mengerti dan paham apa yang kita baca. Akibatnya, kita tidak khusyu’ untuk melakukan ibadah itu berbekas di dalam perilaku kita, khususnya pada kesholehan sosial kita.
***
Dalam pengertian tauhid seperti itu, maka tampak sekali karena ada kesatuan kemanusiaan, tentu harus ditegakkan keadilan yang komprehenshif atas masyarakat manusia. Konsep tauhid tidak mengenal dan tidak membolehkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, bahkan pertimbangan etnis sehingga keadilan sosial yang komprehenshif harus ditegakkan oleh manusia-manusia beriman.
Dalam kaitan dengan ini, kita mengetahui bahwa benang merah agama Islam adalah keadilan. Kaum orientalis sering membedakan kalau agama nasrani disebut sebagai religion of love (agama cinta kasih) maka Islam adalah religion of justice (agama keadilan).
Malah ada sementara sosiolog dan antropolog mengatakan, karena Islam merupakan religion of justice maka secara potensial setiap orang Islam dapat menjadi trouble maker bagi kemapanan yang tidak adil.
… dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil (al-Hujurat:9)
Ibnu Hazm, seorang ulama kelahiran Spanyol yang sangat tajam pemikirannya, dalam buku Al-Muhalla menafsirkan ayat tersebut dengan ilustrasi berikut.
Apabila dua, kelompok Mukmin yang bertikai yang satu fuqoro dan yang satu aghniya, maka fuqara ini berhak memerangi aghniya untuk membagi kekayaannya supaya yang fuqora atau yang miskin menjadi sederajat dengan yang kaya.
***
Apabila yang kaya membangkang, itu perlu diperangi sampai tunduk kepada tuntutan yang miskin tadi. Kalau sudah tunduk, maka damaikanlah dengan adil karena Allah menyukai atau mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.
Sebaliknya, Ibnu Hazm mengatakan kalau di tengah masyarakat ada kelompok kaya dan miskin, sudah menjadi kewajiban kelompok kaya tadi untuk melakukan proses pemerataan sosial ekonomi ke seluruh masyarakat. Dan menjadi hak kelompok orang-orang di papan bawah, miskin untuk mengambil haknya dari kelompok kaya.
Inilah yang harus kita evaluasi, dan mesti kita sadar ketika kita beribadah kepada Allah agar kita dapat mengerti, dan akhirnya ibadah spritual kita kepada Allah akan terwujud melalui kesholehan sosial kita kepada orang lain.
Maka, orang yang mendirikan shalat, membaca Al-Qur’an berpuasa di bulan ramadhan akan senang berbagi kebahagiaan dengan orang lain, saling membantu pada orang yag tidak mampu.
Dan sebenarnya, jihad yang sesungguhnya bukan tentang mematikan orang yang hidup, tetapi menghidupkan orang yang hidup melalui keadilan sosial dan peningkatan ekonomi sosial kaum mustadhifin.
Editor: Yahya FR