Fikih

Tak Perlu Jadi Mujtahid untuk Mempraktikkan Ilmu Ushul Fiqih

3 Mins read

Beberapa waktu kemarin, saya berkesempatan ngobrol dengan salah seorang dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Akhmad Saifur Rijal. Dosen yang juga mengampu mata kuliah Ushul Fiqih ini menceritakan kekhawatirannya mengenai beberapa kasus radikalisme yang terjadi dalam institusi pendidikan beberapa bulan belakangan ini.

Percakapan itu tentu memiliki maksud. Syaiful Rijal diminta oleh saya untuk menjadi salah satu narasumber dan sebagai tambahan data kualitatif pada penelitian (paper) yang sedang saya susun. Saat itu, penelitian saya berfokus pada upaya pencegahan radikalisme kampus melalui optimalisasi pembelajaran Ushul Fikih. Paper itu yang kemudian terpilih untuk dipresentasikan dalam Muktamar Pemikiran Mahasiswa Nasional di IAIN Ponorogo, September 2022 kemarin.

Rijal meyakini betul bahwa pemikiran eksklusif mahasiswa juga turut andil dalam kasus tersebut, mahasiswa terperangkap dalam pikiran-pikiran yang tertutup, sehingga dampaknya, mereka hanya berada pada pemahaman dan interpretasi yang kaku dan salah arah.

Bahkan naifnya lagi, mereka menyalahkan argumen-argumen yang berseberangan dengan pemahaman mereka. Itulah yang—bagi Rijal—menjadi cikal bakal radikalisme tumbuh subur, bahkan di lingkungan kampus yang bertajuk moderat sekalipun.

Sejauh ini, Syaiful sendiri memiliki salah satu langkah yang bagi saya cukup solutif. Mahasiswanya diajak untuk mendiskusikan sebuah persoalan kontemporer melalui metode istinbath yang ada dalam Ushul Fiqih.

Langkah itu berjalan linear dengan metode pembelajarannya yang dirancang, yakni Sharing Knowledge Learning. Sebuah basis pembelajaran yang menekankan kepada keaktifan mahasiswa dalam menganalisis sebuah masalah.

Kecenderungan Paham Tekstualis

Dari apa yang disampaikan oleh Syaifur Rijal, kemudian saya menemukan sebuah variabel masalahnya, yakni pemahaman-pemahaman yang masih cenderung tekstualis. Pemahaman-pemahaman yang masih menjadikan teks-teks nash (fiqih) sebagai sebuah produk hukum yang final dan absolut. Pemahaman ini menganggap bahwa teks fiqih tidak harus direnovasi lagi, sebab kedudukannya sudah merupakan rumusan hukum yang finish, kita hanya cukup mengonsumsinya saja.

Baca Juga  Muhammad Hashim Kamali, Pakar Hukum Islam Pembaru Ushul Fikih

Jauh sebelum itu, sebenarnya Badrut Tamam, penulis buku “Pesantren, Nalar, dan Tradisi”, telah meletakkan kekhawatirannya. Badrut melakukan sebuah kajian kritis-analitis terhadap nalar fiqih yang ada di pesantren. Bupati Pamekasan itu merasa tidak nyaman (untuk tidak mengatakannya risih) dengan kemasan pembelajaran fiqih yang ada di beberapa pesantren.

Beberapa pesantren rupanya masih menganut konservatisme fiqih, atau—meminjam istilahnya Badrut—konservatisme teoritik. Beberapa pesantren masih lebih cenderung menekankan metode taqlid ketimbang mengulas ihwal konsep yang dihadirkan dalam pembentukan hukum Islam, semisal ushul fiqih.

Keber-taqlid-an tersebut yang kemudian membuat konstruksi pemahaman tidak lagi relevan dengan realitas saat ini. Hal itu lahir karena keterpakuan pada satu perspektif saja. Ber-taqlid buta pada suatu rumusan hukum tanpa dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan lain dan realitas yang sedang berjalan sekarang. Sehingga, Badrut tidak segan-segan mengatakan cara ber-taqlid tersebut sebagai metode yang miskin perspektif.

Kita sekarang berada dalam problematika yang tak lagi sama, ruang yang relatif berbeda. Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat ini, dipercaya atau tidak, juga tidak sama. Sehingga kita membutuhkan sebuah rumusan hukum yang bersifat akomodatif dengan konteks sekarang. Sebab pada dasarnya, jika hanya mengacu pada kitab-kitab klasik tentang kesimpulan hukum, kita hanya akan tetap statis dalam menjawab persoalan-persoalan yang dinamis.

Semua bentuk teori fiqih yang diimpor dari Arab itu tidak selamanya aplikatif terhadap persoalan yang terjadi di Indonesia. Maka dari itu, sentuhan-sentuhan metodologis juga perlu disuguhkan agar masyarakat tidak menjadi subjek yang statis ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan itu. Sehingga, perangkat metodologis tersebut (ilmu ushul fiqih) harus tetap difungsikan agar tidak terjadi kemandekan dalam studi-studi hukum Islam.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (10): Bolehkah Yasinan atau Tahlilan untuk Orang Meninggal Dunia?

Tentang Ushul Fiqih

Ushul fiqih juga sering disebut sebagai the principles of islamic jurisprudence. Maknanya, ushul fiqih merupakan seperangkat metode yang memiliki otoritas dalam membentuk, menyusun, dan memberi warna pada fiqih.

Al-Alamah Ibnu Khaldun juga memberikan pernyataan bahwa ushul fiqih merupakan ilmu yang sangat penting bahkan bisa dikatakan menjadi induk bagi ilmu syariah lainnya dan sekaligus paling agung. Hal itu dikarenakan, ushul fiqih bisa menjadi barometer dalam mengidentifikasi dan menimbang akal manusia dalam hubungannya dengan istinbath hukum syariah dari dalilnya yang bersifat tafshil (terperinci).

Ilmu ushul fiqih juga menjadi ilmu yang memuat metode penggabungan (kumulatif) dari berbagai disiplin keilmuan, misal; ulumul quran, ulumul hadits, balaghah, ilmu fiqih, dan beberapa ilmu syariah lainnya. Bisa jadi, ini yang menginsiasi Ibnu Khaldun memberikan pernyataan bahwa ilmu ushul fiqih adalah ilmu syariah yang paling agung.

Tak Harus Jadi Mujtahid untuk Menggunakan Ushul Fiqih

Maka, untuk ber-ushul fiqih, tidak perlu menjadi mujtahid. Tujuan paling utama dari belajar dan mengetahui konsep ushul fiqih adalah untuk memahami bagaimana para ulama fiqih memberikan ketetapan hukum terhadap sebuah persoalan. Sehingga nantinya (dengan metode tersebut), kita bisa mengaplikasikannya pada persoalan-persoalan yang lebih aktual.

Jadi, bagi kita (orang awam), belajar ushul fiqih bisa membuat kita paham bagaimana para mujtahid bisa mengambil sebuah ketetapan dan menetapkan suatu kesimpulan hukum. Orang awam bisa tahu bagaimana bentuk istinbath yang mereka lakukan dalam ber-ijtihad. Sebab, dalam ber-ijtihad, ada pedoman yang harus diperhatikan.

Selain itu, dengan ushul fiqih, kita juga bisa menentukan hukum dengan menilik metode yang dilakukan para mujtahid untuk menetukan hukum baru. Sebab, ada memang beberapa persoalan yang tidak ada dalam nash dan cenderung baru.

Baca Juga  Manfaat Kesehatan di Balik Sunnah Berbuka dengan Kurma

Persoalan-persoalan tersebut justru harus disikapi dengan bijak. Maknanya, harus ditentukan ketentuan hukum yang sesuai untuk menghukumi persoalan itu. Tentunya hal tersebut sesuai dengan metode yang digunakan oleh para mujtahid, seperti yang ada dalam ushul fiqih. Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa/Freelance Writer
Articles
Related posts
Fikih

Definisi Musik dan Hukum Mendengarkannya

4 Mins read
Akhir-akhir ini, ramai terjadi perbincangan kepada salah satu Ustadz kondang, yang menyatakan ada surat musik (Asy-Syu’ara) di dalam Al-Qur’an. Lantas apa itu…
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *